22 November 2010

Siap Menang, (Tak) Siap Kalah

Oleh: Firdaus


Ketika masih kanak-kanak, sayasering ikut kejuaraan sepakbola tarkam berkaki ayam (tanpa sepatu,---pen). Ada dua aturan yang digunakan. Pertama, berdasarkan tinggi. Tinggi pemain, maksimal1,50 meter, sedangkan penjaga gawang 1,60 meter. 


Setiap pemain harus melewati ukuran yang sudah ditetapkan panitia. Sesampai di alat ukur tersebut, harus berdiri tegak, kepala tak boleh merunduk. Jika tersangkut, maka tak dibolehkan main. Jika lolos, maka pergelangan tangan akan diberi stempel khusus.

Aturan kedua, hanya melihat kelayakan. Semua pemain dibariskan, lalu ditatap sesuai kelayakan saja. Jika tim lawan merasa meragukan usia yang terlalu berselisih jauh dengan standar,maka dibolehkan mengajukan keberatan, dan pemain tersebut tidak dibolehkan tampil. Jika tak ada keberatan, maka permainan segera dilaksanakan.

Terhadap aturan kedua, seringbermasalah setelah selesai pertandingan. Biasanya, tim yang kalah akanmemprotes pemain tim pemenang yang dianggap menonjol. Tim yang kalah memanfaatkan kesempatan ini, dan berharap protesnya diterima, lalu lawannya didiskualifikasi, dan mereka-lah yang kemudian berbalik menjadi pemenang.

Awalnya panitia sempat kewalahan,sebab protes setelah laga cenderung mengurus tenaga, pikiran dan waktu yanglebih ekstra. Malahan tak jarang berujung pada keributan karena kedua belahpihak merasa benar.

Panitia pun tak kehilangan akal.Aturan pun dibuat. Jika pemain sudah disyahkan, maka tak diizinkan lagi untuk protes. Kalau tak mau menerima aturan itu, panitia bisa menolak keikutsertaannya.Sejak saat itu, semua proses berjalan mulus. Tak ada lagi keributan. Sekali pun semangat bertanding dan bertarung tinggi, semangat kebersamaan sangat terasa,sekali pun tak ada jargon badunsanak-nya.

Hari ini, beragam bungkusan yang menyatakan kebersamaan, persatuan, persaudaraan dan berbagai istilah yang hakikatnya menyatakan satu rasa untuk satu jiwa, namun tak jarang bermuara kepada pertikaian dan pertentangan.

Menariknya, pertikaian itu justru terjadi dan dilakukan setelah semua proses selesai dilakukan. Abih cakak,takana silek. Muaranya sudah dapat ditebak; pemenang dan yang kalah sama-sama memiliki rasa bahwa merekalah yang benar. Pemenang akan bertahan untuk membela diri agar kemenangan yang sudah dalam genggaman tidak lepas.Sebaliknya, yang kalah, akan terus menyerang agar pemenang didiskualifikasi,dan kemenangan berpindah kepadanya.

Tak jarang, persoalan ini berbuntut pertikaian berkepanjangan. Di banyak daerah, gelombang massa cenderung bergerak. Mulai dari demo damai, ribut-ribut dan bentrok denganaparat keamanan hingga aksi anarkistis.  Dimanasaja? Rasanya tak perlu diurut satu persatu, silakan cari, maka akan sangatmudah ditemukan jawabannya.

Kenyataan ini sangat bertolakbelakang dengan sikap yang canangkan sebelum "pertarungan" berlangsung yangmenyatakan siap kalah dan siap menang. Dari realita yang ada, hanya siap memangdan (tak) siap kalah.

Dalam prakteknya, jika sudahseperti itu, biasanya calon yang kalah, cenderung cuci tangan dalam bahasapolitis bahwa sebenarnya ia sudah menerima apa adanya. Perihal yang demo danprotes, merupakan masyarakat yang merindukan demokrasi, menuntut keadilan danbla-bla-bla... dan seterusnya. Satu sisi ia cuci tangan, di sisi lain (secara tak langsung) tetap saja menggerakkan kekuatannya. Jika saja ia menerima kekalahantersebut dengan lapang dada, sesuai semangat yang digelorakan dari awal; siapmenang dan siap kalah, maka "para dayang-dayang" mau pun massa yangdikondisikan tidak akan bergerak.

Di sisi lain, tak sedikit pula"para dayang-dayang" mau pun massa yang dikondisikan lupa dengan "lagu" lama. Kalau pun orang yang diperjuangkan menang, bukan berarti apa yang diharapkan darinya akan bisa direalisasikan. Banyak contoh bahwa begitu sudah duduk dikursi empuknya, cenderung tidak banyak yang diperbuat untuk yang menolongnya,sebab tanggungjawabnya tidak hanya untuk pendukung, tetapi sudah untuk semuaorang.

Jika sudah begini, maka persoalan baru pun muncul, 'para dayang-dayang" mau pun massa yang ikut-ikutan tersebutakan tersadar sendiri. Bila sudah begini, baru kemudian merasa dan bahkanmenyesal telah habis-habisan untuk melakukan sesuatu kepada yang melupakanmereka kemudian.

Tapi apa hendak dikata, mereka bukan pemain bola tarkam bersama saya dulu, sehingga cenderung baru abih cakak takana silek, lalu protes dan ada kalanya sampai ribut. Lalu muncu lpertanyaan; mana semangat badunsanak-nya?

Seorang kawan menyela; mungkin disinilah kelirunya. Kok orang yang badunsanak mau bertarung habis-habisan sejak awal?

Hm... antahlah, Yuang!*

(Dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, Minggu 22 Agustus 2010)

Negeri Sunyi

Cerpen: Firdaus Abie


Kalaulah Amak tidak sering memintanya pulang, Bidin belum tentu pulang. Baginya, berburu di rantau lebih baik dari pada harus pulang kampung. Usaha yang sedang dilakoninya sedang berkembang dan lagi naik-naiknya. Jika ditinggal, Bidin kuatir. Ia tak ingin peristiwa enam tahun silam terulang lagi.

Ketika itu, hanya ditinggal dua hari saja, usaha yang susah payah dirintisnya, lenyap begitu saja. Semua barang dagangannya dipindahkan entah kemana oleh anak buahnya. Sembilan bulan Bidin bolak-balik ke kantor polisi, ternyata tak ada perkembangan terhadap penanganan kasus yang yang dilakukan anak buahnya tersebut. Anak buahnya tak pernah tertangkap.

Masa Lalu untuk Masa Depan

Oleh: Firdaus


Pesan bijak Confusius, salah seorang pemikir paling berpengaruh di dunia, tiba-tiba mengingatkan saya tentang apa yang terjadi di hadapan saya, ketika hadir dalam sebuah pertemuan alumni. Kata filsuf hebat itu, suatu bangunan yang berpondasi kuat tidak akan runtuh. Sesuatu yang dipegang erat tidak akan terlepas.

Artinya, sesuatu yang dipersiapkan secara matang dan dengan langkah-langkah nyata, biasanya akan bermuara kepada keberhasilan. Kekokohan. Setidaknya, itu yang saya dapatkan dari sebuah reuni yang saya hadiri, belum lama ini.

Sejumlah kawan-kawan lama yang hadir, umumnya mereka sudah ”menjadi orang” dan dapat dibanggakan. Boleh dikata, mereka sukses untuk ukuran orang-orang seusianya.

”Inilah kebanggaan kami, bahwa kalian telah menjadi orang,” ungkap sejumlah guru.
Ketika dikabarkan kepada sang guru keberadaan kawan-kawan yang lain, lalu satu persatu ”dipretelinya”, ternyata pengakuan mereka, tak banyak yang meleset dari apa yang didapatkannya ketika kami masih bersekolah dulu.

Lalu sang guru mengingatkan saya akan pesan bijak masa lalu; kok ka mancik, saja ketek lah nampak ikunyo (kalau tikus, sejak kecil sudah kelihatan ekornya). Artinya, kata sang guru, sebenarnya apa yang dilakukan dari awal, akan membentuk karakter diri dikemudian hari.

Sang guru kemudian membeberkan ulang beberapa kawan-kawan saya tersebut. Ada kawan saya yang selalu berpenampilan ala tentara. Kawan-kawan memanggilnya Tentara Swasta. Panggilan itu, terasa sangat mencimeeh, tetapi kawan tersebut tak mengubah penampilannya. Cita-citanya sudah bulat, menjadi perwira angkatan darat. Setelah belasan tahun tak jumpa, ternyata cita-cita kawan tersebut kesampaian.

Ada juga kawan yang ketika sekolah suka berkhayal, lalu menulis puisi dan cerpen, kemudian digelari ”Seniman Sablenk”, ternyata justru jadi seniman benaran. Sudah sangat banyak karyanya menembus media lokal dan Jakarta.

Kawan lain, sangat pintar. Selalu juara. Kurangnya, dia tergolong kuper (kurang pergaulan, atau kurang bergaul), sehingga nama kawan-kawan selokalnya saja tidak semuanya yang hafal olehnya. Kebiasaannya, datang ke sekolah hanya untuk belajar. Tugas PR (Pekerjaan Rumah)-nya pun hampir tak pernah dapat dilihat oleh yang lain. Konon ketika ia kuliah, juga seperti itu. Tamat kuliah, ia tak memiliki akses kemana-mana, selesai kuliah langsung menikah dan kini mengurus rumah tangga.

Sebenarnya, jika diurut satu persatu, sangat banyak lagi. Satu sama lain memiliki kurenah yang berbeda. Ada kawan yang terlihat biasa-biasa saja oleh kawan-kawannya, malahan sering datang terlambat, ternyata dia justru menjadi orang yang sukses dalam membuka usaha sendiri, ”kalian saja yang tak tahu. Ketika masih sekolah, ia sudah berjualan dan memulai usaha sendiri,” kata sang guru sembari membeberkan, kawan tersebut sering terlambat karena harus mengantarkan jualannya terlebih dahulu ke sejumlah lapau.

Itulah masa lalu, masa yang telah membentuk karakter seseorang sejak awal. Kalau pun ada yang meleset, jelas sang guru, tak banyak. Sang guru tetap memegang prinsip, bahwa masa lalu seseorang akan berpengaruh terhadap keberadaannya dikemudian hari. Artinya, masa lalu untuk masa depan, sebab tak ada yang kebetulan dalam hidup ini.

Artinya, ketika menoleh ke belakang, kita punya kesimpulan lain, kekuatan masa depan, sesungguhnya kekuatan yang dibangun hari ini. Karenanya, dalam pemaknaan yang luas, bertanya-merenunglah kita: Adakah hari ini kita telah siap untuk dijadikan esok yang lebih baik, yang sekaligus masa lalu yang kokoh? Semoga!

Cincin Kelopak Mawar Cerita Fenomena Sosial

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, pepatah ini jamak sekali disebut-sebut untuk menggambarkan perangai yang sama antara anak dan orang tuanya. Pepatah itu juga melekat pada sosok Badri, yang cintanya dipermainkan oleh seorang gadis pujaannya bernama, Rabiatun. Karena sakit hati dipermainkan Rabiatun, Badri menempuh jalan lain untuk mendapatkan gadis yang digila-gilainya tersebut.

Hal itu pernah juga dilakukan Ayah Badri, ketika ibunya tengah hamil tua, mengandung Badri. Ayahnya tergila-gila dengan seorang kembang desa, dan memelet kembang desa itu. Meskipun pada akhirnya ketahuan dan membuat ayah Badri terusir dari kampung halaman, yang juga membuat remuk hati ibu Badri.

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...