31 July 2020

Ihramku Jawaban Atas Segalanya


Ihramku Jawaban Atas Segalanya
: Firdaus Abie


Labbaika Allahumma Labbaik
Labbaika La Syariikala


Jika Dia sudah berkehendak:
Kun Fayaku..!
Maka terjadilah sesuai kehendaknya...

Tak ada yang bisa menghentikan!

Mereka datang memenuhi panggilanMu, ya Rabb..!
Mereka datang memenuhi panggilanMu
Orang-orang pilihanMu
Pilihan dari jutaan kesempatan yang seharusnya di sana


Labbaika Allahumma Labbaik
Labbaika La Syariikala

Ya, Rabb
Aku iri
Mengapa tidak aku yang di sana?

Ya, Rabb
Di ArafahMu Aku muhasabah diri
Ampuni Aku!
Niatku belum lurus....
Dadaku masih menyimpandebar kesombongan....
Ibadahku sandiwara belaka....

Ya, Rabb
Kubuang sifat-sifat kehewananku
Kulempar setan-setan yang bersemayam dalam jiwa
Ihramku jawaban atas segalanya...


Padang, 31 Juli 2020

28 June 2020

Indak Talok Den Kanai Ati

Kisah yang Tercecer

Oleh: Firdaus Abie

Ketika azan Subuh berkumandang, aku berlari dari hotel ke Masjidil Haram. Aku hanya kebagian saf di pelataran luar masjid. Selesai Subuh, aku tak kembali ke hotel, tapi lebih memilih untuk  masuk ke dalam masjid dan kemudian berdiri tak jauh dari  Ka’bah. Kupandangi Ka’bah dalam-dalam, sembari membaca doa sesuai  buku panduan yang kumiliki.  Aku juga berharap, umroh pertama ku ini (tentu saja berharap bisa melakukan kembali) benar-benar bisa maksimal beribadah.
 Setelah itu, aku bergerak. Aku berniat melaksanakan tawaf sunnah. Sembari melangkah berlahan, ku baca doa yang ada di buku panduan. Beberapa kali langkahku tersandung, beberapa kali juga aku terhuyung karena suasana sangat ramai.
Ketika melangkah, ada rombongan mengenakan pakaian ihram sedang tawaf. Aku sedikit merapat ke barisan tersebut, lalu kemudian mengikuti bacaan yang mereka baca. Sekali putaran aku bersamanya, ternyata rombongan tersebut sudah mengambil jalur paling kanan, kemudian keluar dari pelaksanaan tawaf. Rupanya, aku ikut tawaf putaran terakhir mereka.
Aku terus melangkah. Ketika itu, salah satu keinginanku, setelah tawaf putaran kedua, aku ingin  mencium Hajar Aswad. Langkahku terus merapat ke arah Ka’bah. Entah mengapa, tiba-tiba aku tertegun sejenak. Aku lihat suasana di arah Hajar Aswad. Sangat ramai. Suasana saling berdesakan. Nyali ku mulai ciut. Ku kumpulkan kekuatan sembari terus berdoa agar Allah  memudahkan langkahku.
Ketika langkah kaki hendak ku langkahkan, tiba-tiba dari arah kiri depanku, ada dorongan sangat kuat ke kanan. Begitu juga dari arah kanan, ada dorongan ke kiri. Aku tersentak sejenak. Kuperhatikan ke sekeliling. Allahu Akbar, aku ternyata persis berdiri di pintu masuk Hijir Ismail.
Tanpa pikir panjang, ku ikuti dorongan dari arah kanan. Aku ikuti dorongan yang kuat dari kanan. Aku putar tubuhku menghadap ke arah kiri, sehingga dorongan dari kanan berubah dari arah belakang. Semakin kuat dorongan dari belakang, semakin kuat pula aku mendesak ke dalam, sehingga aku masuk ke wilayah Hijir Ismail.
“Haji.., haji..! Sudah salat?” tanya seseorang setelah aku berada di dalam wilayah Hijir Ismail.
“Belum, haji!” balasku.
Ia memberi kode, setelah perempuan yang sedang salat di depannya, aku boleh menggantikan. Aku boleh salat di sana. Aku mengangguk. Perempuan tersebut tampak sedang sujud.
Lelaki itu berlogat Jawa. Ia menggunakan peci Nasional yang biasa dipakai di Indonesia. Tidak kopiah putih, yang biasa disebut kopiah haji, yang biasa dipakai orang-orang pulang ibadah haji dan umroh. Perawakannya sedang. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang tak dikancingi. Di balik jaket tersebut terlihat jelas baju koko agak gelap.
Lelaki itu  sibuk memblokir beberapa bagian agar orang bisa salat di sana.  Ada tiga orang lain yang membantunya. Perawakan dua lainnya, mirip perawakan orang Indonesia. Aku memperkirakan, mereka satu keluarga, atau paling tidak dari satu rombongan.
Ketika perempuan tersebut duduk, saya memperkirakan tahayat akhir, aku memperhatikannya. Rona wajahnya mirip orang-orang Timur Tengah. Ketika perempuan itu selesai salam, ia segera bangkit, dan lelaki tersebut memberikan ruang kepadaku untuk segera salat di sana.
Kuangkat kedua tangan. Takbir. Kuniatkan salat sunah dua rakaat. Pada sujud terakhir, sujudku lebih panjang. Sebelumnya aku ingat pesan jamaah yang sudah balik dari umrah, jika dapat salat di Hijir Ismail, sulit mendapatkan tempat berdoa lebih lama di sana. Dorongan dan desakan jamaah lain sangat ramai. Bisa terinjak dan kebanting.
Disaat sujud atau pun duduk, aku sudah merasakannya. Ada saja yang menyentuh bahu dan kepalaku. Mungkin juga aku dilangkahi jamaah lain. Disaat sujud terakhir, setelah membaca doa sujud, aku juga melanjutkan dengan doa-doa lainnya. Sujud terakhir itu, terasa lebih lebih panjang dari sujud-sujud sebelumnya. Aku lakukan semua itu karena teringat pesan, akan sulit mendapatkan posisi berdoa disaat Hijir Ismail ramai tersebut. Ada yang justru disuruh langsung berdiri setelah membaca salam. Jika dalam posisi sujud, kendati sujudnya lama, jamaah lain tak akan mau mengganggu karena posisi tersebut dianggap masih dalam keadaan salat.
Selesai salam, Abie segera bangkit. Ku sampaikan ucapan terima kasih kepada lelaki berjaket hitam tersebut. Ia tersenyum. Bahagia sekali kelihatannya beliau.  Lalu, aku putus blokade yang dibuatnya dengan lelaki di sebelahnya. Kutangkap pergelangan tangan kanannya dengan tangan kiriku, kemudian pergelangan tangan kiri lelaki di sebelahnya kusambung dengan tangan kananku.
“Terima kasih, haji! Terima kasih, haji!” katanya.
Setelah ku, ada bergantian lelaki lain yang saling membantu blokade tersebut. Berlahan dan pasti, keringat bercucuran di sekujur tubuhku. Gamis yang kupakai, sudah hampir basah kuyup. Lelaki tersebut kemudian mengatakan, sebaiknya aku meninggalkan Hijir Ismail dulu. Biar yang lain menggantikan. Akhirnya aku keluar dalam keadaan bersusah payah karena dorongan jamaah yang akan masuk dan keluar sama kuatnya.
Alhamdulillah, aku sampai ke pinggir dan bergerak menuju keluar Masjidil Haram dalam keadaan aman dan selamat.
*
Ketika sampai di hotel, aku mencari restoran tempat Jamaah Umrah Paragon Kloter 14 sarapan, makan siang dan makan malam. Aku berputar beberapa kali, tak kunjung bertemu. Akhirnya, perut yang sudah mulai keroncongan aku bawa ke restoran umum di mal yang sebangun dengan hotel di kawasan Menara Zam-zam tersebut. Aku menemukan restoran. Ku amati, kemudian pandanganku tertuju kepada nasi yang mirip nasi goreng. Aku pesan. Setelah kubayar senilai 25 Riyal (sekitar Rp 100 ribu), segera ku buka bungkusannya. Aku memandang, rasanya nasi ini terlalu banyak untukku. Kupisahkan. Kubagi jadi dua. Separoh aku makan, separoh lagi ku sisihkan.
Disaat sedang menikmati makanan tersebut, tiba-tiba ada tiga orang jamaah lain membuka bungkusan di meja seberang mejaku. Kuperhatikan secara seksama, rupanya makanan serupa denganku. Mereka menikmati porsi satu kotak itu bertiga. Separoh nasi yang aku sisihkan, aku santap di kamar hotel, sebelum Ashar di Masjidil Haram. Sejak Ashar hingga Isya, aku di Masjidil Haram saja. Baru pulang selepas Isya. Ketika kembali kucari restoran, tak juga bertemu. Akhirnya aku langsung ke kamar saja.
Besoknya, selepas Duha di Masjidil Haram, aku kembali ke hotel. Tujuan utama, ke restoran terlebih dahulu. Aku penasaran, kok kemarin tak menemukan restorannya?
Tiga kali kuputari wilayah yang aku yakini kawasan restoran. Aku yakin, restoran di kawasan tersebut. Ketika serius memperhatikan wilayah tersebut, tiba-tiba sebuah suara memanggilku, “Pak Haji Firdaus, mau ke mana?”
Aku menoleh. Kiranya Ustad Azzam, ustad pembimbingku yang sama-sama berangkat dari Jakarta.
“Udah sarapan?” tanyanya sebelum aku sempat menjawab pertanyaan pertama.
“Belum, Ustad. Belum menemukan tempatnya,” jawabku jujur.
“Belum?”” tanyanya heran, “lalu kemarin, sarapan dan makan di mana?” Ia bertanya lagi.
“Dibeli di sana,” jawabnya sembari menunjuk pusat kuliner di mal tersebut.
Ustad Azzam tersebut. “Yuk, lewat sini saja,” katanya.
Aku mengikuti beliau. Lokasinya, memang tak jauh dari perkiraanku. Aku jadi berpikir dalam hati, apakah kemarin aku tidak melewati kawasan tersebut, atau tidak melihatnya? Wallahu A’lam.
Padang, 26 Juni 2020



 

Papi dan Mami

Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Aku suka main bola.  Aku dan kawan-kawan tak pernah memiliki lapangan permanen. Lapangan kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Jika ada tanah luas, kendati bersemak, biasanya kami akan gotong royong membersihkannya. Kami memanfaatkan sawah yang baru panen, bekas ladang, termasuk lahan yang akan dijadikan rumah.
Disaat kelas III SD, aku dan kawan-kawan sepermainan mendirikan sebuah klub sepakbola. Namanya, Persatuan Sepakbola Aru Indah (PSAI). Kehadiran klub ini karena semangat melihat kakak-kakak kami di komplek yang sudah punya wadah berhimpun, Aru Indah Club (AIC). Berbagai kegiatan di sana, salah satunya untuk olahraga lebih fokus ke voli. Pernah menjadi tuan rumah kejuaraan voli antar klub, dan menjadi salah satu klub voli yang disegani di tingkat kelurahan.

Tamu dari Kerinci

Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Ketika itu, aku masih SMA. Tapi lupa,  saat itu aku kelas I. Sekolah kami kedatangan tamu dari sebuah SMA di Hiang, Kerinci, Jambi. Tiga hari mereka berada di sekolah. Kunjungan mereka, sebenarnya tidak semata-mata ke sekolahku.
Sesungguhnya, tujuan utama mereka adalah perjalanan ke Sumbar. Ketika itu populer dengan sebutan Studi Tour. Hari pertama di sekolahku, mereka datang menjelang malam. Besoknya berangkat setelah sarapan pagi. Besoknya lagi, juga demikian, namun di hari ketiga, mereka datang kembali selepas makan siang.

Mencuri Nasi dan Kencing di Kelas

Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Ketika itu, kalau tak salah, aku kelas II SMP. Sekolahku kedatangan tamu dari SMPN 5 Pekanbaru, Riau. Sejak pagi, aku sudah berada di sekolah, seperti halnya sebagian besar pelajar lain. Tapi rombongan baru datang selepas siang.
Setelah mereka istirahat sejenak, dilanjutkan dengan pertandingan persahabatan di cabang voli putra dan putri, basket putra dan putri serta takrau putra. Aku tak ingat secara pasti, siapa yang menang saat itu. Aku hanya ingat, suasananya sangat ramai dan meriah.

Mengungsi

Oleh: Firdaus Abie
 
Dulu. Dulu sekali. Ketika aku masih SD. Pergi dan pulang sekolah berjalan kaki. Jarak dari rumah ke sekolah, sekitar 1 KM. Sepanjang perjalanan itu, seperti ada chek poin tersendiri. Terkadang mampir di beberapa chek poin, sekaligus menyinggahi teman.
Chek poin untuk pergi ke sekolah, biasanya mampir di Komplek Pemda. Jika pulang, ada kalanya mampir dulu ke Komplek Unand, lalu bisa juga singgah di Komplek Pemda, atau dari Komplek Unand langsung pulang.
Jamaknya saat itu, anak sekolahan pergi dan pulang berjalan kaki. Jika di perjalanan kami menemukan becak barang yang kosong, kami minta izin untuk menumpang. Biasanya diizinkan.

Jembatan

Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Ketika itu, aku masih kelas III SD. Sekolahku mulanya berkontruksi bangunan tua, lalu dipugar. Di bangunan itu, dua sekolah menempatinya, SD 01 dan SD 03. Aku murid SD 01. Penggunaan sekolah ini bergiliran, sepekan masuk pagi, pekan berikutnya masuk siang. Seangkatan denganku di SD 01, ada dua kelas. Pembedanya, kelas III.A dan III.B.
Ketika sekolah dipugar dan dibangun baru, murid SD 03 pindah ke SD Inpres. Hanya berjarak sekitar 200 meter dari sekolah kami. Sedangkan murid SD 01 menumpang di SD Gurun Laweh. Berjarak sekitar 2-3 KM. Aku tak tahu berapa persis jaraknya. Tapi sekolah di sini, tak lama. Setelah itu pindah ke SD Koto Panjang. Aku merasa, jaraknya semakin jauh. Aku tak tahu, mengapa sebentar menumpang di sana, tapi dugaan kami mungkin karena seringnya berkelahi anak-anak SD 01 dengan anak sekolah tersebut mau pun anak-anak di lingkungan sekolah itu.

Guru Olahraga

Oleh: Firdaus Abie
 
Dulu. Dulu sekali. Kami mendapatkan guru baru. Beliau khusus mengajar olahraga. Orangnya masih muda dibandingkan guru lain. Sejak kehadiran beliau, Olahraga merupakan mata pelajaran paling ditunggu.  Rugi rasanya jika disaat mata pelajaran tersebut kami tak hadir, atau bertepatan dengan hari besar.
Jika hari tidak hujan, dapat dipastikan kami akan olahraga di lapangan. Tempat yang dipilih, lapangan sepakbola, tak jauh dari sekolah kami. Berjarak sekitar 200 meter. Ketika diumumkan ke lapangan, semua akan bersorak. Suasana bergemuruh luar biasa.

Memanfaatkan Kawan


Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Aku punya teman. Aku merasa, ia teman akrabku semasa SD, tapi aku tak tahu, apakah ia juga merasakan hal yang sama? Entahlah!
Selama enam tahun di SD, kami selalu satu kelas. Kami  selalu semeja. Kadang aku di kiri, kadang di kanan. Posisi duduk kami sembarangan saja, tidak seperti anak-anak lain. Ia tak banyak bicara, tetapi ia selalu ceria. 
Sepanjang waktu bersama itu, apa yang membuat aku suka berteman dengannya? Salah satunya, ia sering bawa pena atau pensil lebih. Juga selalu membawa buku kosong. Terhadap tiga hal ini, aku sering keteteran. Terkadang lupa bawa pena. Lupa bawa pensil. Tak jarang pula lupa bawa buku secara lengkap. Ah..!

Semba Lakon


Oleh: Firdaus Abie

Dulu. Dulu sekali. Aku punya teman. Rumah kami saling berdekatan, hanya dipisahkan jalan raya tak beraspal. Orang tua kami sangat dekat. Aku dan temanku, sama-sama satu sekolah sejak TK hingga SMA.

Hubungan kami terasa semakin sangat dekat ketika duduk di bangku SD. Sekali pun selama enam tahun tak pernah duduk semeja, dan sering berbeda kelas, tapi hubungan kami sangat dekat. Saking dekatnya, ia sering membelaku jika aku diganggu orang.

Selalu Menjaga Silaturahim, Menikmati Hasilnya Saat Pensiun




Oleh Firdaus Abie

Membaca tulisan Mas Aqua Dwipayana, Akhirnya Pensiun..., tiba-tiba saya teringat dua orang mantan pejabat di Sumatera Barat. Beliau, Bapak Rusdi Lubis. Jabatan terakhirnya saat berdinas, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Barat. Kedua, Bapak Djamiral Djarin, terakhir menjadi Sekda Kota Padang.

Pertemuan kami bertiga, tanpa sengaja dan tanpa agenda. Ketika itu, di saat sarapan pagi di sebuah kedai, tiba-tiba Pak Rusdi Lubis datang bersama isteri. Beliau baru selesai jalan pagi. Saya mengajak beliau duduk di kursi dalam satu meja dengan saya yang sendirian. Beliau tak menolak.

Saat kami menikmati sarapan sambil bicara tentang banyak hal, tiba-tiba masuk empat orang. Saya menatap ke arahnya, beliau juga menatap saya. Kami sama-sama tersenyum. Saat itu juga Pak Rusdi menyapanya. Kami saling bersalaman. Pak Rusdi mengajak bapak yang baru datang tersebut duduk bersama kami. Beliau mau, namun rombongannya mengambil posisi lain.

Orang yang baru masuk tersebut tak lain adalah Pak Djamiral Djarin. Wajahnya terlihat segar. Bersih. Saya mencoba menghitung-hitung usia beliau, namun prediksi saya meleset.
“Baru lima belas tahun,” kata beliau.
Saya yakin, beliau bercanda. Tapi, katanya, tidak. Usia 15 tahun tersebut, katanya dihitung sejak beliau pensiun.
“Apa resepnya, Pak?” tanya saya.
“Tanya Pak Rusdi. Insya ALLAH, kami seperguruan,” kata Pak Djamiral.

Mendengar hal tersebut, Pak Rusdi tersenyum. Ia kemudian berdalih, usianya masih sangat muda. Jauh lebih muda dari Pak Djamiral, jadi tak bisa dijadikan patokan.

Menyebutkan Sejumlah Prinsip Dulu dan Kini, Persiapkan Mental dan Spiritual
Diskusi selama sarapan pagi pun semakin bergairah dan membuat saya bersemangat. Keduanya menyebutkan sejumlah prinsip yang dijalaninya, dulu dan kini.

Dulu, ketika mereka masih berdinas, sedapat mungkin menjalin hubungan dengan pimpinan dan staf tak hanya sebatas hubungan kerja. Mereka semampunya menjadikan silaturahim dan hubungan persaudaraan. Jika memang tak bisa memuaskan semua orang, mereka berusaha semaksimal mungkin agar tak ada yang tersakiti.

Di saat menjelang pensiun, mereka benar-benar mempersiapkan diri: mental dan spritual. Kata beliau, jika sudah diikhlaskan dari awal, insya ALLAH, semuanya akan bisa dijalani dengan sebaik-baiknya.

Di masa pensiun, kata Pak Rusdi dan Pak Djamiral, mereka menikmati hidup. Dijalani kehidupan dengan terus berupaya memperbaiki diri, khususnya ibadah.

Keduanya mengaku, ada yang terabaikan selama mereka masih bertugas. Kini, di sisa-sisa hidup, mereka terus memperbaiki diri dan selalu melihat persoalan dari sisi positif.

Tak lupa, katanya, mereka akan berupaya memberikan prioritas jika ada undangan kegiatan untuk mereka. Bagi mereka, undangan berbagai hajatan, khususnya pernikahan anak atau cucu bekas pimpinan, teman seangkatan atau mantan stafnya, akan menjadi prioritas untuk dihadiri.

Bagi Pak Rusdi Lubis, jika diundang untuk hajatan tersebut, setidaknya ada dua hal yang langsung diperolehnya. Pertama, ternyata lingkungannya dulu masih ingat padanya. Kedua, menghadiri undangan tersebut sekaligus menjadi ajang reunian baginya. Begitu pun kalau mereka tahu ada pimpinan, teman atau stafnya, atau keluarga mereka yang meninggal dunia, beliau berusaha untuk bisa membezuk, sebagai bagian “si tawa dan si dingin” bagi keluarga.

Terhadap semua hal tersebut, tak salah kalau kemudian Mas Aqua begitu getol membumikan semangat silaturahim dengan mengatakan: _The Power of Silaturahim. Kemudian sering merasakan hasilnya yang dahsyat dan luar biasa sehingga membuat pakar Komunikasi itu ketagihan melakukan aktivitas positif tanpa pamrih tersebut.*

Penulis Pemimpin Redaksi Harian Umum Rakyat Sumbar & Pegiat Literasi.

31 May 2020

Mambaco Pangana Pinto Janir dari Wantadir di Badai Corona

Oleh: Firdaus Abie

Iyo tagali-gali sanang lo mambaco carito bang Pinto Janir, ko. Awak mambaco carito ko ka makan parak siang tadi. Ado-ado se nan dibueknyo dek abang wak nan surang ko. Iyo santiangnyo. Satiok ari ado se nan ditulih. Kok indak lagu, carito, kok indak tulisan apo se-lah. Panjang bana pangananyo.
Nan carito “Wantadir di Badai Corona” ko, kok dibaco dari kapalo galehnyo sajo, nan wak tangkok; iyolah co iko bana nasib uda wak dek waba korona ko. Wantadir tu, rasonyo bisa lo diaratian; Wan samo jo uda. Bisa juo Wan tu namo urang. Tadir tu, wak samoan se jo takadia. Bahaso jalehnyo, takdir.
Di kapalo galeh, sabananyo lah tatakok dek awak nan ka mambaco, carito ko indak lapeh dari apo nan sadang tajadi kini. Tu, lah dibaco sadonyo, bana kironyo. Indak maleset saketek alah juo. Samantang pun baitu,  sambuah pasan nan dikatangahan dek bang Pinto Janir ko.
Ko nan ambo cataik se. Partamo, dicarito ko kamukoan ba-a sipaik urang bansek, atau urang awam ko. Deknyo, nan paralu tu iyo pakaro makan. Dapek makan pagi jo patang, tu lah kayo rasonyo mah. Paliag indak, lai ado bareh? Kok lai ado bareh, alhamdulillah. Alah tu. Lah bisa ditanak jadi nasi mah. Ko jo apo ka kawan nasi tu, tu pakaro ka lain mah.
Kaduo, banyak dunsanak wak nan coitu indak talampau arok bana ka pamarentah doh. Kok dapek, alhamdulillah. Kok indak, ba-a juo lai. Co-itu nan taralah. Kok indak bak nantun, indak ka ado lo pameo sajak saisuak; sia bana nan ka manjadi, nan awak ka bantuak iko juo. Sia nan ka mamarentah,  nan awak ka mangakeh juo pagi jo patang. Kok ado bana nan ka ditarimo, syaraiknyo sambuah, tu nan diagiah antah bilo ka tibo. Lapa ari Raba-a, kan indak talok ditunggu hinggo ari akaik, atau sanayan katibo.
Nan katigo, urang-urang bantuak tu, kok lah sa-abih main, lah sa-abih pangana, acok ilang mangananyo. Ado se nan indak-indak nan takana deknyo. Tapi kok lai ado baka ugamo nan agak labiah,  indak ka mangaleong bagai jalannyo doh.
Ciek lai, mampakuek nan ka tigo; salamah-lamah iman rang awak, lai takana juo jo Allah. Paliang indak, nan laki-laki, agak sakali sapakan, lai pai sumbayang juo. Paliang indak pai sumbayang jumaek.  Kok nan ugamonyo lai pakek, iyo lapang se atinyo. Indak ka jadi panyakik ciek alah se nan tajadi ko deknyo.
Nan jaleh, manuruik wak; kritik sosial di carito ko lai kanai bana ka apo nan dimakasuiknyo. Lansuang ka apo nan dituju. Santiangnyo, ditulih jo caro nan elok, indak mangabubu doh. Lai santun, tapi lansuang manunjuk iduang.
Eh, ado lo stek lai. Bang Pinto Janir ko bamain jo “lambang” untuak manjalehan makasuiknyo. Satiok nan ditulih, ado “lambang” makasuik nan dilatak-annyo.
Hehehehehe....
Alah tu. Iko se-lah dulu. Banyak na kecek wak, bangih lo senior ko beko.  *[]*



WANTADIR DI BADAI CORONA
*) Pinto Janir

Kok kalua dari rumah, paruik badampuang. Kok indak kalua, kanai stelan lambuang-lambuang. Makin lamo bakuruang-kuruang di rumah, makin buruak bantuak manuang. Dicaliak anak jo bini sadang lalok, hati taibo-ibo surang. Sabanta lai sahur ka tibo pulo. Dibukak tuduang, tibo manuang sapanjang antah. Nan tampak uwok taruang nan lah pucek karipuik siso babuko tadi nan ko. Diusai dapua, bareh tingga tigo tekong luruih bananyo.
He alah…ba a nasib  lai ko?
Sakusuik-kusuik banang masih bisa dicari, ma ujuang ma pangkanya. Tapi…kalau utak kusuik, pangkanyo antah di ma , ujuangnyo antah di mano pulo. Kalau model iko juo taruih, namuah wak bagayuik se lai. Ambiak kain saruang, cari paran loteng.  Kabek an kain ka lihia. Modal e, karusi tagak. Awak bagayuik, karusi wak  sipak. Sudah tu badan tajulai-julai jo mato tabulalak. Tapi apo masalah ka salasai jo gantuang diri nan tun?
Iko patikato.
Wantadir mamiciangan mato e dalam-dalam. Tabayang deknyo, mati bagayuik diri tangah malam dalam kalam. 
Baitu nyao e lapeh dari badan…nyo caliak anak bini e maratok-ratok. Nyo caliak anak e nan kelaih tigo SD, marauang-raung mahimbau abak. Ndak lamo sudah tu inyo mambayangan bajalan di lorong-lorong nan amaik galok. Inyo binguang. Indak tahu antah kama kaki ka dibaok madok. Nyo bajalan taruih. Nyo pareso saku e, HP tak pulo tabaok. Nyampang kok adoh HP tabaok, pastilah nyo hiduik an senter hape tu.
Inyo bajalan se taruih dalam galok nan pakek tu. Tacaliak deknyo subalah kida, tampak urang bagayuik-gayuik maraung-raung kapadihan. Nyo tapana.
“Ondeh….!”
Hanyo ciek kato tu nan talompek dari muncuangnyo katikok mancaliak urang bagayuik nan bausaho malapehan kabek kain nan lakek di lihianyo. Tapi tak bisa-bisa.Nyo bantuak urang mati kasadak-an.
“Tolong…..Too….long…!” suaronyo bantuak bunyi suaro tasapik manggaretek-garetek.
Mancaliak takah itu Wantadir balari samakin kancang dalam kabinguangan nan kalam.
Tibo-tibo kapalo e takah tahantuak dindiang batu. Nyo rosok palo e tu….
“Ondeh rangkah mah…”, nyo manggaretek.
 Taraso deknyo bahaso kapalo e balah. Tangan e taraso basah jo dingin. Nyo hidu. Anyia takah baun darah. Tapi nyo tatap taruih bisa tagak. Nyo rosok dindiang batu tu tadi, tanyato dindiang tu lah lanyok. Nyo baok bajalan lambek-lambek. Katikok baru duo langkah inyo maminjak an kaki, taraso dek nyo bantuak mamijak muncuang boto dipacahan. Nyo rosok tapak kaki e…
“Balah mak koi…ba a lai ko….”
Darah daerh mancoro. Inyo masih alun tahu, jalan di ma ko. Jalan apo namo e ko…Tapi satiok inyo handak manahan langkah kaki, satiok itu lo sarupo adoh kakuatan nan mahayunkan langkah kakinyo untuak taruih bajalan. Tiok bajalan, inyo dapek marasoan baralah ka  ngilunya mamijak boto pacah nan tagak-tagak. Tiok itu pulo inyo rasoan, jari-jari kakinyo cabiak takulai-kulai. Samantaro, karingek jo darah dari kapalo taruih mancoro tak hanti-hanti taraso.
“ Wa-ang kama?”
Tibo-tibo adoh suaro bagama. Antah dari ma asalnyo, inyo ndak tahu. Nan jaleh suaro tu kareh bana tadanga.
 “Wa-ang kama?”
Kini suaro tu bagetar. Nyo manggaretek. Dalam hatinyo bakato, apo iko malaikat? Tapi inyo indak kuaso manjawek. Muncuangnyo bantuak tatutuik rapek-rapek.
“Hoi…wa-ang kama!” kareh bantuak urang mahariak bunyi suaro tu kini. Inyo lansuang tagagau.Antah ba-a ko lah, dari muncuangnyo talompek kato :” Ka sinan Pak ha!”.
“Ka sinan kama?”
“Ka sinan nan tun Pak…” inyo manunjuak sumbarang tunjuak se.
Pas katikok inyo manunjuak nan tun, tibo-tibo di hamparan mungkonyo tabantang suasana sajauh-jauh mato mamandang api gadang sagadang-gadang antah nan lidahnyo manari-nari bawarna biru. Nyo caliak banyak urang tacaguik-caguik. Mambana-bana mamintak ampun. Inyo mati katakuik-an….

“ Da….!”
Dikajuik an bini Wantadir taparanjaik  dari hayalan buruak manggayuik diri.
Nyo tagagau….
“Astagfirullah…!”
“Manga Da, buruak na manuang mah !” kecek bininyo sambia taruih ka dapua manyiapkan makan untuk sahur.
“Ambiak an lah den aia putih sagaleh dulu lah!”
“Tasapo uda, ndak? ”
“Jan banyak tanyo. Ambiak an lah capek ha”.
Bagageh Idawati mahambiak aia dari cerek nan dindiang jo tapak e lah taba dek karak arang.
“ Ko da ha….”, Idawati manjuluaan sagaleh aia ka lakinyo nan wajahnyo tampak pucek tu.
“ Manga kok sapucek tu bana mungko Uda…..? Apo nan tajadi…”
“Ondeh Ida oi..ampiang sasek langkah uda lai…!”
“Manga Uda, main gilo juo uda baru  jo jando nan disubalah tu. Alah tumah Da, anak lah ka gadang. Hantian lah lai…Alah main gilo tu…tu. Kok uda suko ka inyo, ancak uda nikahi elok-elok daripado uda bazinah. Dek Ida indak ba-a uda babini duo asal lai talok uda mangurehi kami !”
“E…yayay…ya. Ijan itu lo nan kau sabuik-sabuik lai. Lah co iko nagari, main gilo a juo lai…ko!”
“ Jadi, ba-a kok sacameh tu bana mungko  Uda? “ kato Idawati jo suaro manggoda.
 Ida ko, iyo tipe bini panuruik bana. Inyo lah siap pulo untuak dipoligami.Karano, inyo pernah mandanga pangajian  bahaso poligami tu adolah tiket ka sarugo bagi seorang istri. Dalam pikiran Ida, sudahlah marasai di ateh duya, ka marasai lo di akhiraik, iyo indak talok dek awak doh…ancak dipalapeh laki babini ciek lai. Laki dapek bini baru, awak dapek sarugo. Baitu pikiran janiah Ida.
“Wajah den ko pucek dek tadi, antah ba-a ko lah…den lah kabaniak manggantuang diri!”
“Ha, manggantuang diri? Jadi ka uda ka maningga an kami. Banyak doso uda. Sudah uda indak batangguang jawab, mati bunuah diri lo. Narako tampek uda bekoh….!”
“Iyo…narako tu bana nan tampak dek aden Ida.Tobaik den tobaik….!”
Indak lamo sudah tu, Ida mamasak nasi satekong. Nyo jagoan anaknyo nan masih ngenek. Nan baru baraja puaso satangah hari.
Nasi masak. Samba tak adoh. Untuak mampalamak-lamak makan, Ida mamatiak babarapo lado kutu nan nyo tanam di sampaing rumah kontrakannyo ko. Pakai garam snek. Alah tu…
“ Ida…lupo Den. Kau ambiak di bawah kero tu adoh bungkusan. Tadi adoh urang mambagi-bagikan indomie. Adoh anam buah tu. Duo untuak kini, duo bungkuih untuak babuko, duo bungkuih lai untuak sahur wak isuak malam…..”
“Alhamdulillah….!” Ida lansuang bagageh masuak biliak mahambiak duo bungkuih supermie abuih.
Lamak nian sahur mereka. Duo kali Wantadir basindaho. Sudah makan, nyo rosok-rosok paruik e nan tipih. “Yo sabana lamak…Yo sabana sero”, Wantadir lansuang masuak bilik. Nyo cari rokok nan tadi tasiso duo batang nan nyo latak an di bibia konsen jandela.
E…alah, rokok tu basah dek kanai tampiyeh nan masuak dari lubang angin jandela. Wantadir manggeleang-geleang bantuak urang marasai bana. Nyo sangai rokok nan lah manguniang dek kanai tampiyeh tu jo catuihnyo nan baapi ngenek bantuak catuih lah kahabisan gas. Lah padiah lo tapak ampua tangan e, baru catuih mangko ka iduik.
“Ndeh…jadi juo awak marokok….” baitu sanang bana hatinyo mancaliak api catuih e iduik…
Sarine maraung sudah. Tando wakatu Manahan lah tibo. Indak lamo sudah tu azan Subuh bagama. Wantadir bagageh ka kamar mandinyo nan talatak di lua rumah nan hanya bapaga kain spanduk jo sumua indak bacincin nan balumuik tapi dindiangnyo.
Wantadir bawuduak. Ida takajuik.
“Eh, lah sumbahyang Uda kini mah…!”
“Jan banyak na carito kau lai…!”
“Kalau baitu, sumbahyang baimam awak molah ba-a  Da…!”
“Sumbahyang surang-surang se lah lu….”
“Ancak lah baimam-imam wak da. Ba-a tu?”
“Ijan banyak tanyo juo kau lai. Ayat den qul huwallāhu aḥad se baru.Kalau lah banyak ayat dapek dek Den…baru wak baimam-imam lai.Tanang se lah kau!”
Ida tersenyum. Inyo bahagia mancaliak lakinyo lah  mulai pandai  sumbahyang. Sajak manikah dulu, baru iko nyo caliak lakinyo sumbahyang. Biasonyo lakinyo ko Sumbahyang sakali saminggu se nyo. Tiok Jumat. Kadang acok lo indaknyo. Bini ma nan indak ka sanang mancaliak laki lah sumbahyang ha?
*

Wantadir karajonyo manggaleh sapatu bekas impor di pasa lereang Bukiktinggi. Sabalun Corona, lai inyo bajua bali hinggo duo ratuih ribu bagai  sahari. Sajak corona ko, jua balinyo hanyo tigo puluah ribu se lai nan tingga.  Bali bensin satangah liter limo ribu, tabaok juo  pitih pulang  duo puluh ribu, kan  lah jadi tu.
Tapi sahari ko, galeh e iyo sabana-bana tak pacah talua sarimih alah e. Kalau dipikia-pikia, tantu urang kini labiah mamikia-an bali bareh pado mambali sapatu bekas. Cabiak na lah sapatu anak urang kini ko ha, bisa dilem..pasti dilemnyo juo. Apolagi, urang kini indak pulo sikolah dek virus Corona.
Lah ka ba-a carito lai ko.
Nasib…nasib…nasib….
Biasonyo, bulan-bulan puaso takah ko, jua bali Wantadir sabana sero. Apolagi limo baleh hari manjalang  rang ka rayo. Indak dapek diagak. Sabana mandapek galeh tu.
Tapi kini, yo itulah.
Inyo hanyo baharok bantuan dari pamerintah. Kapatang lah adoh patugeh mandata namo e. Inyo agak gamang juo snek, KTP-nyo bukan KTP Bukiktinggi. Antah dapek antah indak, inyo basarah diri se nyo. Mudah-mudahan Pak RT adoh mambari kalonggaran jo raso ibo.
Kalau indak, tu ka ba-a juo lai  !
Dek indak adoh juo pambali, Wantadir takalok. Inyo bamimpi jadi urang kayo. Inyo jo Ida sadang sibuk mambungkuih-bungkuihan sembako untuak ka nyo bagi-bagi ka urang-urang nan indak badayo di maso corona nan ko.
“ Da…Da…! Jago lai Da…urang lah babuko !”
Wantadir dikajuik an dek si Baih nan manjadi relawan tukang bagi-bagi sembako dari para donator nan paibo.
“ Iko adoh jatah uda snek ha…!” Ibaih maagiah Wantadir duo kotak nasi.
“Mokasih…Baih”.
 Aiamato Wantadir jatuh balinang. Nyo seka aia matonyo,  inyo lakeh balari pulang. Tabayang dek nyo bininyo ka makan lamak di babuko kini nan ko….!
Alhamdulillah….
Bukittinggi 04.00 WIB 27 April 2020

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...