28 December 2019

Menara Kembar yang Hancur di Kepala


Padang - Kuala Lumpur, Sabtu Malam, 1 April 2006
Murni terpaku di bibir jendela. Dari kamar 707 di sebelah barat menara kembar, Ia menatap warna perak terpancar dari menara kembar tertinggi di dunia, trade mark Kualalumpur. Kilauan cahaya itu mestinya mententramkan hati. Sedamai dunia anak-anak yang berlarian di lantai marmar yang mengkilat.
Tapi kedamaian itu terganggu kelap-kelip dua lampu di puncak dua manara dan enam cahaya di setiap menara. Murni terganggung lampu yang berkalap-kelip. Ketika sinarnya mati, Murni tersenyum. Tak ada lagi persoalan yang dicemaskannya. Ketika bersinar, Murni pun tersentak. Ada pancaran kecemasan dari wajah bersihnya. Ketika lampu itu mati, ia kembali tersenyum. Ketika kembali bersinar, Ia kembali cemas. Begitu terus. Berulang dan berulang.
Kelap-kelip cahaya itu dibayangkannya seperti orang-orang yang mentertawai dirinya. Semakin sering kelap-kelip itu, semakin banyak orang kampung yang menertawainya. Murni panik. Ditutupnya krai. Murni beranjak dari jendela. Baru tiga langkah, Murni berbalik. Kembali ke arah jendela. Dibukanya lagi krai yang barusan ditutup. Hatinya tetap ke menara kembar.
Ditatapnya menara kembar itu terus-menerus. Tanpa henti. Perasaannya makin tak karuan. Kali ini, tak hanya kelap-kelip tujuh cahaya di setiap menara itu yang mengganggunya. Murni melihat menara kembar itu bergerak. Beringsut saling mendekat. Semakin dekat. Semakin dekat, lalu kedua menara itu bertemu, beradu. Meledak dan hancur berkeping-keping. Kepingannya jatuh di kepala Murni.

*

Jakarta, 8 Desember 2003
Aku tak mau tahu apa pun namanya. Kata orang-orang, aku menikah di bawah tangan. Bagiku, apapun namanya, tak masalah. Yang pasti, prosesi pernikahan ini sudah selesai. Aku bahagia sekali, Mas Badri menepati janjinya. Janji yang pernah diucapkannya ketika aku menyerahkan tubuhku seutuhnya kepadanya, dua tahun silam.
Ketika itu, aku pasrah saja. Sejak aku mengenal kehidupan malam, setahun sebelumnya, baru ketika itu aku menyerahkan tubuhku kepada lelaki yang mengencaniku. Aku tak tahu, magis apa yang membuat Mas Badri seolah-olah memiliki segala apa yang aku dambakan dari seorang lelaki. Padahal, pertemuanku dengannya tanpa pernah dipersiapkan.
Ketika itu, aku diminta ke kamar Anyelir. Sudah ada tamu menunggu di sana. Panggilan itu aku sahuti dengan perasaan senang, sesenang hatiku menjalani hari-hari sepanjang malam, sembari menikmati ombak Pantai Losari. Ombak yang yang lebih pantas disebut riak.
Kutemani lelaki itu sembari bersenandung. Sesekali menyuguhkan bir untuknya, atau mengganti rokoknya yang sudah terpuntung. Kusenandungkan lagu-lagu cinta sambil sesekali mengecup pipinya. Kecupan itu dibalas kecupan balik di keningku. Aku terlena. Sekali ini dalam kehidupan malamku ada yang mengecup keningku. Angganku melayang. Aku membayangkan, betapa damainya jika selalu berada di samping lelaki ini.
Ketika lelaki itu hendak pergi, entah kenapa aku menolak tips yang diberikannya. “Besok saya akan kembali,” katanya berbisik di telingaku, setelah itu kembali keningku dikecupnya.
Sesuai janjinya, lelaki itu kembali. Di mataku, Ia lelaki yang sangat sopan. Meski di kamar karaoke kami hanya berduaan, Ia tak pernah macam-macam. Berbeda dengan lelaki lain yang selama ini aku layani. Umumnya, semua meminta untuk mengakhir petualangan malam di ranjang. Biasanya saya selalu menolak ajakan itu, walau akhirnya harus menerima tips yang sangat kecil. Malahan tak jarang aku tak diberi.
Sejak pertemuan kedua, aku sangat merindukan kedatangannya. Lama sekali Ia tak datang padaku. Ada kerinduan kehadirannya, tapi aku tak tahu harus menunggu sampai kapan.


*


Makassar, 12 November 2004
“Kamu lebih kurusan dibanding dulu,” sambut seorang lelaki ketika aku masuk kamar Melati. Aku hanya menjawab dengan sembunyi sembari mengulurkan tangan. Aku bingung, siapa lelaki yang membokingku malam ini. Setiap malam bergantian lelaki yang harus aku terima dari satu kamar ke kamar lain.
“Kamu pasti lupa,” sambungnya sembari menyambut salamku. Belum sempat aku menjawab, tanganku ditarik, lalu aku merasakan kecupan di kening. Anganku terbang, melayang ke dalam buian tak bertepi.  Kecupan itu mengingatkan pada seorang lelaki yang kutemani setahun lalu.
“Mas Badri. Aku kangen,” jawabku menghilangkan kekakuan. Mencoba bermanja kepadanya. Aku yakin, lelaki ini pasti Mas Badri. Tak pernah aku mendapatkan kecupan di kening dari setiap lelaki yang aku temani.
“Aku-pun begitu, makanya aku kemari lagi,” jawabnya.
Sejak itu pula aku tahu kalau Mas Badri suka padaku. Pada caraku melayaninya setahun silam. Suka pada sikapku yang tak mau bermain ranjang dengan setiap lelaki yang kutemani di kamar karaoke.
Sejak pertemuan itu, aku tak mau lepas lagi dari Mas Badri. Rayuanku meluluhkannya. Sejak saat itu kami selalu berkomunikasi. Aku di Makasar, sedangkan pengakuan Mas Badri, Ia di Jambi. Sekali dua bulan Ia menemuiku menikmati desahan malamku dan desahan angin di Pantai Losari setelah menikmati sup kondro.
Jika Ia tak sempat ke Makasar, justru aku yang diundangnya ke Jakarta. Mas Badri sangat sering mengundangku ke Jakarta.  Selaku anggota dewan rakyat, ada-ada saja tugas yang dijalaninya. Hampir setiap saat ia reses. Disela-sela reses itu ia mengundangkan untuk menemuinya di Jakarta.


*


Padang - Kuala Lumpur, 1 April 2006
Tak ada pilihan, aku harus meninggalkan Padang, secepatnya. Aku tak mau cibiran orang-orang kampung makin menghinaku. Aku tak kuat dengan hinaan, sekali pun selama ini aku telah terjerumus di lembah kehinaan.
Kuseret langkah menuju Garbarata Uda, di Bandara Internasional Minangkabau. Kupilih seat paling pinggir, sehingga aku bisa menoleh bebas menoleh ke luar. Menatap negeriku dari ketinggian. Kutinggalkan semuanya di negeri moyangku, negeri yang hanya bagaikan sebuah bayangan kelam di balik matahari nan bersinar garang.
Aku tak menduga, perkawinan dengan Mas Badri adalah malapetaka. Kebahagian yang kurasakan selama ini bersamanya, hanya kebahagiaan sesaat. Selama menjadi isteri Mas Badri, tak ada masalah walau kehadirannya hanya sekali dua bulan di sisiku, itu pun hanya paling lama tak lebih sepekan. Aku tak pernah mempersoalkan, sebab, aku tahu diri. Sebagai istri kedua, istri simpanan, aku tak banyak menuntut.
Sekali pun selama ini aku bergelimang dalam kehidupan malam, kemudian berpindah dari satu lelaki ke lelaki lain, semata-mata bukan karena uang. Ketika aku temukan lelaki yang aku suka, tak jarang aku menolak pemberiannya, hingga Ia ketagihan.
Mas Badri pun demikian. Ketika pertama jumpa, sebenarnya aku sangat suka. Tapi aku tak bisa menolak pemberiannya. Apalagi ketika Mas Badri menikahiku, aku seperti di awang-awang. Bagiku, keputusan Mas Badri sudah lebih dari segala-galanya. Mas Badri telah membuktikan janjinya, katanya Ia mencintaiku sepenuh hati. Tapi ia meminta pengertianku untuk tidak menceraikan istrinya. Kalau itu dilakukan, katanya, harga dirinya selaku anggota dewan rakyat akan hilang.
Mas Badri pun pernah bercerita tentang istrinya. Katanya, ia bercerita jujur tentang istri yang telah melahirkan tiga orang anaknya. Ia tak memungkiri kelebihan dan kekurangan istrinya. Kelebihan itu harus aku dapatkan, kekurangannya akan kututupi.
Aku tak pernah membayangkan kalau kepulanganku ke Padang akan menguak aibku dengan Mas Badri. Kehadiranku ke Padang tanpa pernah memberitahunya. Aku berpikir, untuk apa memberitahu Mas Badri. Jambi dan Padang cukup jauh, sehingga tak akan mungkin kami berjumpa. Lagi pula, Mas Badri pernah mewanti-wanti agar sekali-kali aku jangan ke Sumatra. Ia tak ingin istrinya tahu hubungan kami.
Dua hari lalu aku sudah berada di Padang. Ini kali pertama aku pulang ke kampung halaman meski usia hampir berkepala tiga. Selama ini aku hidup dan menetap di Semarang. Orangtuaku sudah lama menetap di sini. Kata Mama, sejak ia menikah, Papaku membawanya ke Semarang. Sejak itu beliau menetap dan berjuang menjalani kehidupan di kampung Papa.
Pada masa itu, kehidupan mereka pas-pasan, sehingga jangankan pulang ke Padang, berkirim kabar pun tak pernah. Sejak itu pula aku tumbuh dan besar di lingkungan adat dan budaya Jawa. Kehidupan yang menempaku menjadi gadis Jawa yang bertutur lemah lembut, harus santun terhadap semua orang.
Ketika kuliah di Bandung, sesekali aku menjalani kehidupan malam di Jakarta bersama teman-teman kuliah, hingga akhirnya aku mengenal kehidupan yang tak pernah aku bayangankan sebelumnya. Ketika persaingan makin berat di Jakarta, aku pindah ke Makasar karena kota ini lebih menjanjikan bagiku.
Aku ke Padang bersama Papa dan Mama. Dalam kondisi keuangan yang sudah mulai membaik, Papa dan Mama sudah lama pula ingin ke Padang. Keduanya berkeinginan agar di usianya yang sudah mulai senja, mereka ingin membawaku pulang, sehingga, ketika keduanya sudah tak ada, aku masih dapat menemukan sanak saudaraku.
Hari pertama kehadiran di Padang, aku merasa seperti sangat tersanjung. Keluarga Mama menyambut kehadiran kami dengan penuh suka cita. Dalam suka cita itu, aku melihat mata Mama bengkak. Tangis bahagia dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu. Bahagia karena sudah bertemu sanak saudaranya, sedih karena ternyata sudah banyak keluarga Mama yang meninggal dunia.
Malamnya, Etek Dewi datang bersama anaknya. Meski baru mengenalnya, aku sangat suka. Kami seakan sudah berteman sejak lama. Etek yang katanya hanya tamat SMA, ternyata memiliki pengetahuan yang cukup luas. Kami selalu menyambung dalam banyak pembicaraan.
Dalam kehangatan suasana menjelang malam itu, tiba-tiba deru suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Etek[1] Dewi sangat mengenal suaranya. “Itu pasti Pak Etek[2]mu,” jelasnya padaku. Aku menyambut gembira. Aku mengikuti langkah Etek Dewi dari belakang.
Seseorang turun dari mobil. Etek Dewi menyambut mesra. Mengambil tentangan dari tangan lelaki itu, kemudian diangkatnya sembari menatap ke arahku. Aku membalas dengan senyum. Tapi, tiba-tiba senyumku tertahan ketika menatap sosok yang berjalan di samping Etek Dewi. Sosok itu sangat aku kenal.

*
Kuala Lumpur, Minggu pagi, 2 April 2006
Aku tersentak. Ada suara keras di depan pintu kamar. Belum sempat aku membukanya, pintu sudah sudah terkuat. Sejumlah orang menerobos kamarku. Dua orang aku kenali berseragam hotel, seragam yang mengantarkanku ke kamar 707, kemarin. Tiga orang lainnya berseragam Polisi Diraja Malaysia.
“Kenapa kalian menerobos ke kamarku tanpa izin?” tanyaku emosi. Baru kali ini aku mendapatkan petugas hotel dan polisi yang tak bersahabat.
Tanyaku tak dijawab. Dua orang berseragam hotel terpaku di pintu masuk. Tiga orang berseragam polisi bergerak lincah, memperiksa setiap ruangan di kamarku. Kuulangi pertanyaan tadi, tak seorangpun yang menjawab.
Dua orang berseragam polisi menuju jendela. Keduanya seperti mencari sesuatu. Aku tak tahu apa yang dilakukannya. Kutanya sekali lagi, tetapi tetap tak dijawab.
Aku tersinggung. Sudahlah mereka masuk tanpa izin, tanyaku pun tak dijawabnya. Aku marah, kutarik bahu salah seorang petugas berseragam polisi dari belakang, “tolong jawab tanyaku, kenapa kalian di sini?” teriakku.
Kemarahanku pun memuncak, sebab tanyaku masih tak dijawab. Kumaki mereka sejadi-jadinya. Mereka tetap tak bereaksi. Tak lama kemudian, ketiga polisi itu mengemasi travel bag yang aku letakkan di lemari sebelah kiri pintu masuk, atau persis di depan pintu ke kamar mandi. Travel bag yang berisi perlengkapanku selama diperjalanan itu dibawanya keluar. Emosiku semakin memuncak. Kukejar mereka keluar kamar. Sekali lagi, aku tetap tak dihiraukan.
Di lorong hotel, langkahku tertahan. Mas Badri melangkah ke arahku. Tangannya seperti memegang sesuatu di selangkangannya. Kuperhatikan dengan seksama. Wajahnya meringis, seperti menahan sakit. Semakin dekat, semakin jelas roman wajahnya. Mas Badri kesakitan. Celana putih yang dipakainya bercampur darah. Bajunya pun demikian. Aku tuntun langkahnya ke kamar.
“Kenapa, Mas?” tanyaku.
“Burungku dipotong istriku,” jawabnya. Aku terkejut. Tega benar! Keherananku semakin memuncak, kenapa Mas Badri sampai ke sini? Dimana Etek Dewi? Kemudian aku berpikir, itu bukan hal utama. Ketika aku bermaksud meminta bantuan petugas hotel untuk mencari dokter, Mas Badri menolak.
“Tak usah. Sudah terlambat,” katanya lalu bergerak ke arah jendela yang terbuka. “Lihatlah di sana, ke bawah,” pintanya padaku. Aku ikuti permintaanya sembari bergerak ke arah jendela. Aku menoleh ke luar.
Di bawah, orang ramai berkerumun. Ada sesosok tubuh tergeletak di lantai dasar. Dari atas, terlihat jelas darah membasahi lantai. Orang-orang makin ramai berkerumun. Tubuh itu belum diangkat. Aku perhatikan dari kejauhan suasana keramaian dan kesibukan di bawah.
Mas Badri menuntun langkahku mendekati sosok yang tergeletak. Aku terkejut ketika memperhatikan wajah sosok mayat itu adalah sosok Murni. Diriku!***

Makasar, 8-12-2005,
Padang-Kuala Lumpur-Padang, 31 Maret – 2 April 2006


[1] Adik perempuan ibu.
[2] Suami dari etek.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...