28 June 2020

Kisah yang Tercecer

Oleh: Firdaus Abie

Ketika azan Subuh berkumandang, aku berlari dari hotel ke Masjidil Haram. Aku hanya kebagian saf di pelataran luar masjid. Selesai Subuh, aku tak kembali ke hotel, tapi lebih memilih untuk  masuk ke dalam masjid dan kemudian berdiri tak jauh dari  Ka’bah. Kupandangi Ka’bah dalam-dalam, sembari membaca doa sesuai  buku panduan yang kumiliki.  Aku juga berharap, umroh pertama ku ini (tentu saja berharap bisa melakukan kembali) benar-benar bisa maksimal beribadah.
 Setelah itu, aku bergerak. Aku berniat melaksanakan tawaf sunnah. Sembari melangkah berlahan, ku baca doa yang ada di buku panduan. Beberapa kali langkahku tersandung, beberapa kali juga aku terhuyung karena suasana sangat ramai.
Ketika melangkah, ada rombongan mengenakan pakaian ihram sedang tawaf. Aku sedikit merapat ke barisan tersebut, lalu kemudian mengikuti bacaan yang mereka baca. Sekali putaran aku bersamanya, ternyata rombongan tersebut sudah mengambil jalur paling kanan, kemudian keluar dari pelaksanaan tawaf. Rupanya, aku ikut tawaf putaran terakhir mereka.
Aku terus melangkah. Ketika itu, salah satu keinginanku, setelah tawaf putaran kedua, aku ingin  mencium Hajar Aswad. Langkahku terus merapat ke arah Ka’bah. Entah mengapa, tiba-tiba aku tertegun sejenak. Aku lihat suasana di arah Hajar Aswad. Sangat ramai. Suasana saling berdesakan. Nyali ku mulai ciut. Ku kumpulkan kekuatan sembari terus berdoa agar Allah  memudahkan langkahku.
Ketika langkah kaki hendak ku langkahkan, tiba-tiba dari arah kiri depanku, ada dorongan sangat kuat ke kanan. Begitu juga dari arah kanan, ada dorongan ke kiri. Aku tersentak sejenak. Kuperhatikan ke sekeliling. Allahu Akbar, aku ternyata persis berdiri di pintu masuk Hijir Ismail.
Tanpa pikir panjang, ku ikuti dorongan dari arah kanan. Aku ikuti dorongan yang kuat dari kanan. Aku putar tubuhku menghadap ke arah kiri, sehingga dorongan dari kanan berubah dari arah belakang. Semakin kuat dorongan dari belakang, semakin kuat pula aku mendesak ke dalam, sehingga aku masuk ke wilayah Hijir Ismail.
“Haji.., haji..! Sudah salat?” tanya seseorang setelah aku berada di dalam wilayah Hijir Ismail.
“Belum, haji!” balasku.
Ia memberi kode, setelah perempuan yang sedang salat di depannya, aku boleh menggantikan. Aku boleh salat di sana. Aku mengangguk. Perempuan tersebut tampak sedang sujud.
Lelaki itu berlogat Jawa. Ia menggunakan peci Nasional yang biasa dipakai di Indonesia. Tidak kopiah putih, yang biasa disebut kopiah haji, yang biasa dipakai orang-orang pulang ibadah haji dan umroh. Perawakannya sedang. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang tak dikancingi. Di balik jaket tersebut terlihat jelas baju koko agak gelap.
Lelaki itu  sibuk memblokir beberapa bagian agar orang bisa salat di sana.  Ada tiga orang lain yang membantunya. Perawakan dua lainnya, mirip perawakan orang Indonesia. Aku memperkirakan, mereka satu keluarga, atau paling tidak dari satu rombongan.
Ketika perempuan tersebut duduk, saya memperkirakan tahayat akhir, aku memperhatikannya. Rona wajahnya mirip orang-orang Timur Tengah. Ketika perempuan itu selesai salam, ia segera bangkit, dan lelaki tersebut memberikan ruang kepadaku untuk segera salat di sana.
Kuangkat kedua tangan. Takbir. Kuniatkan salat sunah dua rakaat. Pada sujud terakhir, sujudku lebih panjang. Sebelumnya aku ingat pesan jamaah yang sudah balik dari umrah, jika dapat salat di Hijir Ismail, sulit mendapatkan tempat berdoa lebih lama di sana. Dorongan dan desakan jamaah lain sangat ramai. Bisa terinjak dan kebanting.
Disaat sujud atau pun duduk, aku sudah merasakannya. Ada saja yang menyentuh bahu dan kepalaku. Mungkin juga aku dilangkahi jamaah lain. Disaat sujud terakhir, setelah membaca doa sujud, aku juga melanjutkan dengan doa-doa lainnya. Sujud terakhir itu, terasa lebih lebih panjang dari sujud-sujud sebelumnya. Aku lakukan semua itu karena teringat pesan, akan sulit mendapatkan posisi berdoa disaat Hijir Ismail ramai tersebut. Ada yang justru disuruh langsung berdiri setelah membaca salam. Jika dalam posisi sujud, kendati sujudnya lama, jamaah lain tak akan mau mengganggu karena posisi tersebut dianggap masih dalam keadaan salat.
Selesai salam, Abie segera bangkit. Ku sampaikan ucapan terima kasih kepada lelaki berjaket hitam tersebut. Ia tersenyum. Bahagia sekali kelihatannya beliau.  Lalu, aku putus blokade yang dibuatnya dengan lelaki di sebelahnya. Kutangkap pergelangan tangan kanannya dengan tangan kiriku, kemudian pergelangan tangan kiri lelaki di sebelahnya kusambung dengan tangan kananku.
“Terima kasih, haji! Terima kasih, haji!” katanya.
Setelah ku, ada bergantian lelaki lain yang saling membantu blokade tersebut. Berlahan dan pasti, keringat bercucuran di sekujur tubuhku. Gamis yang kupakai, sudah hampir basah kuyup. Lelaki tersebut kemudian mengatakan, sebaiknya aku meninggalkan Hijir Ismail dulu. Biar yang lain menggantikan. Akhirnya aku keluar dalam keadaan bersusah payah karena dorongan jamaah yang akan masuk dan keluar sama kuatnya.
Alhamdulillah, aku sampai ke pinggir dan bergerak menuju keluar Masjidil Haram dalam keadaan aman dan selamat.
*
Ketika sampai di hotel, aku mencari restoran tempat Jamaah Umrah Paragon Kloter 14 sarapan, makan siang dan makan malam. Aku berputar beberapa kali, tak kunjung bertemu. Akhirnya, perut yang sudah mulai keroncongan aku bawa ke restoran umum di mal yang sebangun dengan hotel di kawasan Menara Zam-zam tersebut. Aku menemukan restoran. Ku amati, kemudian pandanganku tertuju kepada nasi yang mirip nasi goreng. Aku pesan. Setelah kubayar senilai 25 Riyal (sekitar Rp 100 ribu), segera ku buka bungkusannya. Aku memandang, rasanya nasi ini terlalu banyak untukku. Kupisahkan. Kubagi jadi dua. Separoh aku makan, separoh lagi ku sisihkan.
Disaat sedang menikmati makanan tersebut, tiba-tiba ada tiga orang jamaah lain membuka bungkusan di meja seberang mejaku. Kuperhatikan secara seksama, rupanya makanan serupa denganku. Mereka menikmati porsi satu kotak itu bertiga. Separoh nasi yang aku sisihkan, aku santap di kamar hotel, sebelum Ashar di Masjidil Haram. Sejak Ashar hingga Isya, aku di Masjidil Haram saja. Baru pulang selepas Isya. Ketika kembali kucari restoran, tak juga bertemu. Akhirnya aku langsung ke kamar saja.
Besoknya, selepas Duha di Masjidil Haram, aku kembali ke hotel. Tujuan utama, ke restoran terlebih dahulu. Aku penasaran, kok kemarin tak menemukan restorannya?
Tiga kali kuputari wilayah yang aku yakini kawasan restoran. Aku yakin, restoran di kawasan tersebut. Ketika serius memperhatikan wilayah tersebut, tiba-tiba sebuah suara memanggilku, “Pak Haji Firdaus, mau ke mana?”
Aku menoleh. Kiranya Ustad Azzam, ustad pembimbingku yang sama-sama berangkat dari Jakarta.
“Udah sarapan?” tanyanya sebelum aku sempat menjawab pertanyaan pertama.
“Belum, Ustad. Belum menemukan tempatnya,” jawabku jujur.
“Belum?”” tanyanya heran, “lalu kemarin, sarapan dan makan di mana?” Ia bertanya lagi.
“Dibeli di sana,” jawabnya sembari menunjuk pusat kuliner di mal tersebut.
Ustad Azzam tersebut. “Yuk, lewat sini saja,” katanya.
Aku mengikuti beliau. Lokasinya, memang tak jauh dari perkiraanku. Aku jadi berpikir dalam hati, apakah kemarin aku tidak melewati kawasan tersebut, atau tidak melihatnya? Wallahu A’lam.
Padang, 26 Juni 2020



 

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...