29 May 2018

(Mungkin Ini) Porprov Terburuk


Oleh: Firdaus Abie


Hari ini pesta usai. Sebelum benar-benar usai, sebelum api di koldron benar-benar dipadamkan (walau sesungguhnya sudah pernah padam beberapa hari setelah Poprov XIV Sumbar di Padang, baru saja dibuka), sebelum hajatan benar-benar ditutup, hari ini masih ada para atlet yang berjibaku, bermandikan keringat, jatuh bangun demi prestasi.  Ada yang melepaskan gelak tawa tanda suka cita. Ada yang menahan tangis menanggung pedih. Semuanya berbaur di arena yang keras.
Pesta yang berakhir hari  ini, selain merangkai prestasi, juga telah menghadirkan sejumlah catatan   (mungkin tak disadari), menodai sejarah  panjang olahraga bergengsi bagi olahraga di Sumatera Barat. Setidaknya, saya memiliki ada enam catatan penting. 
Seorang teman menyebutkan, kalau pun catatan ini saya tulis, tetap saja tidak akan terselesaikan sampai acara ini ditutup. Kata saya, ke lima persoalan itu, tidak akan untuk sekarang, sebab tidak akan bisa diapa-apakan lagi oleh tuan rumah dan panitia, namun ini sebagai catatan agar tidak terulang dikemudian hari.
Catatan pertama saya, ketidakikutsertaan Kota Padangpanjang, adalah sebuah prestasi buruk. Bagi Padangpanjang, baik KONI Kota Padangpanjang, mau pun Pemko Padangpanjang, dan KONI Sumbar. Aneh dan lucu saja, persoalan perbedaan pandangan, ternyata tidak bisa terselesaikan, sehingga harus mengorbankan anak-anak muda Padangpanjang untuk tidak bisa berlaga membela daerahnya.

Kalah Kelas Dibandingkan Porkota

* Catatan Kecil Seremonial Pembukaan Porprov XIV/2016 Sumbar di Padang

Oleh: Firdaus Abie

Katanya, ada 18 kontingen yang berlaga di Porprov XIV Sumbar di Padang, sebab Kota Padangpanjang tak ikut serta, tetapi kenapa hanya ada 17 yang ikut defile? Kenapa pula wasit,  juri tidak ikut berdefile? Apakah ada aturan baru yang saya tidak tahu? Mohon pencerahannya, maklum  saya masih awam soal olahraga!
Status saya di facebook itu ditanggapi beragam sejumlah kawan. Tak hanya di beranda, tetapi ada juga yang menelpon langsung.
“Apakah hanya dua itu yang tampak?” tanya sejumlah kawan kepada saya. Tentu saja tidak!
Saya mencatat sejumlah ketidaklaziman terhidang  terang benderang dari seremonial pembukaan berbiaya besar tersebut. Seremonial pembukaan yang diharapkan menggetarkan, ternyata hanya sebuah tontotan tanpa greget.  

28 May 2018

Kami Bersaudara, Terpisah Lama




Rindu itu membuncah. Sekali tekan, menjalar liar entah kemana. Menembus beribu-ribu kilometer. Tak cukup sepekan, detaknya terus bergerak. Semakin cepat. Lumbung pun terus terisi. Satu persatu nama tersangkut di tangan admin.
“Kita harus bertemu..”
“Kapan?”
“Terserah, kapan saja”
“Ya, kapan saja”

Hebatnya Silaturrahmi

Penulis, Aqua Dwipayana dan Werry Darta Taifur



Hebatnya Silaturrahmi
Lama tak jumpa, tiba-tiba saya dapat kabar kalau beliau ke Padang. Saya ingin bertemu dengan sosok yang sudah saya anggap senior dan guru. Komunikasi via wa terhubung, namun sepanjang siang yang direncanakan, pertemuan tak terlaksana.
Keesokan pagi, saya hubungi kembali. Hopp! Beliau baru saja keluar dari hotel tempatnya menginap semalam. Ia mengabarkan ke Kuranji, “saya ke Kuranji sebentar, da Firdaus. Nanti saya kabari. Kalau bisa, kita bertemu di Andalas saja,” katanya melalui pesan singkat.
“Oke, mas” balas saya. 
Ia kemudian memberikan alamat lengkap. Saya langsung menuju alamat tersebut. Saya perhatikan waktu. Ia memperkirakan akan sampai di sana antara pukul 10.30 – 11.00 wib. Saya melihat jam, masih harus menunggu satu jam lagi. Tak apalah. Saya bergerak menuju lokasi yang disebutkan, lalu menunggu tak jauh dari tempat dimaksudnya.
Sesuai jadwal, saya melihat sebuah mobil. Berwarna hitam. Mobil itu masuk ke arah alamat yang saya terima. Saya ikuti. Benar saja, ketika mobil itu berhenti, saya melihat orang yang hendak saya temui turun dari mobil tersebut. Saya juga turun dari mobil. Ia melihat saya.
“Ayo uda Firdaus,” katanya memberi kode. Saya menuju ke arahnya, ia juga menuju ke arah saya. Kami bersalaman, lalu cipika-cipiki sejenak. Ia merangkul bahu saya.
“Pak rektor, ini sahabat saya,” katanya sembari menyalami sosok yang dipanggilnya pak rektor.
Pak rektor dimaksud, Werry Darta Taifur. Pak Werry, mantan Rektor Unand yang kini menjadi salah seorang Komisaris di PT Semen Padang.
“Pak Firdaus juga sahabat saya kok, pak Aqua,” kata Pak Rektor, menyambut kami di kediamannya bersama sang isteri.
Pertemuan kami berlanjut. Pak Rektor tampak senang. Beliau sangat antusias menerima kami. Katanya, ia tak menduga kalau pak Aqua Dwipayana, motivator hebat, penulis buku-buku best seller mau dan berkenan main ke rumahnya. Beliau memiliki jadwal yang sangat padat.
“Saya sangat senang sekali pak Aqua dan pak Firdaus berkenan ke kediaman saya ini,” katanya antusias.
Berlahan diskusi pun berlangsung. Banyak hal yang didiskusikan. Melompat-lompat saja karena pertemuan tersebut bukan kegiatan resmi, tapi silaturrahmi saja, “luar biasa The Power of Silatarrahmi-nya, pak Aqua,” kata Pak Rektor sembari mengutip judul buku Aqua Dwipayana yang best seller tersebut.
Bagi saya, pertemuan ini sangat spesial. Pertama, secara bertatap muka dan berkomunikasi langsung dengan Pak Rektor, sudah lama tak berlangsung. Terakhir, kalau tak salah ingat, saat beliau masih Rektor Unand. Kalau pun bertemu pada beberapa kesempatan,  hanya secara kebetulan diberbagai kegiatan. Kedua, terakhir kali bertemu mas (saya sejak dulu memanggil dengan tambahan kata itu di depan namanya, sedangkan mas Aqua memanggil saya dengan sapaan uda Firdaus) Aqua,  saat saya masih di Padang TV. Artinya, ada sekitar sembilan tahun lebih.
Saya mengenal beliau sejak tahun 2000. Ketika itu, beliau masih di Semen Cibinong. Ia main dan singgah ke Padang Ekspres, lantaran menurutnya darah wartawan yang  mengalir di tubuhnya masih deras. Ia pernah menjadi wartawan di Suara Indonesia, Surabaya Minggu, Radio TT 7 Malang, Bisnis Indonesia dan Jawa Pos.
Beliau juga pernah mengundang saya ke kantornya, saat di Cibinong dulu. Sejak saat itu, hubungan dan komunikasi berlangsung. Biasanya, setiap sampai di Padang, beliau mengabarkan. Komunikasi masih sering kami lakukan walau jarang jumpa. Bagi saya, beliau adalah seorang senior dan guru. Ia sangat mengayomi, memberikan banyak ilmu, menjadi guru tapi tidak menggurui. 
Beberapa waktu lalu, saya mempersiapkan sebuah buku bertemakan jurnalistik dan aspek-aspek lain yang menyertainya. Beliau memenuhi permintaan saya untuk memberikan kata pengantar. Secara materi, naskah buku tersebut sudah selesai, namun belum tuntas menjadi sebuah buku.
Belakangan saya mengikuti aktivitas ayah dari Alira Vania Putri Dwipayana dan Savero Karamiveta Dwipayana ini. Aktivitasnya sangat luar biasa dan menginspirasi. Ia menyisihkan hasil royalty penjualan buku-buku yang ditulisnya, honornya sebagai narasumber dan sumbangan  dari berbagai sabahabat, kolega dan sponsor untuk keperluan pemberangkatan jemaah umrah. Sudah dua gelombang jamaah umrah yang diberangkatkannya.
Akhir April lalu, beliau memberangkat 39 orang melaksanakan umrah. Mereka yang diberangkatkan adalah orang-orang yang dalam pikirannya tak mungkin melaksanakan ibadah ke tanah suci tersebut, di antaranya pegawai rendahan, bintara dan hafiz.
Tak berselang lama, terdengar suara mengaji dari masjid tak jauh dari kediaman Pak Rektor, sebentar lagi waktu Jumatan, masuk. Pertemuan itu pun kami akhiri. Walau pun singkat, namun silaturrahmi itu sangat bermakna,  seperti batrai yang baru saja diisi. *  

Aroma Dapur Emak



Cerpen: Firdaus Abie


Entah kenapa, Da Boy belum juga kembali. Ia belum mau balik ke Jakarta, padahal puasa sudah jalan sepekan. Biasanya Da Boy pulang dua atau tiga hari menjelang lebaran, tak sampai seminggu setelah lebaran ia kembali ke Jakarta.
Puasa kali ini, berbeda. Da Boy sudah di kampung sebelum balimau[1]. Katanya ia ingin balimau  ke Lubuk Tempurung.  Sudah dua puluh lima tahun ia tak ke sana.  Lubuk Tempurung merupakan tempat pertama dan terakhir ia balimau. Ketika itu ia masih duduk di bangku kelas dua SMP. Emak membawanya bersamaku.
Ketika itu, kami pergi bertiga secara sembunyi. Takut ketahuan. Ayah melarang kami ke tempat balimau.  Kata Ayah, dari tahun ke tahun, suasana balimau sudah mulai menyimpang. Tidak lagi membersihkan diri, tetapi justru menambah dosa. Lelaki dan perempuan mandi bercampur di sepanjang aliran sungai.
Dulu, kata Ayah, disaat beliau muda, mandi balimau sangat dinantikan. Tradisi mandi bersama, membersihkan diri bersama, diatur sedemikian rupa. Ada lubuk pemandian tersendiri. Tak bercampur pemandian laki-laki dan perempuan. Anak perempuan mandi di baruah[2] saja. Jika ada yang melanggar, akan dikenakan sanksi adat.

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...