28 December 2019

P i e n

Pien menatap sekeliling ruangan. Matanya liar. Merasa berada di ruangan yang sangat asing. Sebuah ruangan tamu yang sangat besar. Ada tiga set kursi tamu. Ada dua alat pendingin ruangan tergantung di kiri kanan ruangan, sebuah akuarium besar di pojok kanan pintu masuk. Di samping pintu yang menghubungkan dengan ruangan lain, sebuah lemari besar memajang beragam koleksi kristal, piala dan buku.
Sepeninggal Fathan, Pien tak bisa menghilangkan rasa groginya. Ruangan itu sangat mewah untuk ukurannya. Kursi yang didudukinya pun terasa aneh. Ia tak bisa mengelak ketika Fathan menuntunnya.
”Biasa sajalah. Kenapa harus grogi?” ujar lelaki berpostur atletis itu sebelum meninggalkan Pien di ruangan tamu. Pien hanya menjawab dengan memberikan senyuman yang dipaksakan.
Sebenarnya Pien tidak grogi. Pien justru terkejut ketika menghenyakkan pantatnya di kursi. Seakan pantat dan tubuhnya disedot kursi itu. Seumur-umur, baru kali ini Pien duduk di kursi yang sangat empuk.
Pien hanya berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya  seorang penarik becak dayung. Becak itu pun milik Haji Mahmud. Haji Mahmud memiliki 10 becak. Semuanya dibawa orang-orang kurang mampu di lingkungannya.
Ayah Pien tergolong paling senior diantara anak buah Haji Mahmud, sehingga tak mengherankan kalau Haji Mahmud dan keluarganya sangat mengenal keluarga Pien. Sudah 20 tahun ayah Pien bekerja pada Haji Mahmud. Ibu Pien pun sering membantu keluarga Haji Mahmud. Mencuci, memasak, membersihkan rumah dan pekarangan, dikerjakan Ibu Pien di rumah Haji Mahmud dengan senang hati.
Sepulang dari rumah Haji Mahmud, ada saja yang dibawa pulang Ibu Pien. Kalau tak Haji Mahmud yang memberi, pasti diberikan istrinya. Keluarga Haji Mahmud merasa terbantu oleh Ibu Pien yang ringan tangan. Itu pula yang menyebabkan Haji Mahmud tak segan-segan menjadi orang tua angkat untuk pendidikan Pien. Haji Mahmud tahu, penghasilan ayah Pien yang tak seberapa, mana cukup untuk membiayai sekolah setengah lusin anaknya.
Malahan, ketika Pien masih kelas V SD, hampir saja diberhentikan karena hutangnya di sekolah tak bisa dibayar. Sejak itu Haji Mahmud membiayai seluruh biaya sekolah Pien. Biaya dari Haji Mahmud itu pula yang mengantarkan Pien kini menjadi mahasiswi di Padang.
Meski sudah kuliah di Padang, Pien masih tetap seperti anak kampung yang lugu, jujur dan tak banyak tingkah. Ia termasuk mahasiswi sederhana, namun berotak encer. Nilainya sangat bagus untuk ukuran anak kampung yang bersaing dengan anak kota.
Hubungannya dengan Fathan sudah berlangsung lama. Sudah jalan empat semester, tepatnya sejak awal Pien menjadi mahasiswa, sedangkan Fathan seniornya. Tiga angkatan di atas Pien.  Pun, Fathan sudah pernah ke rumah orang tua Pien di kampung, awal semester lalu.
Kehadiran Fathan di kampung Pien, sama sekali diluar dugaannya. Sejak keduanya sudah saling akrab, Fathan sudah berulangkali meminta agar dirinya diperkenalkan pada orang tua Pien. Setelah itu, Fathan berjanji akan memperkenalkan Pien pada orang tuanya, dan kemudian akan datang melamar.
Pien sering menolak. Ada perasaan galau di hatinya. Jika Fathan benar-benar sudah datang ke rumahnya, Pien yakin lelaki itu akan menjauh begitu mengetahui kondisi Pien yang sebenarnya.
Tapi dugaan Pien meleset. Ketika Pien pulang kampung, akhir semester lalu, diam-diam Fathan membuntuti. Belum lagi Pien cuci muka karena sudah melakukan perjalanan jauh, naik bus antar kota non AC, Fathan sudah muncul di depan gubuknya, mengendarai mogenya.
Tak lama, memang. Fathan baru pulang ke Padang setelah berjumpa ayah Pien yang datang menjelang sore dengan becak dayungnya. Ayah Pien bingung. Siapa gerangan lelaki gagah yang sudi datang ke gubuknya yang sudah miring.
Pien mengiringi langkah Fathan kembali ke Padang dengan perasaan galau. Dalam benaknya ia berpikir, barangkali ini pertemuan terakhirnya dengan Fathan. Pien berpikir, jangan-jangan setelah tahu kondisinya, Fathan akan menjauh, meninggalkan dirinya.
Pikirannya itu kemudian menjadi kegalauan. Setelah Pien kembali ke Padang, lama tak terdengar kabar Fathan. Lelaki itu tak pula main ke tempat kostnya. Kegalauan Pien berubah menjadi perasaan lain, Fathan benar-benar sudah meninggalkan dirinya.
Tapi dugaan Pien meleset. Dua pekan setelah Pien kembali ke Padang, Fathan menungguinya di kampus. ”Kita ke rumah. Papa dan Mama menunggu kehadiranmu..”
Fathan menghentikan langkah Pien. Gadis itu tertegun.
”Kapan?” tanya Pien.
”Sekarang.. ”
”Kenapa harus sekarang? Aku belum siap” jawab Pien tertatih.
”Kalau tak sekarang, kapan lagi?”sambung Fathan sembari mengarahkan langkah Pien ke pelataran parkir, menuju motor gedenya. Pien tak bisa menolak. Begitu pun ketika Ia minta mampir dulu ke tempat kost, ganti pakaian. Fathan menolak.
”Lebih baik apa adanya, ” pinta Fathan membawa Pien ke rumahnya.
Tatapan Pien tetap mengitari ruangan tamu. Kemudian pandangan itu berhenti pada sebuah foto keluarga berukuran besar. Sepasang suami istri duduk di depan, sedangkan di belakangnya ada tiga orang. Pien yakin, itu pasti foto Fathan bersama orang tua dan saudaranya. Pien melihat jelas, Fathan ada di tengah.
Pien beranjak dari kursinya. Mendekati foto keluarga itu. Langkahnya terus mendekati foto itu. Satu persatu ditatapnya. Di kiri kanan Fathan, dua cewek mengapitnya. Kedua manis dan cantik. Pien yakin, keduanya kakak dan adik Fathan, seperti sering diceritakan lelaki itu.
Lalu, tatapan Pien beralih ke dua orang tua Fathan. Entah kenapa, tiba-tiba saja ada rasa ragu dalam dirinya. Ada rasa sesak di dadanya. Keningnya berkerut. Sejenak dipejamkan mata, lalu dibuka, dipejamkan lagi, dibuka lagi. Begitu berulangkali.
Pien seakan mengingat sesuatu. Tapi ia ragu. Antara benar dan tidak. Dicobanya untuk terus mengingat. Pien merasa dadanya semakin bergemuruh. Wanita yang duduk disamping suaminya di foto itu, terus mengusik Pien.
Sejenak, dicobanya menghibur diri. Tapi tak juga bisa. Perasaan Pien berkecamuk. Dalam kondisi berkecamuk itu, Fathan datang. ”Pien, tunggu sebentar ya. Pekerjaan mama lagi tanggung tuh.. ”
”Ini foto keluargamu, ya? ” tanya Pien menutupi perasaannya yang berkecamuk, ”Ini mama?” tanya Pien sembari menunjuk wanita separoh baya. Fathan mengangguk. Suasana hening.
”Fat, sini sebentar, bantuin mama dikit, biar cepat selesai, ” sebuah suara memecah keheningan itu. Pien terkejut. Dicobanya menutupi keterkejutan itu. Untung Fathan tak melihat perubahan di wajah Pien. Lelaki itu minta izin ke ruang dalam. Pien mengangguk.
Sepeninggal Fathan, jantung Pien makin berdetak kencang. Kini Pien makin yakin. Foto wanita dan suara yang baru saja didengarnya itu semakin mengingatkannya pada sesuatu yang membuatnya mengalami perasaan tak menentu seperti sekarang. Ditatapnya lagi foto itu dalam-dalam, lalu diingat-ingatnya vokal yang baru didengarnya, Pien makin tak menentu. Pien makin yakin dengan perasaannya. Tak salah lagi, katanya membatin.
”Oke, sekarang mana calon menantu mama itu... ” suara itu terdengar nyaring. Pien makin terkejut. Dadanya bergejolak makin tak menentu. Jantungnya berdebar kencang. Suara itu, sama dengan suara yang memanggil Fathan, lima belas menit lalu.
Perasaan Pien makin tak menentu. Dari foto keluarga yang terpajang itu, Pien balik kanan, setengah bergegas disambarnya dompetnya yang tadi diletakkan di meja, lalu berlari kecil ke pintu utama. Pien kemudian mendengar suara Fathan dan suara yang nyaring tadi. Meski tak menoleh ke belakang, Pien yakin pasti keduanya sudah dekat ke ruang tamu. Bergegas Pien berlari di halaman rumah yang luas, kemudian membuka pagar.
Pien menoleh ke kiri. Tak ada siapa-siapa. Lalu beralih ke kanan. Di ujung gang, Pien melihat pangkalan ojek. Ia bertepuk tangan memberi kode ke arah pangkalan ojek. Berulang kali ia bertepuk tangan. Sesekali Pien menoleh ke belakang. Tepukan tangan Pien disahuti beberapa tukang ojek di pangkalan itu. Seseorang di antaranya terlihat bergerak mendekati sepeda motor.
Pien kembali menoleh ke belakang. Gadis itu melihat jelas Fathan berlari-lari kecil memanggilnya. Di belakangnya ada seorang wanita setengah baya. Ditatapnya wanita itu sedemikian rupa. Lalu menoleh ke arah pangkalan ojek. Pengemudi ojek masih hendak menghidupkan sepeda motornya. Lalu kembali menoleh ke halaman rumah Fathan. Lelaki itu terus mengejar Pien sembari berteriak agar jangan pergi.
Wanita di belakang Fathan itu pun masih jelas terlihat rupanya oleh Pien. Pien semakin yakin. Ia pernah berjumpa wanita itu secara tak sengaja. Ketika itu, tiga hari lalu, Pien menemani Neni, sahabatnya ke toko buku. Secara tak sengaja, Pien dan wanita itu bertabrakan badan. Tas kresek di tangan wanita itu putus. Ia marah sejadi-jadinya. Memaki Pien. Pien minta maaf. Tapi tak dihiraukan.
Semula Pien tak hendak melayani, tapi Pien terus diceramahi. Kata-kata kasar pun keluar. Pien kembali minta maaf. Wanita itu terus manciracau[1]. Neni turut membantu menetralisir suasana. Neni juga minta maaf. Tapi wanita itu tetap tak menghiraukan. Pien pun diam. Dicobanya untuk meninggalkan wanita itu, tapi wanita itu terus menceramahi. Pien tetap diam.
Tapi, terlalu lama diceramahi, kuping Pien merah juga, apalagi kerumunan orang makin ramai. Tak tahan dengan perlakuan itu, Pien akhirnya mendekati wanita itu. Dicobanya kembali untuk minta maaf. Tetap tak digubris. Pien masih terus dimaki.
Merasa harga dirinya sudah diinjak-injak, pertahanan Pien bobol juga. Sebuah semburan dari mulutnya pun meluncur, tepat mengenai wajah wanita itu. Lalu Pien berjalan santai meninggalkan wanita separoh baya yang tak menduga adanya serangan balik itu. Pien berlalu disaat wanita itu menyeka cairan yang disemburkannya.
Langkah Fathan terhenti di pagar, bersamaan ketika ojek yang dipanggil Pien datang. Gadis berambut sebahu itu segera naik dan meninggalkan Fathan dan mamanya yang masih terpaku di pintu pagar. *

* Padang, 5 Ramadhan 2006 (9 Oktober 2005)


[1] Bhs Minang, berarti Ngomong tak karuan dan sangat kasar.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...