28 June 2020

Jembatan

Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Ketika itu, aku masih kelas III SD. Sekolahku mulanya berkontruksi bangunan tua, lalu dipugar. Di bangunan itu, dua sekolah menempatinya, SD 01 dan SD 03. Aku murid SD 01. Penggunaan sekolah ini bergiliran, sepekan masuk pagi, pekan berikutnya masuk siang. Seangkatan denganku di SD 01, ada dua kelas. Pembedanya, kelas III.A dan III.B.
Ketika sekolah dipugar dan dibangun baru, murid SD 03 pindah ke SD Inpres. Hanya berjarak sekitar 200 meter dari sekolah kami. Sedangkan murid SD 01 menumpang di SD Gurun Laweh. Berjarak sekitar 2-3 KM. Aku tak tahu berapa persis jaraknya. Tapi sekolah di sini, tak lama. Setelah itu pindah ke SD Koto Panjang. Aku merasa, jaraknya semakin jauh. Aku tak tahu, mengapa sebentar menumpang di sana, tapi dugaan kami mungkin karena seringnya berkelahi anak-anak SD 01 dengan anak sekolah tersebut mau pun anak-anak di lingkungan sekolah itu.
Ketika di menumpang itu, kami dapat giliran masuk siang. Sebelum menumpang, jika masuk siang, biasanya aku meninggalkan rumah menjelang pukul 12.00 WIB, lalu masih sempat mampir di sebuah komplek perumahan yang ditempati pegawai dan pejabat di kotaku. Di sana, banyak kawan-kawan seangkatan, sehingga kami bisa pergi bareng. Kendati mereka anak-anak berpunya, namun mereka pergi dan pulang ke sekolah jalan kaki juga, seperti diriku. Jarak dari rumahku ke sekolah, hampir 1 KM.
Disaat mengungsi, jadwal berangkat dari rumah lebih dipercepat. Biasanya, pukul sebelas siang, aku sudah berangkat.  Tak lupa bawa bekal, berupa nasi dan lauk-pauknya. Bagi kami, disaat itu, membawa nasi dari rumah adalah sesuatu yang baru. Jika di sekolah sebelumnya, tak pernah itu kami lakukan. Kami menikmati saja makanan yang ada di kantin dalam pekarangan sekolah, atau pedagang kaki lima yang ada di pekarangan atau luar pekarangan sekolah. Ada kalanya harus memanjat pagar juga untuk bisa keluar.
Setiap pergi sekolah, biasanya aku tak lupa mampir ke komplek tersebut, sehingga ada kawan jalan bareng. Untung-untung kalau ada di antara mereka yang diantarkan dengan mobil, alhamdulillah, aku bisa menumpang.
Jika kami jalan kaki, selalu berharap ada becak barang kosong, atau mobil bak terbuka yang kosong. Biasanya, abang tukang becak akan memberikan tumpangan. Atau pengemudi mobil bak terbuka tersebut akan berhenti sembari menanyakan tujuan kami. Kadang kami sampai diantarkan ke sekolah karena mobil tersebut melintasi jalan ke sekolah yang kami tuju, tapi lebih sering sebelum sampai ke sekolah, kami harus turun karena mobil tersebut berbeda tujuan. Tapi lumayan juga.
Dari rumahku atau komplek perumahan yang sering kudatangi, ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama, melalui jalan umum yang dilalui kendaraan, namun jaraknya terlalu jauh. Jalannya melingkar. Jalan alternatif, kami harus menyeberangi sungai, kemudian melanjutkan ke jalan setapak dan kawasan pandam pekuburan. Jika hari tidak hujan atau air sungai tak besar, kami lebih sering melewati jalan alternatif ini.
Jika harus melalui jalan umum, kami akan melintasi sebuah kawasan yang memiliki dua jembatan besar dan cukup panjang untuk ukuran kami kala itu. Tapi kami hanya butuh melewati salah satu jembatan saja. Menghubungkan Ujungtanah dan Gurunlaweh, satunya lagi menghubungkan Ujungtanah-Paraklaweh.
Kebiasaan kami jika berjalan melintasi jembatan tersebut, memegang bagian atas, atau lengan-lengan jembatan tersebut. Atau, lebih asyik lagi meletakkan tangan di lengan-lengan jembatan, lalu menarik tangan tersebut sepanjang perjalanan. Ada kebiasaan nyelenehku, pada beberapa bagian di lengan-lengan jembatan itu, aku ludahi. Kawan yang meletakkan telapak tangan dan menariknya di lenggan-lenggan jembatan tersebut akan mengumpat dan bercerut bungkang kalau mengetahui tangannya menyapu ludah tersebut.
Ah, tapi itu dulu. Dulu sekali. Kalau tak salah, 37 tahun silam.*

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...