28 June 2020

Guru Olahraga

Oleh: Firdaus Abie
 
Dulu. Dulu sekali. Kami mendapatkan guru baru. Beliau khusus mengajar olahraga. Orangnya masih muda dibandingkan guru lain. Sejak kehadiran beliau, Olahraga merupakan mata pelajaran paling ditunggu.  Rugi rasanya jika disaat mata pelajaran tersebut kami tak hadir, atau bertepatan dengan hari besar.
Jika hari tidak hujan, dapat dipastikan kami akan olahraga di lapangan. Tempat yang dipilih, lapangan sepakbola, tak jauh dari sekolah kami. Berjarak sekitar 200 meter. Ketika diumumkan ke lapangan, semua akan bersorak. Suasana bergemuruh luar biasa.
Sesampai di lapangan, sang guru akan memperkenalkan kepada kami teori dan teknik olahraga tertentu kepada kami, di antaranya beragam nomor di cabang atletik dan permainan lain. Setelah teori, langsung praktek. Satu persatu di antara kami mendapat kesempatan untuk melakukannya. Tak jarang beliau langsung mengambil nilai terhadap praktek tersebut.
Ketika semua selesai dan waktu masih tersisa, beliau akan memberikan dua bola ukuran berbeda kepada kami. Murid laki-laki mendapat bola kaki, sedangkan murid perempuan mendapatkan bola kasti. Belakangan aku baru tahu, bola kasti tersebut digunakan juga untuk tenis lapangan.
Ketika dua bola itu sudah diberikan, kami nyaris lupa waktu. Kami bermain sepuasnya. Sorak gembira, senang, dan semangat bertanding sangat terasa, walau sesungguhnya hal tersebut adalah permainan biasa. Di lapangan sepakbola, murid laki-laki berteriak untuk bisa mendapatkan bola atau memberitahu kawan satu timnya. Di lapangan kasti, teriak gembira atau terkejut kesakitan kena lemparan bola, sangat jelas terdengar. Guru olahraga kami menyaksikan secara cermat di pinggir lapangan. Tak jarang beliau menjadi wasit di sepakbola.
Lima hingga sepuluh menit menjelang berakhir pelajaran Olahraga, biasanya guru tersebut menghentikan kegiatan. Kami diminta  kembali ke sekolah  melalui jalan pintas. Tapi aku dan beberapa kawan lain, tidak. Kami mengambil jalan lain, lalu berhenti di sebuah kedai penyewaan buku. Ada komik, novel, majalah, koran dan sebagainya.
Saya lebih memilih baca komik, karena banyak gambar dan tulisan sedikit, sehingga bisa dibaca cepat dalam waktu singkat. Kawan-kawan lain juga begitu. Selesai membaca satu komik, kami berlari kembali ke sekolah.
Hopp! Mata pelajaran sudah berganti. Guru Olahraga menunggu kami di depan kantor yang langsung menatap ke gerbang sekolah. Kami tak dimarahi, tapi dinasehati saja. Pada pelajaran Olahraga berikutnya, peristiwa serupa kembali terjadi beberapa kali.
Ah, tapi itu dulu. Dulu sekali. Puluhan tahun silam. Mohon maaf, ya Pak Munawir!*

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...