28 December 2019

Perempuan yang Terpaku Bisu di Luar Jeruji Besi

Elma mengembangkan bibir. Tersenyum ke cermin, menatap raut wajah letihnya. Kelopak matanya menghitam dan cekung. Dalam kelelahan dipaksakannya tersenyum. Ia berharap, senyum itu benar-benar akan jadi senyum kebahagian.
Senyum itu mengembang sejak empat hari lalu. Sejak Diki memberi kabar, hukumannya segera berakhir. Ia memperoleh remisi tahunan. Jika tak ada aral melintang, hukuman itu berakhir dalam pekan ini, tapi Ia tak tahu jadwal pastinya.
“Dalam pekan ini, saya akan bebas,” kata Diki, ketika Elma menemuinya di penjara, dua hari lalu.
Kalimat itu sudah cukup membahagiakannya. Jika bebas, berarti Ia tak akan repot lagi ke penjara menemani hari-hari Diki, lelaki yang tak pernah  bisa dilupakannya.
Rasa yang ada di diri Elma terhadap Diki sangat beragam. Diki sangat mencintainya. Elma juga menyukai Diki. Meski kemudian Elma memilih Rudi, namun hatinya tetap untuk Diki. Sekalipun kemudian tunangannya tewas di tangan Diki,  Elma tetap berharap sepotong hatinya akan bertaut dengan potongan hati Diki.
Elma baru tersadar ketika keakraban dengan Diki, disaat kuliah, telah menjeratkan benang asmara dalam dirinya. Ketika hendak keluar dari jerat itu, Ia nyaris tak kuasa. Jerat itu benar-benar telah membelenggu hatinya.
Tak ingin terbelenggu lebih erat, Elma menghindar. Bangku kuliahpun ditinggalkan, lalu memilih Rudi, anak mamaknya karena keterpaksaan. Tapi Ia tetap tak bisa menghilangkan bayangan Diki dalam setiap langkahnya.

*

Diki tak pernah menduga akan bebas lebih cepat dari vonis yang diberikan. Remisi setahun pengurangan masa tahanan pada tiga kali lebaran, sudah cukup baginya untuk menghirup udara bebas kembali.
Ketika bulan menembus jeruji besinya, Diki tersenyum. Cahaya kemenangan itu telah menghampirinya. Udara kebebasan itu telah di ambang pintu. Diki tak henti-hentinya tersenyum. Tersenyum menyambut cahaya kemenangan. Tertawa menanti udara kebebasan.
Di balik cahaya itu, Diki menangkap bayangan Elma melangkah pasti. Langkah yang selalu menemani hari-harinya. Diki merasa serba salah, Elma yang menemani hari-harinya kini, tetaplah seperti Elma yang dikenalnya semasa kuliah. Elma pula satu-satunya orang yang pernah menemaninya di penjara, sementara istrinya tak pernah.
Ia juga tak tahu dimana istrinya sekarang. Sejak menjalani proses hukum hingga sekarang, tak pernah istrinya datang. Malahan Elma pernah diminta menyampaikan kabar kepada istrinya, tetapi istrinya tak di rumah lagi. Entah kemana, tak seorang tetanggapun yang tahu kabarnya. Di kampung juga tak ada.
“Dari tadi kau senyum-senyum saja. Senang akan bebas?” Rino, teman satu selnya menyapa. Diki membalas dengan senyuman..
“Senang segera bebas, ya?” ulangnya.
“Sudah pasti...”  balas Diki.
“Bagaimana dengan wanita itu?”
Diki terdiam. Ia paham, wanita yang dimaksud Rino pastilah Elma, satu-satunya orang yang datang membezuk Diki ke penjara.. Bersamaan dengan itu pula, pikiran Diki menerawang ke masa lalu.
Di hadapannya melintas bayangan Elma. Perempuan itu benar-benar menggoda. Ia tak terlalu cantik, tetapi sangat menarik. Kesederhanaan, kelembutan dan ketenangannya membuat Diki tergila-gila. Kemudian benar-benar hampir gila, ketika bulan itu justru dipetik temannya sendiri, yang bermuara pada kehadirannya di balik jeruji besi.
“Tidak cukupkah kau mengkhianatiku?” protes Diki, “sehingga kau fitnah aku kini?”
“Justru aku sebenarnya yang kau khianati,” balas Rudi. “Buktinya, ia selalu mengenangmu setiap saat,” sambung Rudi.
“Itu bukan urusanku. Meski aku telah kalian khianati, aku tetap menghargai pilihannya. Kau lebih beruntung,”
“Tapi kau mengguna-gunainya, sehingga namamu selalu dalam dirinya,”
Diki tersentak. Mukanya merah bak kepiting rebus. Ia tak terima tuduhan memojokkan itu. “Saya minta agar kau tak ulangi kalimat itu!” dadanya turun naik.
Rudi tetap pada keyakinannya, istrinya telah diguna-gunai Diki. “Bagi saya, biarlah dapat pelacur daripada mengguna-gunai istri orang, apalagi istri teman sendiri,” balasnya tak kalah sengit.
“Tapi kau tetap suka dia kan?”
“Kalau itu, sampai kapanpun aku suka dia. Tapi tidak dengan mengguna-gunainya,” balas Diki. “Kau sangat keterlaluan! Sudahlah aku kau fitnah, istrimu juga kau hina. Seharusnya kau beruntung mendapatkan istri yang baik dan setia,”
“Puihs, jangan belagu!” Rudi membalas dengan meludah, “jangan aku pula yang diceramahi,”
 “Dulu aku memang sangat mencintainya. Mencintai sekali. Tapi hanya bertepuk sebelah tangan. Ia jujur mengatakan kalau kalian sudah berpacaran, walau ketika itu belum ada ikatan resmi. Aku menghargai kejujurannya. Aku kecewa, tapi melepasnya dengan rela,”
“Banyak omong, kau!” Rudi geram sembari melepaskan pukulan. Tepat mendarat di hidung Diki. Darah segarpun keluar.
Belum sempat Diki menyekanya, sebuah sikut menghujam hulu hatinya. Lalu disusul tendangan kaki kiri tepat mengenai kelaminnya. Diki sempoyongan lalu terjerambab ke tanah.
Rudi mengejar. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secepat kilat Ia merunduk, lalu menarik krak baju Diki. Satu dua bogem mendarat di wajah Diki. Dalam ketidakberdayaan, tangannya menggapai-gapai. Batu sekepalan tinjupun terjangkau. Diki mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, lalu menghantamkan batu itu tengkuk Rudi.
Bersamaan dengan itu, Rudi mendongok mengangkat wajahnya. Batu itu pun akhirnya mendarat di ubun-ubunnya. Darah pun muncrat. Dalam hitungan detik, keduanya bersimbah darah. Rudi sempoyongan, lalu terjatuh. Kemudian tak bergerak lagi.

*
Elma menyeret langkah pasti menuju ruang tamu penjara. Ia berharap segera bertemu Diki, lalu memperoleh kabar kepastian kebebasannya. Ia sudah mempersiapkan diri akan kabar itu, sekaligus sudah merencanakan kejutan pada hari kebebasan tersebut.
“Diki sudah keluar dua hari lalu,” sipir piket menyambut kedatangan Elma, sekalipun wanita itu belum bertanya.
Elma membalas dengan senyuman.  Ia menduga, sipir itu hanya bercanda. Tak kali ini saja para sipir bercanda dengannya. Elma baru tersentak ketika Ia serius menanyakan perihal Diki. Lalu diperlihatkan copyan berita acara pembebasan lelaki itu. Seketika itu juga pikirannya berkecamuk. Ia terpaku bisu. Setelah itu diseret langkahnya meninggalkan penjara.
Bersamaan ketika angkutan kota yang stopnya  pergi, seorang sipir berlari ke halaman mengejar Elma. Di tangannya tergenggam sebuah amplop surat.
Di depannya tertulis, Untuk: Elma.
Tetapi, sipir itu tak menemukan Elma lagi.*
*Jelang Subuh, 17 Ramadhan 1427 H

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...