16 September 2016

Bagaikan Tustel Usang yang Terus Dipalagak-an...


 Fenomena Randai Kekinian:


Apa yang terjadi dengan randai di era kekinian? Jika diibaratkan, randai tak lebih dari sebuah tustel usang yang terus dipalagakan ka niak ka nin (dibangga-banggakan kemana-mana). Fenomena itu terjadi karena satu hal. Bak sindiran usang sejak masa lalu; cadiak dijua, binguang dibali.

Oleh: Firdaus – Padang

Randai adalah sebuah permainan anak nagari di Minangkabau. Dari Wikipedia bahasa Indonesia,  randai  dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian (gurindam). Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.
Di randai ada pesan, permainan. Dalam tontotan ada tuntunan. Randai harusnya adalah segalanya. Segalanya dalam artian kesenian tradisi. Hanya saja, randai sedang berada dalam kondisi stagnan yang sangat akut.
Melihat situasi randai hari ini, berangkat dari kesimpulan Wikipedia tersebut, hampir 40 tahun terakhir, tak ada yang berubah dari randai. Kondisinya selalu begitu. Dimainkan berkelompok, membentuk lingkaran, melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian.  Menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.
Yang lebih membosankan, materi yang disampaikan melalui randai, dalam bentuk kisah atau cerita, juga tak pernah berubah. Penampilan randai cenderung memakan waktu yang sangat lama, dua jam hingga lebih, bahkan ada yang semalam. Durasi yang panjang itu, tentu saja membosankan, dan setiap orang memiliki kesempatan dan kepentingan berbeda. Tak bisa dipaksakan untuk tetap bertahan di tempat yang sama dalam kurun waktu lama.

Bagaikan Tustel Usang yang Terus Dipalagak-an...


 Fenomena Randai Kekinian:


Apa yang terjadi dengan randai di era kekinian? Jika diibaratkan, randai tak lebih dari sebuah tustel usang yang terus dipalagakan ka niak ka nin (dibangga-banggakan kemana-mana). Fenomena itu terjadi karena satu hal. Bak sindiran usang sejak masa lalu; cadiak dijua, binguang dibali.

Oleh: Firdaus – Padang

Randai adalah sebuah permainan anak nagari di Minangkabau. Dari Wikipedia bahasa Indonesia,  randai  dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian (gurindam). Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.
Di randai ada pesan, permainan. Dalam tontotan ada tuntunan. Randai harusnya adalah segalanya. Segalanya dalam artian kesenian tradisi. Hanya saja, randai sedang berada dalam kondisi stagnan yang sangat akut.
Melihat situasi randai hari ini, berangkat dari kesimpulan Wikipedia tersebut, hampir 40 tahun terakhir, tak ada yang berubah dari randai. Kondisinya selalu begitu. Dimainkan berkelompok, membentuk lingkaran, melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian.  Menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.
Yang lebih membosankan, materi yang disampaikan melalui randai, dalam bentuk kisah atau cerita, juga tak pernah berubah. Penampilan randai cenderung memakan waktu yang sangat lama, dua jam hingga lebih, bahkan ada yang semalam. Durasi yang panjang itu, tentu saja membosankan, dan setiap orang memiliki kesempatan dan kepentingan berbeda. Tak bisa dipaksakan untuk tetap bertahan di tempat yang sama dalam kurun waktu lama.

07 September 2016

Apalah yang Terjadi?




Oleh: Firdaus



Semakin gencar Satpol PP melakukan razia, penggerebekan, semakin banyak juga yang tertangkap. Setiap hari razia, selalu saja membawa “hasil tangkapan” ke markas komando.

Mereka yang ditangkap berasal dari berbagai lapisan. Mulai dari pasangan yang sedang berpacaran, pasangan yang baru mencoba “gitu-gituan” hingga yang sudah pernah “begituan”.  Usianya beragam, mulai dari anak sekolahan hingga yang sudah berumur.

“Apalah yang terjadi?” tanya seorang kawan kepada saya. Bingung saya dibuatnya.

Full Days School


Oleh: Firdaus


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menggagas sistem  Full Day School. Sekolah sehari penuh. Gagasan itu tujukan untuk  pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta.
Gagasan itu langsung memantik respon dari berbagai kalangan. Beragam pandangan bergulir. Bermacam pendapat muncul kepermukaan. Gagasan sang menteri bagaikan bola salju yang mengelinding dari ketinggian.
Menteri yang baru hitungan hari menggantikan posisi Anis Baswedan mengungkapkan alasan. Sistem baru itu dimaksudkan agar agar anak tidak sendirian ketika orangtua mereka masih bekerja.

05 September 2016

Panjat Pinang



Sudahkah anda menyaksikan lomba panjat pinang di acara tujuhbelasan tahun ini? Bagi yang belum, lekaslah dicari. Saksikan dan amati secara detail. Apa yang terjadi dan bagaimana proses pelaksanaannya? Bagi yang sudah menyaksikan, bersyukurlah, lalu amati kembali prosesnya secara detail.
Kenapa saya harus mengajak anda menyaksikan dan atau mengamati kembali proses panjat pinang tersebut secara detail? Sebenarnya, tak penting-penting benar, namun ajakan ini lebih saya maksudkan agar kita tak salah lagi memberikan makna dari analogi panjat pinang.

09 June 2016

Paradise, Aku Takut Jatuh Cinta

Nantikan novel; Paradise, Aku Takut Jatuh Cinta
Karya: Firdaus Abie
Novel ini berkisah tentang perjuangan seorang anak SMA yang berjuang untuk bisa menyelesaikan sekolahnya. Impiannya tidak muluk-muluk, bisa menyelesaikan pendidikan di bangku SMA!

20 May 2016

Nikmatnya Orgen Tunggal


 Oleh: Firdaus


Irama musik terus berdentam. Menyentak hingga terasa di dada. Goyangan sang artis bergerak tak karuan, berlahan mulai menggerakkan birahi. Nafas mulai terengah-engah mengikuti geraknya, sementara vokal yang dikeluarkannya kian tak jelas.
 Di hadapan penyanyi, duduk dan bergoyang ratusan orang. Anak-anak hingga orang tua bercampurbaur menjadi satu. Semua larut dalam goyangan hingga larut malam. Bergojet dengan gerak tak seirama. Sesuka hati saja.
Anak-anak bau kencur menyatu bersama orang tua “bau tanah”, mamak dan keponakan bergoyang berpegangan tangan. Mamak rumah dan sumando ikut pula. Ipar besan turut serta. Tak ada batas dan ruang di antara mereka.

Musorprovlub jadi Jalan Tengah



Oleh: Firdaus


Syahrial Bakhtiar, Ketua Umum KONI Sumbar meletakkan jabatannya, 8 April 2016, kemudian menunjuk Syaiful, Waketum I sebagai pelaksana tugas (Plt), Senin (16/5) lalu, jabatan yang diletakkan itu diambil kembali.

Artinya, kini, Syahrial Bakhtiar kembali menjadi ketua umum. Jabatan yang diletakkan itu diambil kembali melalui rapat pleno. Sudah masuk kantor pula. Meletakkan jabatan bukan berarti mundur. Syahrial Bakhtiar tak pernah mengatakan mundur, hanya meletakkan jabatan.
Dasar ia meletakkan jabatan, tindak lanjut dari Surat Edaran Gubernur Sumatra Barat nomor 099/111/GSB 2016 tanggal 30 Maret 2016 tentang rangkap jabatan dalam kepengurusan KONI Sumatra Barat.
Setelah meletakkan jabatan dan pelaksana tugas digengganm Syaiful, urusan menjadi pelik. KONI Pusat sebagai pemegang otoritas olahraga Nasional tak mengakui kehadiran Syaiful. Belakangan beredar surat, isinya Gubernur Sumbar Irwan Prayitno me-SK-kan Syaiful menjadi pelaksana tugas KONI Sumbar. Juga beredar surat yang ditandatangani Syaiful dalam kapasitas sebagai Ketua Umum KONI Sumbar,
KONI Pusat mengirimkan surat bernomor  NO.813/ORG/IV/16 tertanggal 26 April 2016, perihal tanggapan Surat Mendagri tentang kepengurusan KONI yang ditujukan kepada ketua KONI se-Indonesia untuk dapat melaksanakan poin 2e yakni KONI melakukan penataan organisasi sesuai Surat Mendagri setelah PON Jawa Barat.

28 March 2016

Bakalibuik hanya Saat Banjir Saja…


* Hari Ini, Sepekan Setelah Banjir Bandang di Kota Padang


Sore datang menjelang. Jalan masuk ke komplek tampak kotor. Berlumpur. Jalanan beraspal sudah berwarna kuning. Seorang ibu muda terlihat bergerak sigap membagikan bungkusan dari kantong kresek biru di tangannya.

“Makan siang dulu…,” katanya, padahal ketika itu, waktu sudah menunjukkan lewat pukul tiga siang. Sudah menjelang sore.
Ia tak bermaksud bercanda, menawarkan makan siang disaat sore menjelang. Ia tahu, warga di lingkungan tempat tinggalnya, saat itu, belum makan. Sarapan pagi pun entah ada entah tidak. 
 Sekitar 18 jam sebelumnya, Senin (21/3) sekitar pukul 21.00 WIB, hujan membasuh wajah kota Padang. Air diguyurkan dari langit, sangat lebat. Sekejap saja, air mulai tergenang dimana-mana. Sejumlah ruas jalan digenangi air. Puluhan komplek perumahan dan kawasan padat penduduk dikepung air.
Air di jalan komplek tempat saya menetap sejak dua hari sebelum gempa dan tsunami di Aceh, diperkirakan mencapai dua meter lebih. Komplek perumahan itu bernama Komplek Lubuk Intan, di Kelurahan Lubuakbuayo, Kecamatan Kototangah, Padang.
DI komplek ini ada sekitar 320 unit rumah. Rumah sebanyak itu dibangun dalam tiga tahap pembangunan. Saya menempati komplek tahap I.  Air mulai masuk rumah warga  sejak pukul 23.00 WIB.  Aliran sungai yang berliku di bagian belakang komplek itu membuat aliran air bergerak sangat cepat mengepung. Sejumlah warga masih sempat mengevakuasi  kendaraannya persis di stasiun kereta api Lubukbuaya.
Ketika mereka hendak kembali ke rumah, sebagian besar sudah terjebak karena kedalaman air sudah tinggi dan arus air sudah sangat deras. Dua orang warga sempat terseret arus beberapa meter, namun selamat karena mereka dapat menggapai pagar rumah.
Puncak air terdalam terjadi menjelang pukul tiga, selasa dinihari. Saat itu, tak satu pun rumah di komplek tersebut yang tidak dimasuki air. Belasan kendaraan yang dievakuasi dan di parkir warga di gerbang komplek, tepatnya di belakang stasiun kereta api Lubuakbuayo, juga tak luput dari terjangan air.
Air masuk ke dalam mobil dan merendam badan mobil serta mesinnya. Puluhan sepeda motor hilang tenggelam dalam banjir, termasuk mobil dan sepeda motor  yang selama ini jadi penyambung kaki untuk beraktivitas. Kata orang bengkel, harus bongkar mesin. Hop..! (saya pun penepuk kening..)
Di dalam rumah warga, kedalaman air bervariasi. Terendah sepaha, lainnya di atas paha. Ada yang terpaksa harus mengungsi karena air sudah mencapai dada di dalam rumahnya. Ketika air surut, diukurnya air yang masuk. Garis bekas air yang membekas di dinding rumahnya menunjukkan kedalaman air “menenggelamkan” keluarga penghuni rumah tersebut.
Warga komplek menilai, banjir yang datang sangat buruk. Ukurannya, semua rumah di komplek sudah terendam.  Saya mendukung kesimpulan warga. Selama ini, pernah hujan lebat selama dua hari dua malam, namun genangan air hanya di jalan komplek saja.
Kalau pun pernah ada banjir, namun tak pernah masuk rumah saya. Hanya sampai teras.  Pembanding lainnya, rel di stasiun kerata api Lubuakbuayo. Konon rel itu tak pernah disentuh banjir, namun kejadian malam itu, air sudah menenggelamkannya. 
Banjir yang melanda komplekku, ternyata tak seberapa jika dibandingkan kejadian di kawasan lain. Seorang senior saya mengabarkan, di kediamannya air hanya sejengkal. Maksudnya, sejengkal lagi mencapai plafon rumahnya. Oh..!
Kecamatan Kototangah, Padang, merupakan daerah terparah diserang banjir. Banjir dimana-mana, termasuk di seputaran Balaikota Padang. Apa mau dikata lagi, pusat pemerintahan (dipidangkan dari wilayah Padang Barat ke Kototangah, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2011 tentang Pemindahan Pusat Pemerintahan Kota Padang dari wilayah Kecamatan Padang Barat ke wilayah Kecamatan Kototangah) itu benar yang sudah direndam banjir.
Setelah air surut, persoalan belum selesai. Warga bermasalah dengan air bersih. PDAM menghadapi persoalan. Data dari Kabag Umum PDAM Padang Alfitra SE, empat  lokasi Instalasi Pengolahan Air (IPA),  di Latuang, Lubukminturun, berkapasitas produksi 290 liter per detik mati total. Penyebabnya pipa air baku dari tanah taban putus dihantam longsor, intake Latuang tertimbun material bebatuan besar. Latuang  memasok air untuk Kototangah,  sebagian Padang Utara, sebagian Nanggalo, sebagian Kuranji.
Kemudian IPA Guo Kuranji dengan  kapasitas 70 liter per detik,  intake rusak berat. IPA ini mendistribusikan air  kawasan Balimbiang Kuranji.  IPA  Jawa Gadut, kapasitas 40 liter per detik juga intake rusak berat, padahal IPA ini  mengalir untuk Limau Manih Pauah  dan sekitarnya.  IPA Lubuakparaku  sempat terhenti akibat air baku  berlumpur.  Keempat IPA itu melayani 35 ribu pelanggan. Air bersih hanya bisa didistribusikan dengan empat unit mobil tangki. Beroperasi siang malam.
Ratusan relawan terjun mendistribusikan bantuan. Makanan ringan, nasi, pakaian, air bersih dan berbagai kebutuhan lain, dibagikan kepada masyarakat yang memerlukan. Kedatangan bantuan tersebut, tidak serta merta menyelesaikan persoalan.
Ketidaksabaran menghadapi situasi sulit, berbeda dari keseharian hidup mereka, membuat sebagian besar korban banyak cepat terpancing. Adrenalin mudah terpancing. Sikap egois langsung terlihat. Sejumlah relawan mengaku, kehadiran mereka mendistribusikan bantuan tak jarang disambut umpatan, makian dan kekesalan korban banjir. Keinginan mereka, bantuan segera datang sesuai keinginan, namun proses di lapangan tak semudah yang mereka inginkan.
Hari ini, sepekan sudah banjir besar di Padang, berlalu. Setelah itu, sepekan, dua pekan, sebulan, dua bulan ke depan, peristiwa banjir ini akan “hilang” dalam memori. Pemerintah yang tak bisa berbuat banyak selama penangganan korban banjir, juga akan melupakan. Aktivitas kembali berjalan sesuai putaran rodanya. Situasi akan bakalibuik (sibuk yang luar biasa) kembali kalau hal serupa datang lagi. Berbagai teori untuk antisipasi banjir muncul lagi.
Masalah yang terjadi, menurut cara berpikir induktif, yakni menarik kesimpulan umum dari berbagai kejadian dan data yang ada di sekitarnya, didasarkan pada pengamatan, persoalan banjir  disebabkan banyak faktor.
Faktor itu, di antaranya; saluran (drainase) di kiri kanan jalan  sudah tertutup trotoar, dan jalan masuk ke rumah atau ruko, sehingga air tergenang di sepanjang jalan. Pembangunan komplek perumahan yang diduga di kawasan yang sebelumnya tempat tumpahan air, disebabkan harga tanah yang murah dan (mungkin) didukung pula oleh proses izin yang mudah plus tanpa pengawasan.
Dibutuhkan dukungan nyata pemerintah kota, provinsi atau pun pusat kepada PDAM, sehingga perusahaan daerah pemasok air bersih bagi rakyat tersebut tak mengalami persoalan nyaris serupa setiap hujan mau pun banjir. (firdaus)

CATATAN:
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar dan Padang Ekspres, edisi Senin 28 Maret 2016


20 March 2016

Apalah yang Terjadi?






Oleh: Firdaus

Semakin gencar Satpol PP melakukan razia, penggerebekan, semakin banyak juga yang tertangkap. Setiap hari razia, selalu saja membawa “hasil tangkapan” ke markas komando.
Mereka yang ditangkap berasal dari berbagai lapisan. Mulai dari pasangan yang sedang berpacaran, pasangan yang baru mencoba “gitu-gituan” hingga yang sudah pernah “begituan”.  Usianya beragam, mulai dari anak sekolahan hingga yang sudah berumur.
“Apalah yang terjadi?” tanya seorang kawan kepada saya. Bingung saya dibuatnya.
Katanya, kalau mereka tak tahu, rasanya tak mungkin. Setiap hari, razia dilakukan. Selalu saja ada hasil tangkapan. Diberitakan di koran, tv, radio dan online. Kalau mereka tak tahu, apakah mereka tak membaca koran, tidak melihat tv, tidak mendengar radio atau tidak baca online.
Rasanya, salah satu di antara saluran komunikasi massa itu, mustahil tak pernah didapatinya agak sekali sehari, atau sekali dua hari, atau minimal sekali sepekan. Atau, saluran komunikasi itu hanya dimanfaatkan untuk menonton sinetron, gosip artis saja? Entahlah.
Atau mungkin ada celah yang membuat orang tidak jera terhadap kinerja polisi penegak Perda tersebut. Misalnya, selama ini, setelah ditangkap, mereka hanya didata, diberi wejangan, membuat surat perjanjian, dipanggil keluarganya, kemudian dipulangkan.
Jika hanya begitu-begitu saja, maka hasilnya dikemudian hari juga akan begitu-begitu juga. Hitunglah, sekali razia pasti berbiaya. Beli BBM untuk kendaraan operasional, uang makan malam, sarapan pagi, tetapi hasil nyata dari razia tersebut justru tidak nyata. Minyak habih, samba tak lamak.

17 March 2016

Mampukah Melewati Lima Musim Berturut?

* Irman Gusman Cup 2016

 Oleh: Firdaus Abie



Dimasa lalu, medio 1960-an hingga awal 1980-an, Sumbar umumnya, Padang khususnya, sangat disegani di kancah sepakbola Nasional. Kini?
Dalam lintasan sejarah, tim-tim besar dalam dan luar negeri, pernah merasakan “panas dingin” menghadapi putra-putra terbaik ranah Minang. Klub terbesar di Sumbar ketika itu, PSP Padang merupakan ikon keperkasaan tersebut.
Tim yang lahir tahun 1928 ---berawal dari lapangan Dipo (kini kawasan Taman Budaya Padang), menghadapi lawan-lawannya dengan perjuangan pantang menyerah. Tim kuat masa itu, Salzburg Austria ditahan imbang 2-2, menang menghadapi Mozambik Afrika  5-2, menang saat menjamu Colombus AAfrika  3-1, takluk dari  Timnas Bulgaria 1-6, kalah dari FC Lokomotiv Moskwa,  0-7. Kekalahan PSP merupakan kekalahan terkecil tim-tim yang dihadapi klub tersebut selama kunjungan ke Indonesia.
Eforia semaraknya sepakbola di Sumbar kian terasa ketika bergulir Harun Zein Cup. Konsistensi Harun Zein Cup sangat panjang. Kejuaraan ini dimulai saat Harun Zein menjadi gubernur Sumbar, kemudian diteruskan dimasa kepemimpinan Azwar Anas.
Harun Zein Cup mempertemukan anak-anak nagari se-Sumbar. Tim-tim yang berlaga kala itu, tampil atas nama nagari. Tak mengherankan kalau kemudian harga diri nagari dipertaruhkan di sepakbola. Kototangah, Cangkeh (kala itu masuk Padangpariaman, kini berada masuk wilayah administrasi kota Padang), Balakang Tangsi (Padang), Ampek Angkek Canduang (Agam), Tanjuangmutiara (Agam), merupakan lima dari sejumlah nagari yang memiliki anak-anak nagari hebat di sepakbola kala itu. Anak-anak Kototangah justru pernah membawa gelar juara secara  berturut, 1975 dan 1976, menjelang Harun Zein mengakhiri jabatannya.
Dari Harun Zein Cup tersebut muncul nama-nama hebat di kancah sepakbola, Irawadi Uska (alm), Idrus Ali, Arif Pribadi, Syofinal, Gusril, Faisal Fahmi, Darman Manggus. Nama-nama itu menginspirasi anak-anak muda berikutnya.

26 January 2016

Setelah Final?



Oleh: Firdaus


Demam Piala Jenderal Sudirman melanda Sumbar. Pemantiknya sudah jelas. Semen Padang, Nil Maizar dan Jafri Sastra. Kalau pun mereka bertarung di laga berkelas turnamen, namun eforia pecinta sepakbola di Sumbar seakan tak peduli dengan “kasta”  turnamen tersebut.
Harus diakui, kelas juara Piala Jenderal Sudirman tentu tidak sebanding dengan gelar juara Piala Liga, 1992,  yang kemudian mengantarkan Semen Padang ke Piala Winners Asia. Lolos ke putaran kedua setelah mengalahkan wakil Vietnam, Banghabadhu. Mengalahkan Yokohama Marinos, Jepang, di Padang,  2-1, lalu dihajar tim negeri Sakura tersebut 11 go tanpa balas.

Rindu Suasana Kerja


Oleh: Firdaus[1]


Saya tiga kali “keluar masuk” Padang Ekspres. Pertama kali masuk, saya  satu dari  20 orang perintis, generasi pertama Padang Ekspres. Awal bergabung, sebelum koran ini terbit, saya diplot menjadi redaktur olahraga, namun tepat saat lebaran ke dua, Rabu 20 Januari 1999, saya harus berangkat ke Pekanbaru, menjadi koordinator cetak jarak jauh, mengawal proses finishing.

Materi dari Padang baru setengah jadi, itu pun hanya untuk halaman daerah,  kemudian semuanya diselesaikan di Pekanbaru. Padang Ekspres ketika itu, dicetak di percetakan Riau Graindo, percetakannya Riau Pos. Cetak jarak jauh ini berlangsung selama enam bulan.
Minggu, 14 Januari 2007. Bersama 11 orang personil Padang Ekspres dan dua orang karyawan Posmetro Padang, kami berangkat ke Pekanbaru, menuju Riau TV. Proses magang yang sangat singkat, hanya sepekan, menguatkan semangat kami untuk membangun pondasi kehadiran Padang TV. Tanggal keberangkatan tersebut merupakan momentum pertama kali saya “keluar” dari Padang Ekspres, sebab sekembali dari Pekanbaru, sekali pun tindaklanjut Padang TV belum terlihat tanda-tandanya, namun saya sudah harus meninggalkan “kursi” Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) di Padang Ekspres, posisi yang sudah saya tempati sejak 2004.

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...