23 April 2022

Kisah Mesin Tik Usang

Inmemorian Azwar Siry SH, MM:


 

 Oleh: Firdaus Abie


Seorang lelaki, bertubuh sedang, berkostum putih abu-abu, keluar dari pekarangan sebuah kantor. Tangan kanannya menenteng sebuah mesin tik. Di saku belakangnya terselip dua buah buku tulis. Ia mempercepat jalannya. Mengitari jalan Tan Malaka, menyeberangi jalan Sudirman, masuk ke Pasar Raya, lalu menaiki angkutan kota ke arah Parak Laweh.

Turun dari angkutan kota, Ia mempercepat langkahnya.

“Bang, saya dapat mesin tik!” teriaknya begitu Ia masuk ke rumah.

Lelaki yang dipanggil abang itu terkejut.

“Dapat dari mana?” tanyanya.

“Saya minta langsung kepada kepala kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang,” jawabnya.

“Serius? Tidak mencurikan?”

“Pernahkah itu saya lakukan?” tanyanya balik menyerang.

“Bagaimana ceritanya bisa mendapatkan mesin tik ini?” tanyanya.

Lelaki berseragam putih abu-abu itu, kemudian menceritakan. Sudah beberapa hari ini ia berpikir keras untuk memiliki mesin ketik. Baginya, mesin ketik sangatlah penting. Tidak bisa tidak. Ia tak kuat lagi untuk menumpang mengetik di lembaga kursus mengetik, di kantor lurah atau di ruang tata usaha sekolah.

Tak hanya dia. Lelaki yang dipanggilnya abang tersebut, juga begitu. Setali dua uang dengan adiknya. Mereka benar-benar membutuhkan mesin ketik. Tapi apa daya, mesin tik merupakan barang mahal bagi keluarganya yang sedang terpuruk.

Lelaki itu dan abangnya penulis pemula. Mereka menjadi penulis lepas diberbagai media terbitan Padang. Mereka menulis sesuai aliran nafasnya. Mereka penulis di ruang Haluan Minggu, di Canang dan Singgalang Minggu.

Mereka menulis tentang apa saja yang bisa ditulis. Cerpen remaja, profil remaja berprestasi, cerita anak dan lain-lain. Secara spesifik, lelaki yang bersekolah di SMSR (kini SMKN 4 Padang) malahan mengisi kolom tetap di Haluan Minggu. Kolomnya berupa panduan untuk membangun taman di halaman dan dalam rumah. Tak hanya tulisan yang dituangkannya, tetapi juga desain atau ilustrasi taman tersebut.

Disaat ia masih duduk di kelas II SMSR, dirinya sudah memperoleh kesempatan untuk mengisi rubrik kolom tersebut. Ia bukan yang pertama, tetapi sebelum dirinya, kolom itu digawangi seseorang yang bertitel Insinyur di depan namanya.

Sejak memperoleh mesin ketik, keduanya semakin produktif. Ada-ada saja ide yang dijadikannya untuk ditulis, lalu naskahnya diantarkan ke media cetak tersebut. Rata-rata, minimal satu naskah masing-masingnya dimuat setiap Minggu.

“Bagaimana bisa sampai diminta kepada beliau?” Tanya si abang.

Ia menyebutkan, idenya datang tiba-tiba saja. Ketika hendak pulang, dirinya ingin bertemu dengan orang yang mengurus pendidikan di Padang. Pasti ada jalan keluarnya. Ia pun kemudian mendatangi kantornya. Setelah tanya beberapa orang, akhirnya sampai di ruangan sang kepala kantor. Beliau sedang rapat.

“Saya akhirnya menunggu persis di depan pintu masuk ruangannya,” kata lelaki berseragam putih abu-abu.

Tak lama diantaranya, seorang lelaki masuk sambil menyapanya.

“Cari siapa?” tanya lelaki yang tak lain adalah Azwar Siry, SH, Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan (kini, Kadis Pendidikan) Kota Padang.

“Mencari bapak Azwar Siry,”

“Ayo masuk,” ajaknya.

Sesampai di ruangan kerjanya, lelaki berseragam putih abu-abu tersebut menceritakan siapa dirinya. Ia mengabarkan aktivitasnya. Termasuk memperlihatkan kliping naskahnya yang sudah terbit.

“Ananda butuh apa?” tanya beliau.

Mendapat pertanyaan itu, sang pelajar tersebut langsung mengungkapkan, butuh mesin ketik.

“Selama ini bagaimana naskah ini bisa sampai ke redaksi koran?” tanya beliau.

Ia menceritakan apa adanya. Azwar Siry mengangguk-angguk. Ia menyadari dan memahami kesulitan yang dihadapi lantaran dirinya juga seorang penulis dan pernah menjadi wartawan di Harian Umum Semangat.

Setamat SMSR, Ia tidak melanjutkan kuliah. Ia merantau ke Pekanbaru. Di Bumi Lancang Kuning tersebut, Ia memulai usaha membuat taman dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor. Mulanya masih rutin menulis dan mengirimkan naskahnya ke Haluan Minggu. Belakangan Ia lebih fokus menulis tentang desain taman.

Aktivitasnya di perantauan semakin tinggi, akhirnya mengabarkan kepada redaktur yang mengelola halaman Haluan Minggu, bahwa Ia ingin istirahat dulu mengirimkan desain taman. Tak diduga, tujuh tahun lamanya Ia menjadi penulis kolom di rubrik tersebut.

Di tahun 2016, si abang berkunjung ke kediaman Azwar Siry di kawasan Berok – Siteba, Padang. Ia mewawancarai Hj Rosdiana Azwar Siry (almh) untuk kebutuhan buku Ikatan Alumni SMAN 3 Padang. Selesai wawancara, si abang kemudian menyampaikan kepada Azwar Siry, ada salam dari anak yang dulu datang meminta mesin ketik.

Lama Azwar Siry tertegun. Ia kemudian mengatakan, tak ingat lagi peristiwa itu. Disampaikan, tahun 1991, belum terus memutar memorinya. Kembali dikatakan tak ingat. Si abang terus memancing adrenalin beliau.

“Hm.., rasanya dulu pernah. Ya, pernah sekali. Kalau tak salah, ia datang sendiri masih berseragam SMA,” katanya.

Si abang menjulurkan tangan, “saya abangnya, Pak. Saya juga turut menggunakan mesin ketik itu”.

Azwar Siry tertegun. Lalu menepuk pundak si abang.

“Jadi, itu adikmu? Di mana dia sekarang?”

“Sejak tamat SMSR, ia merantau dan menetap di Pekanbaru, Pak” lalu melanjutkan dengan pertanyaan, “ketika Ia datang dan minta mesin ketik, mengapa bapak langsung percaya?”

Kata Azwar Siry, dirinya tidak menaruh curiga sedikit pun, malahan menilai anak yang datang padanya tersebut adalah anak kreatif dan tahu menyelesaikan masalahnya. Bukti dia kreatif, banyak karyanya yang sudah diterbitkan koran. Tak mudah menembus koran, apalagi bagi pelajar.

“Ketika diri dan keluarganya tak berdaya, Ia justru melihat celah lain. Kami dipertemukan dan alhamdulillah, ada jalan keluarnya,” kata Azwar Siry, “namun saya hanya bisa memberikan mesin ketik usang,”

“Tapi sangat membantu kami sekali, Pak,” kata si abang.

 

*

 

Berbekal kemampuan menggambar dan menulis, Ia coba peruntungan kepada sebuah sebuah koran harian di Pekanbaru. Ia mendaftar untuk illustrator. Diterima. Beberapa tahun berselang, ditugaskan ke lapangan menjadi reporter, menjadi redaktur, kemudian berturut-turut menjadi Redaktur Pelaksana Pekanbaru MX, Wapemred Pekanbaru Pos, Pemred Posmetro Mandau. Belakangan mencoba peruntungan di media online. Redaktur patrolipost.com dan balitribune.

Dunia kewartawanan juga mengantarkannya beberapa kali memperkuat kontingen Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) Riau.

Sedangkan lelaki yang dipanggilnya abang tersebut, setahun lebih dahulu darinya. Memulai dari goresan di buku, lalu di Mading sekolah, Mading di radio Arbes Jl Permindo, di KMS-Singgalang, lalu menekuni juga sebagai penulis lepas diberbagai media terbitan Sumbar. Termasuk pernah dinobatkan sebagai penulis produktif di Radio Dirgan Bravo (RDB), tahun 1989, 1990, 1991.

Si abang, setamat SMAN 4 Padang diterima menjadi reporter di Harian Umum Semangat, kemudian menjadi redaktur. Lalu turut merintis dan menapak karir di Padang Ekspres, dari redaktur hingga Pemimpin Redaksi dan Wakil Direktur. Dipercaya memimpin tim untuk mendirikan Padang TV. Menjadi Pemred Padang TV, Manager Program hingga Wakil General Manager. Tahun 2010 dipercaya pula mendirikan Harian Umum Rakyat Sumbar Utara (kemudian berganti jadi Harian Umum Rakyat Sumbar) untuk posisi General Manager merangkap Pemred dan kemudian menjadi direktur.

“Bang, saya hanya bisa berkirim doa untuk Pak Azwar Siry. Beliau orang yang sangat baik, Pak,” kata Hanafi RT, lelaki yang dulu datang berseragam putih abu-abu ke Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang kepada abangnya, Firdaus Abie. *

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...