11 December 2015

Bulek-bulek


Oleh: Firdaus


Seorang bijak, jika  tidak mempunyai sikap yang sungguh-sungguh, tidak akan dihormati orang, dan pelajarannya pun tidak akan teguh. Maka peganglah kesetiaan dan kejujuran sebagai pokok utama dalam kehidupan. Jangan bersahabat dengan orang-orang yang tidak sederajat. Jika mempunyai kekurangan, janganlah takut untuk memperbaikinya……
(Confusius, filsuf asal China)


Suatu ketika, pada pekan pertama puasa kali ini, saya membaca di laman jejaring sosial facebook, tepatnya di sebuah grup yang saya menjadi anggotanya. Grup tersebut adalah komunitas sesama teman kecil, semasa saya masih kanak-kanak dulu. 
Sang teman menulis kerinduannya untuk pulang dan bermain agak sejenak di tempat ia dulu menjalani hari-harinya semasa kanak-kanak. Teman tersebut sekarang menetap di Jakarta, bekerja di sebuah production house, sekembalinya dari Australia dan Jepang untuk menuntut ilmu berkaitan dengan pertelevisian.

”Saya Belum Beli Baju Baru…”


Oleh: Firdaus


Lebaran sudah diambang pintu. Kesibukan masyarakat semakin tinggi. Setiap tempat, setiap titik, setiap sudut, aktivitas itu terasa sangat menyesakkan. Seakan berpacu dengan waktu untuk mengejar deadline lebaran.
Lebaran, inilah hari berbenah terbesar yang dilakukan hampir seluruh orang. Membeli sepatu baru, baju baru, sandal baru, hanya bagian kecil saja jika dibandingkan dengan aktivitas lain yang lebih besar. Misalnya mengganti cat rumah, mengganti perabotan rumah tangga, hingga ---bagi yang berkantong lebih tebal--- membeli mobil baru.
Inilah hebatnya lebaran. Tak ada momentum lain yang lebih hebat daripada lebaran. Artinya, tak ada momentum yang lebih besar atau lebih kuat yang mampu menggerakkan banyak orang di seluruh belahan dunia untuk berbenah, sekali pun baru sebatas berbenah secara pisik.

Talanjang Gegek


 Oleh: Firdaus Abie


Kejadian  sepekan terakhir benar-benar menyentak. Menghujam diri. Menampar wajah. Siapa pun pasti terbelalak. Inilah kejadian yang benar-benar tak bisa dibenarkan, walau dari sudut pandang apa pun. Semua pasti mengutuk.
Kutukan, makian dan cacian itu tak berlebihan. Disaat negeri ini terus berperang melawan penyakit masyarakat, tetapi  penyakit yang lebih hebat justru datang secara mengejutkan. Apa yang salah?
Beredarnya video mesum yang diperankan siswa SMA negeri di Padang, sudah sangat menyentak. Membuat bulu tengkuk berdiri. Belum cukupkah pendidikan agama, pendidikan di TPA/TPSA atau asmaul husna membentengi dirinya dari perbuatan maksiat?

R e u n i


Oleh: Firdaus Abie


Belum lama ini, saat musim reunian yang biasa terjadi ketika lebaran datang, saya hadir di antara ratusan orang yang terdiri dari kakak kelas, kawan seangkatan mau pun adik kelas. Suasana sangat ramai.
Kalau pun panitia sudah meminta semua yang hadir untuk masuk ke ruang pertemuan, namun masih banyak yang tetap berada di luar. Satu sama lain saling bercanda. Ketawa lepas. Berulang kali panitia mengharapkan agar ruangan pertemuan diisi, namun tak sedikit yang tetap meneruskan ngolor-ngidul. Seakan mereka tidak mendengar pemberitahuan itu.
Setengah kesal, panitia pun memulai agenda acara. Ada beberapa rangkaian acara formal. Selama acara berlangsung, mereka yang berada di dalam ruangan pun tetap bercengkrama satu sama lain. Nyaris tak peduli dengan rangkaian acara.

Siapa Berani Menantang?


Oleh: Firdaus


Pemerintah hanyalah mengatur segala hal yang benar. Jika anda memimpin rakyat dengan keteladanan yang benar, siapa yang akan berani menantang?
---Confusius---


Kalimat terakhir dari pesan bijak  filsuf asal Cina, kelahiran negara kecil Lu (sekarang Provinsi Shantung), tahun 551 SM, seakan menjadi senjata utama bagi rakyat di negeri ini sejak reformasi. Kondisinya terus menjadi-jadi. Menjadi bahan gunjingan setiap saat.
Setiap hari pula, ada saja isu yang menguncang keberadaan pemerintah. Masyarakat cenderung menilai, banyak persoalan ketidakberesan dalam pemerintahan. Ada-ada saja persoalan yang dijadikan bahan untuk dipergunjingan.

PWI Sumbar

 
 Oleh: Firdaus




Seorang raja yang memerintah dengan kebajikan akan tampak bagaikan bintang kutub utara, bintang yang berada di tempatnya, sementara bintang-bintang lain beredar mengelilinginya.

Confusius


Pesan bijak filsuf Cina itu, tiba-tiba mengingatkan saya akan diskusi lepas sembari ngopi jelang sore, dengan sejumlah wartawan di Bukittinggi, beberapa hari lalu.
Sejak sebulan terakhir,  berlanjut hingga hari ini, dan diperkirakan akan semakin hangat hingga jelang akhir Mei 2011, tak lain adalah “nasib” wartawan Sumbar yang beraliansi kepada asosiasi wartawan tertua; Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar.
Jadwalnya telah tiba. Kepengurusan PWI Sumbar yang kini dipimpin Basril Basyar, sudah berakhir masa bakti. Jadwal Konferensi Cabang (Konfercab) PWI Sumbar kali ini, sudah lewat beberapa bulan dari jadwal sesungguhnya, namun masih dalam batas toleransi.

Agum Gumelar


 Oleh: Firdaus


AGUM GUMELAR (http://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/agum-gumelar-_110506214118-386.jpg)
Akankah kisruh panjang yang selama ini membaluti organisasi sepakbola Indonesia  berakhir dengan happy ending? Bayangan ke arah tersebut mulai terlihat pascakeputusan dibentuknya komite normalisasi oleh FIFA yang diketuai Agum Gumelar.
Keputusan tersebut mengejutkan. Pertama, apa yang selama ini digembar-gemborkan kubu Nurdin Halid yang seakan menggambarkan bahwa apa yang dilakukan kubunya direstui FIFA, ternyata bertolak belakang dengan kenyataan. Keputusan terbaru FIFA tersebut menyiratkan, apa yang dilakukan Nurdin telah dianulir FIFA.

30 November 2015

Pesta Demokrasi, Pesta Basa-basi?



Oleh: Firdaus*



Seorang kawan tersenyum sumbing.  Ada perasaan yang disimpannya. Katanya, ada dua persoalan mendasar yang membuatnya tersenyum sumbang itu.
Pertama, “mana para anggota dewan yang katanya terpanggil hendak membangun kampung halamannya dulu?” tanyanya. Saya agak bingung.
Ia pun kemudian membeberkan, sejak ada keputusan bahwa jika anggota dewan maju ke bursa Pilkada, maka ia harus mundur dari jabatannya. Keputusan itu membawa imbas besar, ternyata  anggota dewan yang  yang semula digadang-gadangkan akan bertarung, ternyata harus berpikir ulang, kemudian membatalkan rencana keikutaan mereka.
 “Kalau memang terpanggil, ya, berjuanglah! Kenapa justru takut melepaskan  jabatan yang ada sekarang?” tanyanya. Itu pula yang kemudian membuat kawan saya tersebut tersenyum sumbing, menyindir para wakil rakyat tersebut.
Kondisi ini bertolak belakang jika dibandingkan dengan suasana Pilkada dua atau tiga periode sebelumnya. Ketika itu, tak ada aturan yang mengatur para wakil rakyat tersebut, sehingga mereka tetap ikut “tebak-tebak buah manggis” tersebut. Jika menang, akan dapat “hadiah”, namun jika gagal, ia tetap bisa melanggang untuk duduk di kursi empuk.

23 November 2015

Pergi Membawa Hatinya yang Bersih

 Inmemoriam Osman Jang Qiray, Produser Multitalenta Padang TV:


Kebersihan hati telah mengubah segalanya
Mari gotong royong membersihkan rak
yang sudah lama tidak kita lihat dan jamah

Oleh: Firdaus - Padang

Informasi dari Firman Wan Ipin, Menejer Iklan Rakyat Sumbar, membuat saya tersentak. Awalnya saya sempat tak percaya, tapi seketika itu juga saya  meyakini infomasi tersebut.  Wan Ipin memang sering becanda, tapi  saya tahu ia tak akan pernah becanda sampai hal-hal yang keterlaluan. 
Osman Jang Qiray (baju putih) dalam sebuah kesempatan
“Sekarang jenazah masih di rumah sakit, saya bersama Imunk (Defri Mulyadi, Manager Marketting dan Produksi Padang TV) dan kawan-kawan Padang TV di rumah sakit,” katanya melanjutkan, sebelum saya sempat bertanya.
Begitu hubungan komunikasi putus, masuk telpon dari Fathan Zulfan, Kepala Departemen Kerjasama Padang TV. Saya sudah menduga apa yang akan  disampaikannya.
“Bie, prod Osman sudah duluan, jenazahnya masih di Rumah Sakit M Djamil,” katanya.
Di lingkungan Padang TV dan Padang Ekspres Group, Osman Jang Qiray memang sering disapa dengan panggilan akrab prod, singkatan dari produser, posisi yang ditempatinya.
Selang beberapa detik kemudian, hp saya kembali berdering. Kali ini, Rita Gusveniza, General Manager Padang TV, yang menghubungi. Dari balik gagang hp, saya mendengar suara tangis terisak-isak.

18 November 2015

Kembalikan ke Padang

* Porwil Sumatera, dari Padang ke Bangka Belitung:

 Catatan Firdaus



Sejarah pelaksanaan Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) tak bisa dilepaskan dari semangat mempersatukan bangsa, terutama wilayah Sumatera dan Kalimantan Barat, yang digagas Tentara Nasional Indonesia.
Ivent ini, digagas  Pangkowilhan I (singkatan dari Panglima Komando Wilayah Pertahanan Wilayah I; ketika itu wilayahnya mencakup Sumatera dan Kalbar)  Letjen TNI Soesilo Soedarman. Gagasan itu dicetuskan pada rapat pimpinan Kowilhan I, di Medan, 8 November 1983. Rapat tersebut dihadiri para Panglima Komponen, Kapolda, Gubernur se-Sumatera/Kalbar.

Tuan Rumah

Oleh: Firdaus


Hakikat sebuah pesta, biasanya tuan rumah  mempersiapkan diri sejak awal. Langkah-langkah paling umum; menentukan jadwal, membenahi lokasi acara, mengundang dan menanti tamu, memastikan tamu tidak kecewa. Semua rangkaian tersebut saling terkait. Tidak bisa dipisahkan. Jika dipisah atau salah satu terabaikan, maka akhir dari acara yang diadakan bisa berakibat buruk.
Pada kesempatan ini, saya tak hanya akan membahas satu hal saja; membenahi lokasi acara,  agar tamu tidak kecewa. Saya memilih hal tersebut  hanya karena momentum saja.
Tidak didasarkan pada kriteria apa pun. Tidak pula tersebab peringkat apa pun. Jika menjadi tuan rumah apa pun, biasanya persoalan membenahi lokasi acara sangat mutlak. Jika tidak dibangun baru, bisa direnovasi, dicat ulang, atau minimal dibersihkan dari debu. Muara akhirnya; tamu tidak kecewa.

10 November 2015

04 November 2015

Komunikasi Gaduh

 Oleh: Firdaus*


Kalimat atas petunjuk bapak presiden…, sangat populer di masa pemerintahan Orde Baru,  terutama ketika Menteri Penerangan Republik Indonesia dijabat Harmoko.  Kalimat itu diucapkan ketika  memberikan penjelasan seputar keputusan dan kebijakan pemerintah atau melaporkan hasil rapat kabinet, antara presiden dengan para pembantunya kepada masyarakat.
Pada rabu pertama setiap bulan, selepas siaran Dunia Dalam Berita di TVRI. Ketika itu  ada program  Laporan Khusus Rapat Kabinet Terbatas.  Program tersebut dirasakan banyak orang “mengganggu” kenikmatan  menonton satu-satunya siaran televisi  ketika itu, karena materi dan formatnya acaranya tidak menarik, tapi sangat disukai ayah  saya.

11 July 2015

Tur dek Basiarak



Oleh: Firdaus

Dek lah salasai anak sikola SMP jo SMA ujian pangabisan, lah diumuman pulo luluih indak luluihnyo, rami sangaik urang mambuek aleek. Satiok suduik nagari, suduik kampuang, suduik jorong, ado-ado se ale-ek nan dibuek.
Ado ale-ek nan dibuek co bisua bakuman, sakali bangkak langsuang malatuih. Sakali manganggo, sakali kuok. Sakali kuok langsuang manganggo. Nan lai agak cadiak, ale-ek ko lai dikarajoan sajak lamo. Lah dicataik apo nan ka dibuek, lah dituliehnyo apo nan kadikarajoan.
Samantang bana cando baitu, indak ado gadiang nan indak ratak, indak ado baralek nan indak pacah piriang. Kok indak pacah, eh.. antah disangajo antah baitu pulo adaiknyo, ado se nan pacah. Kok indak, dipacahan lah bagai.
Itu nan dirutok-an dek Karapai. Kok nan maraso cadiak, atau bacadiak-cadiak an, sabananyo indak labiah daripado cadiak buruak doh. Nan ka lamak paruiknyo sajo.
“Sakik banak waang dek nan dibuek urang-urang tu?” Badai batanyo ka Karapai sambia mangirai-ngirai kipeh satenyo di pondok sate Tukang Kipeh.

Mandoa-an Urang Tatilantang

 Oleh: Firdaus
 
Karapai masuak ka pondok sate Tukang Kipeh co urang tele. Inyo baturo-turo mengecek surang. Indak tantu ojok. Antah ka sia inyo madok, indak jaleh ujuang pangke e doh. Sa nyampang coitu, Karapai mulonyo co urang indak tau, tapi indak talok dek e mancaliak konco palangkinnyo baturo-turo surung.
“Dima waang mandi tadi? Bantuak urang tasapo dek antu paburo den caliak,”
“Indak dek masalah mandi e doh, indak pulo dek karano tasapo doh..”
“Tu dek a?” tanyo Badai tagak pinggang.
 “Dek paja-paja antu tu..”
“Sia nan waang mukasuik?”
“Iyo lah anggok raya bana waang mah. Lah kaleboh ampok urang sanagari ko, waang indak juo tau lai. Jan labo manggaleh ko sajo nan waang etong satiok ari. Sakali-sakali caliak juo lah kalua dek waang..” kecek Karapai tabik suga.

Tamakan Sagun-sagun

Oleh: Firdaus

Karapai duduak mancangkuang di suduik pondok sate nan bamerek pondok sate Tukang Kipeh. Nan dicaliak antah kama, nan dipikian antah apo. Indak jaleh duduak tagaknyo doh.
“Co baruak indak tajua bantuak kawan mah…” sapo Badai.
“Waang nan baruak…!”
“Ops! Paneh kawan mah, lai indak tasapo? Di raia ma ka wan mandi tadi?”
“Kok di raia ma waden mandi, tu indak urusan waang doh”
“ Ndak anti. Emangnya gue pikirin?”
“Sajak saisuak, waang kan indak punyo pikiran juo doh”
“Kecek sia?”
“Kecek waden”
“Kok waang nan mangecek, masuak suok kalua kida dek waden,”
“Tu nah bantuaknyo mah,”
“Kok iduik ko, indak paralu dipikian bana doh kawan”
“Baa ka indak den pikian, sajak dulu awak nan dipagarahan se dek urang-urang nan ma uruih awak,”
“Mukasuik waang?”
“Waden agiah tau ciek ka waang dih. Anak waden nan gadang lah tamaik es em a, kapatang alah diumuman asianyo. Adiaknyo lah salasai pulo ujian es em pe. Paniang waden,”
“Iyo lah onggok raya bana waang mah. Itu se lah paniang. Nan gadang tu, kok waang lai bapitih, suruah inyo kuliah, kok indak bapitih, suruah inyo bakarajo, cari pitih dulu. Nan adiaknyo, masuak an ka es em a atau ka es em ka. Salasai tu mah,”
“Indak salasai di situ se doh. Waden binguang dek merek sakola kini..”
“Mukasuik waang?”
“Waang tau ndak, tiok sabanta, satiok baganti apak-apak di ateh nan ma uruih, baganti pulo lakek tangannyo. Bantuak e, lah dikicuah-kicuah sajo awak dek nyo,”
“Lansuang ka pokok masalah se lah kawan… samakin binguan waden dek waang mah..”
“Wak etong dari ujian se dulu. Kini namo e UN, sabalunnyo ado UAN, tu ado lo UNAS, ado lo Ebtanas, ujian negara, ujiang penghabisan. Manga urang-urang tu kok diganti tiok sabanta? Sajak saisuak, nan awak tau es em a, tu ado es me a, es te em, es em ka ka,  eh… kapatang-kapatang ko diubahnyo jadi es em u jo es em ka. Kini caliak lah dek waang, lah babaliak lo ka es em a baliak. Ado lo lokal unggul, ado akselerasi, ado lo sekolah berstandar internasional, tu ado lo rintisan sekolah berstandar internasional. Tu kini lah pendidikan bakarakter pulo galeh nan dijua e. Dulu indak ado disabuik saketek alah e, ebat-ebat juo urang saisuak mah. Buya Hamka, Bung Hatta, Agus Salim, Rohana Kudus, M.Yamin, Tan Malaka,  Bung Karno, Tuanku Imam Bonjol, indak di sakola er es be i doh, indak di sakola bakarakter doh, ebat juo baliau tu nyo. Nan tapikian dek waden, lai indak tamakan sagun-sagun apak-apak nan ma ubah tiok sabantu tu? “
“Jikok waang nan manjadi apak-apak tu?”
“Indak usah waang tanyo. Sakola-sakola nan ado ko ka den jadian sakola ebat sado alahnyo. Labiah ebat dari sakola bakarakter tu, dari er es be i tu, dari…”
Sabalun kecek e tu dilaruihannyo, tib-tibo Badai mamotong kecek Karapai, “lai indak tamakan sagun-sagun waang?”
Karapai ta antok. Takongkang!*


CATATAN:
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar, pada rubrik TUKANG KIPEH, edisi 16-05-2011
 

B a l a

Oleh: Firdaus

Indak lapeh incek mato Badai mamparatian Karapai. Sajak tadi, tampak buruak bana manuang konco palangkinnyo tu, bantuak baruak indak tajua.
Sambia galak, Badai mangajuik an konconyo tu.
“Iyo lah buruak manuang waang mah kawan, bantuak baruak indak tajua..” Badai mamulai paretongan sambia malatak-an sakarek kopi paik, kopi perai untuak konconyo tu.
“Baa ka indak baruak manuang waden dek waang..”
“Apo juo nan waang pikian? Lah bakalibuik pulo waang jo bini waang?”
“Indak itu doh, kalera!”

U j i a n

Oleh: Firdaus

Sajak sapakan ko, Badai ilia mudiak ndak karuan. Di pondok satenyo, lah sariak urang nan ka mambali sate nan basobok jo inyo. Pondok sate  tu dipicayoan ka Karapai. Mulonyo Karapai indak namuah karano inyo indak parnah manggaleh sate. Nan inyo tau, iyo ka ladang.
Bak kecek lagu; dek santiang aka rangik, maisok darah dalam dagiang, luko nan indak banampaan. Itu nan diakai Badai ka konco palangkinyo tu. Eh.. indak taraso, lah sapakan sajo Karapai manggantian Badai manggaleh sate. Nan Karapai indak tau, kama paja tu mailang salamo sapakan ko.
“Iyo panek kaki waden, angek-angek ikua waden, eh nan sakola alun juo salasai lai…” Badai mahampeh-an ikua di paleh-paleh pondok satenyo.
“Sakola? Sakola sia nan waang uruih?”
“Kamanakan waden, sapakan nan lapeh, kamanakan dek ujian tamaik es em a, nan hari ko ado lo surang lai ka salasai es em pe..”
“Manga waang pulo nan mauruih, kama apak mandenyo?”
“Apak mandenyo mintak tolong ka waden, karano inyo iduik jauah di subarang,”
“Oo.. nan anak si Jibun tu? Apo bana nan sarik dek paja-paja tu sahinggo waang jago bana?”
“Itu-lah, indak mangarati waden doh..”
“Kok indak mangarati, manga waang uruih?”

Ulek Bulu

Oleh: Firdaus

Lah buncah urang sanagari, nan Karapai ko indak juo mancogok batang iduangnyo. Antah dimalah kawan ko kini. Biasonyo, kok mancarinyo, indak sarik bagai doh. Ada tigo tampek untuak basuo jo inyo. Partamo, iyo di rumahnyo di suduik nagari. Kaduon, di parak.  Katigo, di pondok sate Badai.
Di pondok sate ko, indak paralu ditanyo bagai. Lapeh asyar sampai manjalang mugarik, sudah tu salasai isya sampai Badai manyuruahnyo bakirok. Sabalun disuruah dek Badai, alun ka barasak Karapai dari pondok sate tu lai.
Nan sakali ko, iyo alah agak lambek indak nampak puncak iduangnyo. Masuak ari nan ka sambilan, katiko indak ado nan mananyo inyo lai, tibo-tibo inyo mancogok di pondok sate Tukang Kipeh punyo Badai.
“Kama sajo waang salamo ilang?” tanyo Badai.
“Lai indak jauah-jauah dari nagari ko doh. Waden ka Nagari Subarang mancaliak ulek bulu,”
“Ulek bule? Apo pulo labiahnyo ulek bulu di situ, kok jauah-jauah waang ka sinan?”
“Labiahnyo dek balian dari nan biaso. Sakambuik buruak di nagari tu. Indak sajo di daun, tapi sampai ka batang kayunyo bagai, sudah tu sampai pulo ka rumah-rumah urang…”
“Kok hanyo mancaliak nan bantuak tu, manga  pulo musti pai jauah-jauah. Di siko banyak mah..” jawek Badai sambia malatak-an kopi paik sakarek.
Kok kopi nan bantuak ko, kopi perai mah. Badai lah tau jo taratik konco palangkinnyo tu. Kalau Karapai duduak di pondok sate tu sambia maambuih angok gadang dua kali, sudah tu maampeh-an kopiahnyo ka meja, tu tando inyo indak bapitih jo indak namuah pulo bautang. Daripado maota kariang sajo, Badai malatak-an kopi paik sakarek. Perai.
Kalau indak maambuihan angok gadang, tu kopiahnyo indak turun dari kapalo, tando minta utang sagaleh kopi diagiah gulo. Jikok inyo datang, katiko sampai di tampek duduak sambia manokok-nokok meja jo jari tunjuknyo limo kali, mako itu tandonyo Karapai sadang bapitih. Sagaleh kopi ditambah sapiriang sate jo limo sala lauak, abih dipugehnyo sakali duduak mah. Kalau maoto agak lamo, biasonyo batambah jo sakarek kopi paik lai.
“Mukasuik waang?”
“Kok mancaliak ulek bulu, manga musti ka sinan waang? Di siko saungguak gaek nan jadi ulek bulu tu mah. Si Badu, Atai, Belai, Simpai, Pudin, itu kan bagian dari ulek bulu mah. Alun nan lain lai. Bantuak indak tau sajo waang mah…”
“Kok nan itu, balain mah kawan. Nan waden mukasuik, iko sabana ulek bulu. Indak ulek bulu nan waang sabuik tu doh..”
“Jadi, nan waang mukasuik nan bantuak kaba di radio nan acok kito danga salamo ko..?”
“Batua kawan,” jawek Karapai.
Tibo-tibo, Badai galak sajadi-jadinyo. Galaknyo bacampua geleang-geleang kapalo. Karapai tapana. Ba-a kok tibo-tibo sajo konconyo bantuak itu. Dimalah tasaponyo paja ko tadi. Dek lamo bana galak tu, Karapai binguang. Ditanyolah ka konconyo tu, ba-a kok inyo galak bantuak tu.
“Den tagalak karano ulek bulu mancaliak ulek bulu,” jawek Badai  batuak ketek-ketek, batuak mancimeeh sambia  manggoyang-goyangan tangan suoknyo di muko dadonyo, bantuak gaya urang mangipeh sate.
“Waang kecek-an waden ulek bulu?” suaro Karapai naiak.
“Indak waden nan manggecek-an waang ulek bulu doh, tapi indak saketek nan manyabuik coitu. Roman waang elok, rancak, tapi jikok waang lah mangirai, gata urang sabalik dek waang…”
“Kapunduang waang! Badai kalera!” ariak Karapai.*

CATATAN:
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar, pada rubrik TUKANG KIPEH, edisi 18-04-2011

Informan Pulisi


Oleh: Firdaus 


Urang sanagari lah buncah. Kaba si Karapai dibaok pulisi lah saluruah urang nagari nan tau. Lah sapakan pulo urang indak masobok jo Karapai. Sajak dibaok dek pulisi, indak tampak puncak iduangnyo lah sapakan.
Tapi nan mambuek urang binguang, anak bini Karapai tanang-tanang sajo. Katiko ado nan batanyo ka bini, si Upiak Banun manjawek bantuan urang acuah indak acuah sajo. Jaweknyo ciek se, antah baa uda kini, Upiak indak lo tau doh. Anaknyo, si Buyuang Atuik, manjawek hampia sarupo jo jawek mandenyo. Antah baa abak buyuang kini, indak pulo buyuang tau doh.
Salamo Karapai indak ado di pondoknyo, sajak itu pulo urang sanagari indak bakurang dari pondok nan di bawahnyo ado kandang ayam tu. Kasado alahnyo mananti, apo sabananyo nan tajadi dek Karapai. Kok iyo bantuak nan tampak dek urang sapakan lalu, Karapai dibaok dek pulisi, iyo-lah sabana parah mah.
Masuak hari ka sapuluah, Badai takalenjek. Kuah sate di sanduangnyo jatuah ka tanah. Pisau untuak mambalah katupek, mairih tangannyo.
“Kalera waang! Takajuik waden!” Badai mamprotes. Sakik atinyo.
“Waang nan kalera. Hampia sapuluah ari waden di kantua pulisi, indak sakali juo waang mancigok waden ma-anta rokok agak sabatang,”

09 July 2015

Banyak Lagu Waang Mah…!

Oleh: Firdaus


Pulang dari ladang, Karapai tampak tapere-pere.  Katiko lalu di muko pondok sate Tukang Kipeh, Karapai dipanggia dek si Badai, kanconyo tu. Karapai antok se. Ampek kali diimbau, jan-kan manjawek, mancaliak se indak.
Niek ka mamanggia agak sakalai lai di ati Badai, dibata-annyo. Kecek atinyo, indak ado gunonyo. Kok dipanggia, tu indak juo mancaliak, takanceh raso ati Badai. Kama muko ka disuruak-an. Jan-jan urang nan duduak di pondok sate tu mangecek-an Badai sok santun.
Babaliak ka tampek duduaknyo, Badai indak abih pikia, dek-a lah kawannyo nan surang tu. Kok tasapo di ladang, rasonyo indak ka mungkin. Badai tau bana baa bantuak ladang di nagarinyo tu. Ladang di nagarinyo tu barasiah sadonyo, sudah tu, salamo ko indak ado nan ganjia di nagari ko doh.
Lah sapakan lamonyo, indak juo Karapai sakali pun singgah di pondok sate Badai. Konco palangkinnyo tu indak tangguang binguang. Salamo ko, indak parnah bantuak iko bana konco nyo tu. Kaniang Badai bakaruik, diingek-ingeknyo bilo Karapai tarakhir kali ka pondoknyo.
Katiko kaniangnyo bakaruik tu, takana dek Badai, konconyo tu tampak basanang ati. Galak tiok sabanta di suduik tampek biaso duduak. Nan mambuek Badai eran, katiko tu Karapai mambaia saisi pondok. Salamo duduak di pondok tu, kok ado nan bali sate batungkuih untuak dibaok pulang, Karapai nan mambaia. Sadonyo disubarangan.

Ma Tau Den…



Oleh: Firdaus

Badai mamete-mete surang.  Garobak sate nan diosong-osong dek anak galehnyo ka tapi lapangan bola, babaliak ka rumah indak bajua bali. Kecek anak galehnyo, indak ado nan manonton bola di lapangan tapi batang aia tu sajak la-I doh.
Dek karano indak bajua bali, mako Badai ilang aka. Kok dijua sate tu di pondok sate Tukang Kipeh, sio-sio sajo jadinyo, sabab nan salamo ko ituangan sate nan tajua di pondok sate tu, alah jaleh. Jikok ditambah, mako takarannyo indak sasuai lai doh.
Ketiko Badai mamete-mete surang, Karapai nan dari ladang, tibo di pondok sate konco palangkinnyo tu. Di tangannyo ado sabik, tu sakaruang rumpuik nan tadi disandangnyo, disandaan di paga pariang. Duduak di paleh-paleh pondok sambia duduak di suduik tampek nan biaso.
Sakarek kopi dipasannyo, satangah sate dimintaknyo.
“Kan lai indak dicatat nan waang pasan ko doh?” tanyo Badai sambia mahidang-an apo nan dipasan dek konconyo tu.

Tauncang Den Ari Ko…!


Oleh: Firdaus

Sanjo lah lapeh. Urang takuik ka lua rumah. Badai maradang surang. Sajak salapeh luhua inyo bukak pondok untuk manggaleh sate, alun juo bajua bali. Nan sakali ko, tampaknyo mangalesoh-ngalesoh surang.  Bantuak urang panik. Panik ka suok, panik ka kida.
Di pond ok satenyo, indak surang juo nan ado. Nan takana dek inyo, si Karapai. Dua hari nan liwaik, konconyo ko mancaritoan tantang supermoon.  Indak sakatek kaba patakuik nan disampaian dek paja surang tu. Dek supermoon tu, ka tajadi bancano, mako labiah elek tingga di rumah sajo.
Kok diituang jo hari nan disabuk dek Karapai, kini mah supermoon tu. Manjalang malam nan ka laruik, indak basobok jo nan dikecek-an dek Karapai tu. Indak ado bancano tu doh. Kok hujan, iyo hujan sangenek, indak ado hubungannyo jo supermoon tu bagai doh. Kok hujan ko alah biaso mah.
Badai masih dapek marasoan ba-a caro Karapai mancaaritoan di pondok satenyo. Iyo barapi-rapi. Basumangaik bana paja tu. Lapeh dari pondok, inyo mancaritoan itu bagai di lapau kopi Mak Taci, atau maota katiko wirid di Surau Buluaih. Bantuak urang cadiak bana gaya paja tu.
Katiko dibantah dek Badai, inyo indak namuah kalah doh. Dek badai, jan kan ka kalah, podo se indak namuahnyo doh. Akibaiknyo,  kaduonyo basitagang urek mariah tadi malam. Katiko kaduonyo basitagang urek mariah, indak surang juo nan namuah manyabaan kaduonyo. Urang nan ado di pondok sate tu tau, dek disabaan makin manjadi ribuiknyo.

“Kok Andia, Andia se-lah Kawan Surang…”

Oleh: Firdaus


Dek di pondok sate Tukang Kipeh  bakalibuak, surang-surang nan ka babalanjo, maurak langkah lambek-lambek, sudah tu langsuang tabang ambua.
Katiko indak surang juo di pondok satenyo, salain konco palangkinnyo, Badai maupek baturp-turo.
“Lah pueh waang? Dek ulah waang, indak surang juo di pondok den ko lai,” Badai tagang pinggang di muko Karapai.
“Kok waden pulo nan waang salahan?”
“Kan waang nan mamulai mah, waang pakaroan harago sate den ko..”
Karapai tagalak. Lamo indak baranti galaknyo. Sakali-sakali dipaciknyo paruik dek manahan galak. Mancaliak Karapai indak baranti galak,  sakik ati Badai deknyo. Tukang sate maraso surang, inyo dicimeeh dek kawannyo tu.

Taragak Pulo Waang Maniru Urang tu..?

Oleh: Firdaus


Ndak dapek aka lai. Sajak angin kancang disaratoi hujan, pondok sate Tukang Kipeh punyo si Badai, lah langang. Duo hari nan lampau, indak ado tajuo satenyo doh. Dua minggu sabalunyo, Badai lah mamasang spanduk di muko pondok satenyo, lah mambagi-bagi karate sahalai ka urang banyak bahaso hari tu ado inyo manyadioan sate kacang raso bainai.
Lah saminggu galeh baru tu, indak ado tando-tando ado nan suko. Sakali mancubo, eh.. sakali tu sajo dibali urang nan samo. Katiko Badai batanyo, ba-a rasonyo, lai puji nan dapek. Saminggu galeh ko, indak ado bantuaknyo ka naiak doh.
“Ujan ka ujan se, sansai den. Kanai pokok galeh den..” Badai mamete-mete sambia malatak-an kopi sakarek nan dipasan Karapai.
Kopi sakarek tu diidui Karapai. Matonyo tapiciang, angoknyo diiruik dalam-dalam dari iduang, “agak balain baun kopi mah kawan?” tanyo Karapai.

Lah Dapek Pulo Mako Mangaluah


Oleh: Firdaus

Urang nan balanjo di pondok sate Tukang Kipeh, kalua ciek-ciek. Sakik talingo urang tu dek iruak suaro Badai jo Karapai basitagang urek Mariah. Baduonyo basikaruak arang, tapi iruaknyo bantuak bulando mabuak. Manciracau kaniak kanin. Kok balamo-lamo di pondok sate ko, bisa pacah gandang talingo. Itu nan tapikia dek urang-urang tu, makonyo urang tu pa-i. Dek pangana Badai ka si Karapai, luponyo minta pitih sate urang-urang nan pai tu.
“Indak waang mintak pitih sate urang-urang tu?” Karapai maingek-an.
“Manga lo itu nan waang cikarau-i..?” Badai baliak batanyo.
“Aden mangana-an se-nyo, kan rugi waang kalau urang-urang nan tu bakirok se salasai makan sate,”
“Tu indak urusan waang tu doh. Nan sate, sate waden. Na mangaleh waden. Kok rugi, waden nan rugi, indak waang bagai doh. Jan waang ma-aliah-aliahan pakaro.
“Tasarah waang-lah, maleh waden mangecek jo waang…” Karapai tagak dari tampek duduaknyo, tu dilatak-an pitih dua puluah ribu sambia menyampaian; nan disungkahannyo sapiriang sate tu batambah tujuah tusuak dagiang, pakaia karupuak laweh bakuah tigo buah.
Mancaliak konco palangkinnyo tu tagak, Badai maambek jalan Karapai, “wak salasaian pakaro wak dulu!”
Badai indak talok manarimo kalau mamaknyo disabuik cemen, bahaso urang kini. Keceknyo, kalau indak disalasaian, baparang kaum bana, ditampinnyo mah. Dek inyo jo kaumnyo, mamak tu tampek batanyo ka pai, babarito kok lah baliak. Tampak baiyo batido.
Kato-kato cemen tu didanga Badai dari Karapai. Talingonyo sirah, darahnyo naiak ka ubun-ubun. Inyo tau, cemen tu labiah buruak dari nan paliang buruak, dituduah indak talok manga-manga, samantaro mamaknyo tu lah basimbah paluah untuak manjadi walinagar di Nagari Matiraso ko, lah ampia abih jarakjarupiahnyo untuak bisa mamacik tampuak pimpinan di nagari.
Karapai mulonyo mancubo mambela diri. Keceknyo, kato-kato tu didapeknyo dari urang-urang di nagari ko nan mampagunjiangan walinagari tu. Mukasuiknyo ka mangabaan apo adonyo, eh.. Badai manarimo jo tabik suga. Itu nan mambuek kaduonyo basiarak di pondok sate tu.
“Bia waang konco palangkin sajak genek dek den, tapi kok coitu caro waang ka mamak den, iyo tasingguang puncak kada den dek waang mah…” hogoh Badai.
“Kok iyo baitu, nan tunggu waang di bukit alang-alang. Wak salasaian surang-surang,” baleh Karapai indak kalah lo tabik suga.
Diago co itu, Badai indak kalah takajuik. Kini baliak inyo indak manyangko dikandak-an coitu dek Karapai. Lututnyo manggigia. Pucek pasia bibianyo. Karapai tau, kok iyo inyo basihumpeh jo Karapai, indak katalok deknyo doh.
Ilimu sikek nan dibaoknyo ka rantau sangkek sari, indak sabara kalau diadu jo ilimu silek Karapai. Ilimu Karapai lah subana tinggi, ilimunyo di dapek langsuang dari Angku Gadang Nan Bagak Tiado Bandiang, tuo silek di nagari tu. Angku Gadang tu mamak kanduang dek Karapai. Bidin baraja silek ka si Karapai. Indak mungkin murik malawan ka guru.
“Baa kok antok waang? Cigin waang? Tu makonyo, jan asa mararah sajo. Aden mangecek-an supayo ado nan ka waang kecek-an ka mamak waang tu. Jan manggaluah juo lai!” pintak Karapai.
Sabulan ko, Walinagari Matiraso tu dipagunjiangan dek urang sakampuang. Indak ado angin, indak ado badai, eh inyo takatai-katai sesurang. Dikecekannyo, indak disangko manjadi walinagari ko rumik doh. Sadonyo alahnyo dikarajoan, tamasuak manyalasaian urang bacakak laki bini. Sudah tu, lah bakarajo wak salah, indak dikarajoan labiah salah pulo. Dimuko awak disanjuang, dibalakang dipagunjiangan.
“Lah untuang mah lai ado disanjuang, cubolah kok dipagunjiangan setaruih, lah is dead nyo mah,”  Karapai mancaca.
“Waang kecek-an ka mamak waang tu, inyo kan lai urang cadiak bijaksano mah, lai urang basikola tinggi, lahia jo gadang di kampuang, cadiak di rantau, kok lah tapiliah manjadi walinagari lo mangecek-an baru tau sarik manjadi wali nagari tu? Kok salamo ko indak tau? Kok indak salah nan waden tau, walinagari nan digantiannyo kan lai kawan liau mah, kok indak batanyo ka kawannyo tu? Kama se salamo ko? Kok iyo indak tau, indak salah kok mamak waang tu den sabuik cadiak pandia tu doh. Inyo cadiak, tapi pandia kironyo,”
“Kok lah disampaian coitu, jikok liau minta jalan kaluanyo, ba-a manuruik waang?”
“Indak sarik bagai tu doh. Suruah se liau maangkek bendera putiah lai, salasai tu mah. Indak jadi walinagari liau lai tu doh,”
“Sia gantinyo?”
“Jan itu pulo nan waang pikian. Nan jaleh, pasti indak waang. Mamak waang se indak talok doh, apo lai waang!”
Sasudah mangecek tu, Karapai bajalan. Tigo kali Badai mamanggianyo. Jan kan ka dijawek, mancaliak ka bulakangnyo indak deknyo doh.*

  
CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada Harian Umum Rakyat Sumbar, edisi 21-02-2011

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...