22 December 2013

Malin Kundang, Ibunya Durhaka*

Oleh: Firdaus

Entah kenapa, pada momentum peringatan Hari Ibu, kali ini, saya teringat pada cerpen  karya A.A Navis (alm). Cerpen itu memiliki setting Malin Kundang, namun bukan bercerita tentang kedurhakaan Malin Kundang seperti  umum dipahami orang selama ini.
Karya yang ditulis A.A Navis pada tahun 1953, atau tiga tahun sebelum Robohnya Surau Kami, bercerita tentang kedurhakaan ibu si Malin Kundang. Berikut penggalan ceritanya; 
Malin Kundang di atas kapal. Kembali dari rantau. Gagah dan perkasa. Di sampingnya istri yang cantik jelita, putri raja. Ketika Malin Kundang hendak turun ke darat, diiringi oleh istrinya, putri raja, datang berlari ibu yang renta. Diiringi seorang laki-laki dari kejauhan. "Malin Kundang anakku, engkau pulang juga akhirnya," kata perempuan renta yang berbaju kumal bertambal.
"Inikah perempuan yang kau katakan sebagai ibu yang anggun bijaksana, yang selalu bernyanyi bila sunyi, bersenandung bila murung?" tanya putri raja pada suaminya.
Malin Kundang tidak bisa berbuat apa-apa. Diremasnya tangannya sendiri sampai perih. Dia merasa seolah dituduh istrinya telah berdusta. "Apakah engkau tidak salah lihat, Malin Kundang? Salah tempat berlabuh? Karena aku tidak melihat tanahmu yang subur makmur, tidak melihat nyiur melambai di tepi pantai, tidak melihat hutan rimba, suaka alam tempat satwa bersemayam. Aku hanya melihat tanahmu yang tandus, kering kerontang sahara Afrika," kata istri Malin Kundang.
"Akulah ibumu, Malin Kundang. Memang beginilah keadaannya sekarang, setelah banyak orang seberang, yang katanya mau menghangatkan tubuhku di ranjang. Ketika aku terlena, mereka membabat hutan kita, memindahkan untuk bangsanya. Ketika aku terjaga, mereka sudah tiada," kata perempuan renta di bawah tangga.
"Tapi siapa laki-laki itu?" tanya Malin Kundang sambil menunjuk ke belakang ibunya. "Dia lah lelaki satu-satunya yang tertinggal, yang rela menemani aku sampai kau tiba membawa harta. Karena aku janjikan bahwa dia akan mendapat bagian," perempuan itu berkata lirih sekali.
Malin Kundang meradang. Lalu berteriak hingga bumi bergerak. "Engkau perempuan laknat. Kalau benar kau ibuku, aku kutuk diriku agar menjadi batu. Biar semua orang tahu, Malin Kundang lahir dari perut yang keliru."
"Malin Kundang kembali berlayar, menembus badai menantang halilintar, sampai kapalnya pecah terdampar. Malin Kundang pun menjadi batu. Sekali-sekali, bila musim berganti, sayup-sayup terdengar suara, yang mengutuk ibu durhaka, yang menanduskan negeri leluhurnya, sampai setandus jiwanya."
Secara ekstrem, Navis dalam cerpen  Malin Kundang, Ibunya Durhaka, mengirim  pesan  seakan menggugat keberadaan seorang ibu. Dia mempertanyakan, apa benar sedemikian tega seorang ibu mengutuk anaknya sendiri sehingga berubah menjadi batu. Navis malah menyalahkan sang ibu, dan lebih pantas ibu itu yang dicap durhaka.
Demikian pula Wisran Hadi. Budayawan besar asal Sumbar yang lahir dan besar di kampung halamannya,  tidak setuju dengan sebutan durhaka terhadap Malin Kundang. Dalam naskah dramanya, Wisran malah membela Malin Kundang dan menganggap wajar bila dia memarahi sang ibu. Persoalannya, si ibu telah kawin lagi dengan lelaki lain dan akan menggerogoti kekayaan Malin Kundang.
Kedurhakaan sang ibu yang disampaikan A.A Navis dan Wisran Hadi adalah dalam bentuk simbol. Dalam konteks kekinian, kedurhakaan ibu adalah kedurhakaan yang jamak. Kedurhakaan yang mengalir bagaikan air. Mengalir jauh. Kedurhakaan yang sengaja dipelihara.
Hakikat kedurhakaan tersebut terkait pada ketidaktaatan ibu berperan sebagai ibu. Peran-peran keibuan hari ini telah dialihkan para ibu ke bentuk lain, sehingga memaksa anak-anaknya (juga bapak dari anak-anaknya) berpaling kepada “ibu-ibu“ lain.*

*Judul tulisan ini diambil dari judul cerpen A.A Navis; Malin Kundang, Ibunya Durhaka.
** Tulisan ini juga dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 22 Desember 2013. Juga dimuat pada http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4282
(email: firda71_padang@yahoo.com)

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...