28 June 2020

Papi dan Mami

Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Aku suka main bola.  Aku dan kawan-kawan tak pernah memiliki lapangan permanen. Lapangan kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Jika ada tanah luas, kendati bersemak, biasanya kami akan gotong royong membersihkannya. Kami memanfaatkan sawah yang baru panen, bekas ladang, termasuk lahan yang akan dijadikan rumah.
Disaat kelas III SD, aku dan kawan-kawan sepermainan mendirikan sebuah klub sepakbola. Namanya, Persatuan Sepakbola Aru Indah (PSAI). Kehadiran klub ini karena semangat melihat kakak-kakak kami di komplek yang sudah punya wadah berhimpun, Aru Indah Club (AIC). Berbagai kegiatan di sana, salah satunya untuk olahraga lebih fokus ke voli. Pernah menjadi tuan rumah kejuaraan voli antar klub, dan menjadi salah satu klub voli yang disegani di tingkat kelurahan.
Kehadiran klub ini direspon orang tua kami di komplek. Suatu ketika, selesai salat Magrib berjamaah, warga komplek membahasnya. Besoknya, kami mendapatkan satu set kostum. Seragam kebesaran pertama kali, baju berwarna biru muda, lengannya dongker. Celana dan kaos kaki orange. Ada juga sejumlah bola. Jika ada kejuaraan, kami disupport warga komplek. Tak sulit bagi kami untuk membeli insert, berangkat dan pulang dari lokasi pertandingan.
Jika hendak main, kami harus menentukan siapa kami dulu. Setiap kami punya icon pemain idola masing-masing. Sebelum main, kami harus menyebutkan siapa diri masing-masing. Biasanya ada kesepakatan. Misalnya, kini kita jadi pemain dunia. Maka masing-masing harus menyebut siapa dia. Kalau aku jadi penjaga gawang, maka aku menyebut, Zino Zoff, penjaga gawang Italia, kala itu. Jika jadi striker, saya menyebut diri sebagai Paulo Rossi. Striker Italia yang bermain  bersama Dino Zoff. Jika pemain lokal, aku lebih cenderung menjadi Hermansyah, penjaga gawang PSSI Garuda.  Atau aku pilih jadi Zahlan, penjaga gawang Semen Padang. Temanku Hendra, biasanya menjadi Hendra Pillo, salah seorang pemain Semen Padang.
Kami termasuk anak-anak beruntung. Disaat anak-anak sebaya kami kesulitan memiliki bola, kami nyaris tak pernah berhenti main karena tidak ada bola. Kami tak pernah kekurangan bola. Ketika hari ini bola kami  terkelupas, besok atau lusa sudah ada cadangan bola yang baru. Orang tua dari salah seorang temanku, Papi dari Hendra, sangat memperhatikan sekali perihal aktivitas kami bermain bola ini.
Setiap Minggu pagi, selepas salat Subuh, biasanya kami sudah berkumpul di rumah Hendra. Sepagi itu, kami disambut Papi dan Mami. Kami menyapa kedua orang tua Hendra dengan sapaan tersebut, seperti halnya sapaan dari anak-anak beliau.
Rata-rata, ada delapan hingga 15 orang kami berangkat menuju Lapangan Cubadak, Indarung. Biasanya, papi yang membawa mobil. Jika tidak, mobil dibawa sopir beliau. Di dalam mobil, perbekalan kami sangat lengkap. Mami,  Uni Yanti dan Dewi, kakak dan adik Hendra, sudah menyediakan teh manis panas, air putih, roti tawar dan selainya. Ada juga makanan lain. Terkadang, Dewi ikut dalam rombongan kami.
Sepanjang perjalanan sejauh lebih kurang 8 – 9 KM, kami terlebih dahulu mengganjal perut dengan teh manis dan roti tawar berikut selesainya. Sesampai di Lapangan Cubadak, kami bisa bermain sepuas hati. Terkadang sudah ada lawan seusia kami yang menunggu. Jika saat itu Galatama Semen Padang berlatih di lapangan tersebut, kami pindah bermain di lapangan lain yang dimiliki Galatama, klub sepakbola kebanggaan orang Sumatera Barat.
Selesai main bola, jika papi tak ada kegiatan lain, beliau membawa kami ke kolam renang di kawasan pabrik semen tersebut.  Kami masuk ke kolam renang dengan mendaftarkan diri kepada penjaga pintu, lalu papi menyelesaikan administrasinya. Kami berenang sampai puas hingga menjelang siang. 
Jika Galatama Semen Padang bertanding di Lapangan Imam Bonjol, Hendra sudah mendata nama-nama yang akan ikut menonton bersama Papi. Paling sedikit, ada lima orang yang ikut. Ada kalanya lebih dari 10 orang. Ketika berbaris memasuki tribun tertutup, ada sejumlah anak-anak seusia kami yang meminta untuk masuk. Papi mengizinkan.
Tapi, tak seorang pun di antara kami yang kemudian jadi pemain sepakbola profesional. Kami menjalani aktivitas beragam. Ada yang berkarir jadi ustad, wartawan, dokter, pilot, guru, dosen, brodcasting, pedagang, pengusaha, kontraktor, berkedai, konten kreator dan beragam bidang lainnya.   
Itu dulu. Dulu sekali. Kalau tak salah, 33 - 40 tahun silam.  Kini, Papi Ismael Thaher dan Mami Erwaty sudah dipanggil menghadap Sang Khalik. Banyak juga orang tua kami di Aru Indah dan kawan-kawan sepermainanku  yang sudah berpulang ke Rahmatullah. Semoga beliau ditempatkan di Sorga. *

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...