28 June 2020

Mencuri Nasi dan Kencing di Kelas

Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Ketika itu, kalau tak salah, aku kelas II SMP. Sekolahku kedatangan tamu dari SMPN 5 Pekanbaru, Riau. Sejak pagi, aku sudah berada di sekolah, seperti halnya sebagian besar pelajar lain. Tapi rombongan baru datang selepas siang.
Setelah mereka istirahat sejenak, dilanjutkan dengan pertandingan persahabatan di cabang voli putra dan putri, basket putra dan putri serta takrau putra. Aku tak ingat secara pasti, siapa yang menang saat itu. Aku hanya ingat, suasananya sangat ramai dan meriah.
Esok pagi, rombongan melanjutkan rangkaian kunjungan di Sumbar, menjelang sore, mereka kembali ke sekolah. Semua rombongan menginap di sekolah. Para pelajar di sekolahku diminta untuk menjadi tuan rumah yang baik. Termasuk menyediakan tikar, kasur, bantal dan selimut untuk para tamu tersebut.
Tempat tidurnya sangat sederhana. Selain membentangkan tikar dan kasur di lantai, ada juga yang tidur di atas meja. Caranya, sejumlah meja disatukan. Disusun secara rapi, lalu kaki meja paling pinggir “dikunci” dengan palang kayu yang dipaku.
Malam kedua merupakan malam terakhir mereka menginap di sekolahku. Rencananya, besok pagi mereka akan pulang ke Pekanbaru. Malam itu merupakan malam paling ramai. Sangat banyak pelajar dari sekolahku yang datang. Malam tersebut benar-benar menjadi malam gembira dan sekaligus malam perpisahan. Sekolahku menyuguhkan malam hiburan. Beragam atraksi kesenian Ranah Minang dipersembahkan. Begitu juga dari tamu, mereka juga menampilkan kesenian Tanah Melayu.
Malam itu dimanfaatkan juga untuk saling berkenalan, mencari dan menambah teman. Ada yang saling minta alamat dan nomor telpon rumah. Ada juga yang saling tukar stiker kartu nama. Aku salah satu di antara ratusan orang yang hadir malam itu. Aku tak sendirian, ada dua temanku yang lain. Keduanya, juga teman sejak SD, malahan satu di antaranya sama-sama TK.
Disaat suasana Malam Kesenian sedang meriah, aku dan dua temanku tersebut merasakan sesuatu di bagian perut. Kami baru ingat, belum makan sejak siang. Peluang mencari makan ke luar sekolah tak mungkin. Tak ada orang yang berjualan lagi. Sudah malam.
Kami mencari akal. Lalu berkeliaran mencari peluang di titik sentral kegiatan acara. Hopp. Ada harapan. Dua nasi bungkus di meja panitia. Tanpa pikir panjang, kami memasang strategi. Akhirnya, kedua nasi bungkus itu dalam “kekuasaan” kami.
Setelah menguasai nasi bungkus tersebut, kami pun mencari tempat yang dipandang aman untuk menikmatinya. Kami akhirnya masuk ke sebuah kelas. Dua nasi bungkus tersebut kami bentangkan sekaligus, lalu tiga tangan menjamah untuk dinikmati.
Belum habis santapan malam itu,  acara Malam Kesenian usai.  Panitia  memberikan waktu kepada semua yang hadir, khususnya murid dari SMP ku untuk meninggalkan sekolah. Kata panitia, kawan-kawan dari Pekanbaru akan beristirahat karena besok akan melakukan perjalanan panjang ke Pekanbaru.
Beberapa saat kemudian, pengumuman lanjutan datang dari petugas Polsek, mengingatkan agar yang bukan pelajar dari Pekanbaru dan panitia sekolahku, diminta segera meninggalkan lokasi.  Kami berpikir, tidak akan mungkin meninggalkan lokasi, sebab untuk pulang ke rumah, bukan perkara mudah. Tak ada lagi angkutan umum malam itu ke rumah kami.
“Kita tidur saja di sini,” usul seorang temanku.
Kami pun sepakat. Sejumlah meja disusun untuk tidur. Berlahan kami pun merebahkan badan.
Ketika baru hendak tidur, kembali ada pengumuman dari petugas Polsek. Pesannya sedikit lebih keras dan ada nada ancaman. Kami mulai ragu, apakah akan terus tidur di dalam kelas ini, atau keluar dari pekarangan sekolah?
“Kalau keluar, kita bermalam di mana?” tanyaku?
“Nanti saja kita pikirkan,” kata yang lain.
Sekali lagi ada pengumuman serupa. Petugas Polsek mengatakan, akan mengadakan razia keliling sekolah. Jika  ditemukan yang bukan panitia dan pelajar dari Pekanbaru, akan diproses di Mapolsek. Posisi sekolah dengan Mapolsek hanya berseberangan jalan.
Akhirnya, mulai ada rasa cemas dan takut. Kami memutuskan untuk memanjat jendela kelas lagi, seperti saat masuk, meninggalkan kelas yang mejanya sudah kami susun menjadi tempat tidur dan bungkusan nasi serta rimah yang berserakan di lantai.
Malam itu juga, kami menyeret langkah meninggalkan pekarangan sekolah dalam ketakutan. Apalagi, ada di antara kami yang sempat kencing di kelas tersebut.
Ah, itu dulu. Dulu sekali. Puluhan tahun silam. * 

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...