Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts

25 May 2020

Amak


Cerpen: Firdaus Abie


 Haruskah aku datang sekarang, membawa resah dan bara tak terhingga? Jika aku datang, seonggok budi sudah ku tanam padanya.  Tapi, demi Amak, biarlah. Aku tak kuat mendapatkan Amak merintih. Memar di lengan Amak, perih di batinku. Goresan di pipi Amak, luka di ragaku. Demi Amak, tak apalah. Sekali ini aku menghutang budi padanya.
Siti membatin.
Gemuruh jantung Siti tak kunjung berhenti. Batinnya perih. Memar di kedua lengan Amak membuat hatinya tersayat-sayat. Orang tua yang sejak kecil merawat dan membesarkannya seorang diri, mengalami penyiksaan.

16 February 2020

Lirih


Cerpen: Firdaus Abie


 Aku tertegun. Terpana. Mama menyebut nama itu lagi, lalu memintaku untuk mencarinya. Mencari sampai bertemu dan harus jemput terbawa.
“Mama ingin bicara dengannya,” pinta mama, terbata-bata.
Mama mengulangi permintaannya.  Aku tak kuasa mendengar, apalagi mengabulkannya. Terlalu sulit bagiku. Bagaikan minta sisiak ke limbek, minta kokok ke harimau. Aku bergegas ke kamar, mengunci pintu, lalu melemparkan tubuh ke kasur. Kucoba menahan tangis, tapi air mata jatuh berderai sekalipun aku benamkan sedalam-dalamnya ke bantal.
Mama menyebut nama lelaki lagi itu, padahal aku  sudah menguburnya, membenamkan di palung laut terdalam di Samudera Hindia.  Kenapa  mama memunculkan nama itu kembali? Mimpi apa yang membuat mama menghadirkan namanya? Nama yang membuat aku terluka, bagaikan diiris-iris sembilu berbisa. Luka mengelepuh, mengelupasi hati.

28 December 2019

Perempuan yang Terpaku Bisu di Luar Jeruji Besi

Elma mengembangkan bibir. Tersenyum ke cermin, menatap raut wajah letihnya. Kelopak matanya menghitam dan cekung. Dalam kelelahan dipaksakannya tersenyum. Ia berharap, senyum itu benar-benar akan jadi senyum kebahagian.
Senyum itu mengembang sejak empat hari lalu. Sejak Diki memberi kabar, hukumannya segera berakhir. Ia memperoleh remisi tahunan. Jika tak ada aral melintang, hukuman itu berakhir dalam pekan ini, tapi Ia tak tahu jadwal pastinya.
“Dalam pekan ini, saya akan bebas,” kata Diki, ketika Elma menemuinya di penjara, dua hari lalu.
Kalimat itu sudah cukup membahagiakannya. Jika bebas, berarti Ia tak akan repot lagi ke penjara menemani hari-hari Diki, lelaki yang tak pernah  bisa dilupakannya.

P i e n

Pien menatap sekeliling ruangan. Matanya liar. Merasa berada di ruangan yang sangat asing. Sebuah ruangan tamu yang sangat besar. Ada tiga set kursi tamu. Ada dua alat pendingin ruangan tergantung di kiri kanan ruangan, sebuah akuarium besar di pojok kanan pintu masuk. Di samping pintu yang menghubungkan dengan ruangan lain, sebuah lemari besar memajang beragam koleksi kristal, piala dan buku.
Sepeninggal Fathan, Pien tak bisa menghilangkan rasa groginya. Ruangan itu sangat mewah untuk ukurannya. Kursi yang didudukinya pun terasa aneh. Ia tak bisa mengelak ketika Fathan menuntunnya.
”Biasa sajalah. Kenapa harus grogi?” ujar lelaki berpostur atletis itu sebelum meninggalkan Pien di ruangan tamu. Pien hanya menjawab dengan memberikan senyuman yang dipaksakan.
Sebenarnya Pien tidak grogi. Pien justru terkejut ketika menghenyakkan pantatnya di kursi. Seakan pantat dan tubuhnya disedot kursi itu. Seumur-umur, baru kali ini Pien duduk di kursi yang sangat empuk.

Menara Kembar yang Hancur di Kepala


Padang - Kuala Lumpur, Sabtu Malam, 1 April 2006
Murni terpaku di bibir jendela. Dari kamar 707 di sebelah barat menara kembar, Ia menatap warna perak terpancar dari menara kembar tertinggi di dunia, trade mark Kualalumpur. Kilauan cahaya itu mestinya mententramkan hati. Sedamai dunia anak-anak yang berlarian di lantai marmar yang mengkilat.
Tapi kedamaian itu terganggu kelap-kelip dua lampu di puncak dua manara dan enam cahaya di setiap menara. Murni terganggung lampu yang berkalap-kelip. Ketika sinarnya mati, Murni tersenyum. Tak ada lagi persoalan yang dicemaskannya. Ketika bersinar, Murni pun tersentak. Ada pancaran kecemasan dari wajah bersihnya. Ketika lampu itu mati, ia kembali tersenyum. Ketika kembali bersinar, Ia kembali cemas. Begitu terus. Berulang dan berulang.
Kelap-kelip cahaya itu dibayangkannya seperti orang-orang yang mentertawai dirinya. Semakin sering kelap-kelip itu, semakin banyak orang kampung yang menertawainya. Murni panik. Ditutupnya krai. Murni beranjak dari jendela. Baru tiga langkah, Murni berbalik. Kembali ke arah jendela. Dibukanya lagi krai yang barusan ditutup. Hatinya tetap ke menara kembar.

Uang Jemputan

Hari menjelang petang. Gema takbir sudah berkumandang. Besok lebaran haji. Hujan belum juga reda. Sejak selepas Zuhur, Abdie tak bisa apa-apa. Hanya berganti koran dan majalah saja di tangannya. Abdie tampak gelisah.

Tak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukannya, meski sebenarnya banyak rencana yang sudah disusun. Panjar orgen belum dibayar, begitupun dengan panjar kursi, tenda, pelaminan dan katering. Jika tak dibayar sesore ini, alamat pesanan itu akan dibatalkan sepihak pemilik kursi, tenda, pelaminan dan katering.

Undangan sudah disebar. Tak mungkin diundur. Kalaupun bisa, tentu orang akan tertawa. Pernikahan Abdie diundur gara-gara tak dapat kursi, tenda, pelaminan dan katering. Kalau ini terjadi, maka akan tertawalah dunia.

28 May 2018

Aroma Dapur Emak



Cerpen: Firdaus Abie


Entah kenapa, Da Boy belum juga kembali. Ia belum mau balik ke Jakarta, padahal puasa sudah jalan sepekan. Biasanya Da Boy pulang dua atau tiga hari menjelang lebaran, tak sampai seminggu setelah lebaran ia kembali ke Jakarta.
Puasa kali ini, berbeda. Da Boy sudah di kampung sebelum balimau[1]. Katanya ia ingin balimau  ke Lubuk Tempurung.  Sudah dua puluh lima tahun ia tak ke sana.  Lubuk Tempurung merupakan tempat pertama dan terakhir ia balimau. Ketika itu ia masih duduk di bangku kelas dua SMP. Emak membawanya bersamaku.
Ketika itu, kami pergi bertiga secara sembunyi. Takut ketahuan. Ayah melarang kami ke tempat balimau.  Kata Ayah, dari tahun ke tahun, suasana balimau sudah mulai menyimpang. Tidak lagi membersihkan diri, tetapi justru menambah dosa. Lelaki dan perempuan mandi bercampur di sepanjang aliran sungai.
Dulu, kata Ayah, disaat beliau muda, mandi balimau sangat dinantikan. Tradisi mandi bersama, membersihkan diri bersama, diatur sedemikian rupa. Ada lubuk pemandian tersendiri. Tak bercampur pemandian laki-laki dan perempuan. Anak perempuan mandi di baruah[2] saja. Jika ada yang melanggar, akan dikenakan sanksi adat.

01 September 2013

M u n d u r

Cerpen: Firdaus Abie

“Pergi dulu, bu,” kataku sembari menyelipkan sumpitan tua  peninggalan ayah ke balik baju bagian belakang.
“Apa semuanya sudah beres?”
“Beres, bu, bahkan sumpit ini sudah pula kubersihkan kemarin. Pokoknya dijamin tak bakalan macet lagi seperti kemarin itu,” jelasku mengeluarkannya kembali dari balik baju tersebut yang kuiringi dengan memukul-mukulkan lembut ke telapak tangan kiriku.

19 August 2013

Surau Kami Roboh Juga

Cerpen: Firdaus Abie


Aku harus pulang. Harus! Harus! Tak seorang pun bisa melarang. Tak seorang pun bisa menghentikan langkahku. Rinduku pada kampung halaman, Kampuang[1] Tinggihati, Nagari[2] Takmautau, tak tertahankan lagi. Rindu seorang anak kampuang yang sudah lama tak pernah pulang.
Ya, sudah sangat lama sekali aku tak pulang. Eh, bukan sudah sangat lama, tapi tak pernah pulang sekali pun, walau agak sejenak, sejak aku merantau ke tanah Jawa. Ku coba menghitung waktu. Oh, sudah lebih 40 tahun. Sudah sangat lama.
Kerinduan itu memuncak ketika aku baru saja menuntaskan novel Robohnya Surau Kami, karya A.A Navis. Aku menerawang mengingatkan ilustrasi di novel tersebut, memantik kerinduanku pada kampuangku, kampung halaman yang membesarkanku.
Kampuangku berhawa sejuk, tapi lebih sering sangat dingin. Penduduknya sering menyandang kain, teman perjalanan ketika cuaca dingin. Kampuangku masih hijau. Hutan dan ladang terhampar luas di pinggang gunung berapi. Sekali-kali gunung itu batuk, mengeluarkan asap, terkadang batuknya bercampur debu dan pasir.

03 June 2013

Lelaki Berkalung Karet Hitam


Cerpen: Firdaus Abie

Lelaki berkalung karet hitam itu terus melangkah. Ia tak hiraukan dering di telpon genggamnya. Dari bunyi dering, ia  tahu kalau itu panggilan masuk dari  isterinya.
“Ada panggilan tuh, mas,” sela wanita paruh baya di sampingnya.
“Biarkan saja. Paling juga dari kantor,” katanya enteng.
Lelaki berkalung karet hitam itu terus melangkah,  wanita paruh baya di sampingnya  menguntit langkah lelaki itu  tergesa-gesa. Keduanya melangkah menuju arah yang sama, titik yang sama.
“Seperti biasa, om?” tanya seorang lelaki lebih muda, menyambut kehadiran lelaki berkalung karet hitam dan wanita paruh baya. Lelaki itu hanya menjawab dengan anggukan, kemudian terus melangkah menuju ruangan yang disebutnya.
“Tapi, om..” jawab lelaki yang tadi bertanya.

20 March 2012

PULANG

Cerpen: Firdaus Abie


Besok lebaran. Gema takbir hilang dipulun[1] hujan. Cuaca dingin di kota kecil atas bukit, terasa panas mengalir di sudut kota. Menghadirkan resah, dibungkus gelisah.  Aku menangis?

Tidak! Aku tidak  menangis. Sedari kecil, aku sudah dilarang menangis. Tak baik lelaki menangis, apalagi sampai dilihat orang.  Kalau ketahuan  Abak atau Mande, keduanya pasti berang[2].
Abak dan Mande? Ya, tiba-tiba aku teringat pada keduanya. Mungkinkah aku dapat bertemu mereka kembali, lalu bersimpuh menjemput maaf?

Biasanya,  malam seperti ini adalah malam-malam membahagiakan. Aku, Abak, Mande,  Uni Ira dan Ardi,  melewati malam takbiran bersama. Kami menembus malam dengan canda di rumah. Masih lekat dalam ingatan ku, Abak biasanya tak banyak omong. Lebih banyak memperhatikan kami sembari menonton berita di tv. Jika ada canda kami yang keliru, baru suara beliau menghentikan kami sejenak. Nasehatnya membawa kami menembus malam. Penuh wibawa.

18 February 2011

Duh.., Manisnya Kamu di Lampu Mati


Cerpen: Firdaus Abie

”Sialan.........!”
”Lho, dari tadi menggerutu aja?”
”Bagaimana tidak. Sejak pukul empat sore hujan belum juga reda!”
”Aku tahu, tapi kalau hujannya tidak reda, batalkan saja acaranya!”
”Batalkan? Tak mungkin, deh..! ”
”Bagaimana tak mungkin, tak usah saja datang!”
”Maksudnya? ”
”Ya.., apelnya ditunda saja!”
”Aku bukan pergi apel. Tapi memenuhi undangan adik kelas yang berulang tahun”
”Yang ke berapa?”
”Sweet Seventeen! ”
”O........o... ” balas Jack, sambil membuat bulatan di bibirnya yang lumayan dower.
”Oh ya Jack! Bagaimana dengan yang pernah saya sampaikan tempo hari? ”
”Yang mana?”
”Pinjaman kepangmu buat malam ini”
”Beres deh, kalau perlu silahkan saja bawa gerobakku, kamu bisa mengambilnya di garasi”
”Biarlah, saya bawa kepang saja”
”Tapi kamu harus tahu dengan kebiasaan saya besok”
”Beres Boss.!”
Aku dan Jack bagaikan saudara yang tak bisa dipisahkan, sekali pun sebenarnya aku lebih sering menyusahkannya. Ia anak orang berpunya, namun tidak pernah berhitung dengan ku.
”Pakai ini deh Rud..! ” seru Jack melambaikan jaket biru yang selalu dipakainya bila membawa kepang di malam hari.

10 February 2011

Harimau di Ujuangbatu

Cerpen: Firdaus Abie


  Lindo sudah membulatkan tekad. Tugas yang diberikan Datuak Sunguik, Walinagari  Ujuangbatu, mencari lahan untuk manaruko  di lahan tersebut, harus dijalankan. Ia tak tega melihat kondisi nagarinya saat ini.
    Pengakuan tetua di nagari itu, baru kali ini musim kemarau sangat panjang. Sudah hampir setahun tak pernah hujan. Sawah dan ladang mulai kerontang. Tanaman muda sudah meranggas dan mati. Sawah tak lagi bisa ditamani karena tak ada air untuk persemaian benih. Debet air yang turun di pincuran sejumlah tapian, sudah ada yang tak mengalir lagi. Ketersediaan air bersih sudah sangat mengkuatirkan.
    Pada anak tangga paling atas pondoknya, Lindo melepaskan tatapan ke sekeliling. Seorang perempuan sedang menyusun ranting kering di kiri samping pondok. Ranting itu nantinya akan dijual, sisa serpihannya dipakai sendiri di tungkunya.
    Melihat suaminya sudah di pintu, perempuan menikah dua tahun lalu, namun belum sekali pun terlambat bulan, meninggalkan ranting-ranting keringnya, lalu bergegas ke dalam pondok. Tak lama berselang, ia keluar dan menemui suaminya yang sudah berada di kiri samping pondok. Perempuan berlesung pipi itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil.
    “Untuang-untuang capek basobok, Da ..” Marni menyerahkan bungkusan tersebut, kemudian menyalami dan mencium tangan suaminya.
    Lindo terpaku. Batinnya berkecamuk. Tangan istrinya masih digenggam. Walau ini bukan yang pertama akan meninggalkan istrinya, namun ini kali pertama ia merasa takut meninggalkannya.
    

25 January 2011

Tamu Basah

Cerpen: Firdaus Abie


    Fuad dan Andi saling bertatapan. Sekali pun tak bersuara, sepertinya mereka mengatakan sesuatu. Kegelisahan wanita yang baru saja mengambil posisi di depan mereka. Kegelisahan wanita itu semakin terlihat.
    “Ada yang bisa kami bantu, Mbak?” Fuad memberanikan diri buka suara. Tak ada jawaban. Fuad mengulangi, Ia menduga wanita itu tak mendengar tanyanya.
    “Terima kasih,” jawabnya, “saya hanya menunggu seseorang,” sambungnya sembari melirik jam tangan, lalu menarik turun roknya. Meski diturunkan, tak cukup menutupi pahanya. Pahanya bersih. Mulus.
    Hening sejenak. Hanya terdengar ketipak air dikibas ekor ikan kolam. Fuad memandangi kolam, melepas kegrogiannya. Gerak ikan di kolam begitu liar, seliar pandangannya ke paha wanita itu, dan seliar tatapan wanita itu pintu utama yang dijaga bilboys. “Janjinya pukul berapa, Mbak?” tanya Fuad.
    “Sembilan,” jawabnya. Spontan saja kedua pria itu melirik jam tangan masing-masing.
    “Sudah lewat satu setengah jam,” sambung Fuad, “apakah tak salah tempat janjiannya?” sambungnya.
    Wanita itu mengeleng.
    “Sudah dihubungi?”
    “Handponnya tak aktif,”
    “Kelihatannya penting sekali,” sela Andi.
    “Kalau tak penting, tak mungkin saya menunggu,”
  

11 January 2011

S A L U A N G

Cerpen: Firdaus Abie


    Piliang tersentak. Tak menduga. Setelah tiga hari tak bertemu gadih kamek ba-abuak sapinggang1 itu, semangatnya kembali menggebu melihat bayangan di balik gorden lusuah2 di rumah gadang3. Piliang yakin, bayangan selepas azan Magrib itu, pasti miliknya. Milik gadis yang selalu duduk menyulam dekat jendela ketika mendengar alunan saluang4 Piliang. Setiap malam, sejak dua pekan terakhir.
    Biasanya, pada waktu yang telah tercecer, Piliang tak menunggu lama kemunculan gadis manis berambut sepinggang itu. Piliang sudah hafal, biasanya, tak lama ia meniup saluangnya, gadis itu pasti membuka daun jendela, menyibak gorden, lalu duduk menyulam dekat jendela. Piliang menjaga malam dengan tiupan saluangnya nan sumbang dari pos jaga Medan Nan Bapaneh5, sementara gadis itu menemani dari rumah gadang di seberang jalan.
    Piliang menemukan gadis itu secara tak sengaja. Kalaulah gadis itu tidak menyapanya, dua pekan silam, ketika Piliang hendak ke pos jaga, mungkin Piliang tak pernah tahu kalau di rumah gadang itu ada gadis manis yang belum dikenalnya.
    ”Uda Membawa saluang?” tanya gadis itu, dari balik jendela rumah gadang.
 

08 January 2011

Wanita Itu Mirip Astuti


Cerpen: Firdaus Abie 
 

    Sebuah suara mengagetkan langkah Syarif dan Anggun. ‘’Maaf. Jika diperkenankan, saya akan menjelaskan seluruh aspek di bangunan tua ini,‘’ suara lembut yang kental logat Jawa menghentikan langkah Syarif dan isterinya.
Syarif tersenyum. Di kirinya, Anggun menatap penuh tanya. Ia memandangi suaminya, lalu, beralih pada wanita muda berkulit kuning langsat, persis di depan hidung suaminya.
    ‘’Saya hanya ingin memperkenalkan Taman Sari kepada tuan dan nyonya, ‘’ lanjutnya sembari menyeka keringat di dahi jenjangnya.
    Syarif dan Anggun menjawab dengan senyum. ‘’Berapa kami harus bayar?‘’ tanya Syarif. Bersamaan pertanyaan itu, wanita berambut kepang itu tersentak. Wajahnya memerah, bak kepiting rebus.
  

05 January 2011

B I O L A

Cerpen: Firdaus Abie

Kali pertama mendengar gesekan biola di tempat kosnya, dari sebuah rumah di seberang jalan, sebelah kiri rumah kos yang baru ditempatinya, terlihat jelas seorang lelaki tua sedang menggesek biola di langkan. Gesekan biola yang terdengar sayup-sayup itu membuat Farhan melayang. Terbang jauh ke kampung halamannya: sebuah desa kecil di pinggang pegunungan.
Di kampungnya itu, dulu a sering mendengarkan gesekan biola. Sedari kecil, Ia begitu akrab dengan gesekan biola. Ibunya juga. Bapak juga. Kakak dan adiknya, juga akrab dengan gesekan biola. Orang kampungnya pun.
  Di kampung kecilnya, tak ada hiburan, selain permainan biola setiap bulan tarang . Wali Jorong yang memainkannya. Sekali pun kepandaian Wali Jorong tak sehebat kemampuan kakeknya, tapi sudah cukup bagi orang-orang kampung untuk mendengarnya sebagai hiburan pengantar malam.
  Kepandaian Wali Jorong merupakan warisan dari kakeknya. Kakek Wali Jorong memperoleh kepandaian memainkan alat musik gesek itu dari ayahnya. Konon, ayah dari kakek Wali Jorong memperoleh kemampuan bermain biola dari Rio Van Beck, seorang opsir Belanda.
 

04 January 2011

Cincin Kelopak Mawar

 Cerpen: Firdaus Abie

Badri tersenyum bangga. Kali ini ia yakin, usahanya tak akan sia-sia lagi. Dendam yang membakar ubun-ubunnya akan terbalaskan dengan cinta yang dirasakannya. Dalam dendam ada cinta.
Di kamar berdindingkan palupuah1, Badri baru saja mengenakan pakaian, setelah seluruhnya dilepas ketika mandi rempah dan bunga tujuh rupa dari tujuah tapian2. Prosesi selanjutnya, sembari mengingat gadis yang telah mempenjara hatinya, dibukanya bungkusan yang diberikan Mak Pado, dukun terkenal di nagari subarang3. Tempat orang mengadu untuk urusan cinta dan guna-guna.
Mak Pado sebenarnya bukan penduduk asli nagari subarang, tak ada yang tahu asal usulnya. Ia sudah ada di nagari itu sejak dibawa kakeknya. Gubuknya jauh di tengah hutan. Jarang ada yang datang ke gubuknya. Kalau pun ada, umumnya untuk urusan guna-guna. Itu pun biasanya dilakukan malam hari, secara sembunyi-sembunyi. Agar orang tak tahu.
Bagi masyarakat di nagari itu, sekali pun jauh dari keramaian, jauh dari kehidupan gemerlap, namun datang ke dukun adalah aib jika diketahui tetangga, apalagi diketahui orang senagari.

22 November 2010

Negeri Sunyi

Cerpen: Firdaus Abie


Kalaulah Amak tidak sering memintanya pulang, Bidin belum tentu pulang. Baginya, berburu di rantau lebih baik dari pada harus pulang kampung. Usaha yang sedang dilakoninya sedang berkembang dan lagi naik-naiknya. Jika ditinggal, Bidin kuatir. Ia tak ingin peristiwa enam tahun silam terulang lagi.

Ketika itu, hanya ditinggal dua hari saja, usaha yang susah payah dirintisnya, lenyap begitu saja. Semua barang dagangannya dipindahkan entah kemana oleh anak buahnya. Sembilan bulan Bidin bolak-balik ke kantor polisi, ternyata tak ada perkembangan terhadap penanganan kasus yang yang dilakukan anak buahnya tersebut. Anak buahnya tak pernah tertangkap.

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...