13 June 2013

Ujian Penghabisan



Oleh: Firdaus


Besok, anak-anak Sekolah Dasar (SD) memulai pertarungan. Mereka akan menjalani Ujian Nasional (UN). Tak ada yang baru, sebab setiap tahun peristiwa ini akan terus berulang. Tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional dilaksanakan sebagai penentu lulus atau tidaknya seorang pelajar.
Kini namanya Ujian Nasional (UN). Sebelum bernama Ujian Nasional, namanya Ujian Akhir Nasional (UAN). Namanya saja yang diganti. Sebelumnya lagi, bernama  Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Sebelumnya lagi, Evaluasi Belajar Tahan Akhir (Ebta).  Jauh sebelumnya, sebutan yang sangat populer di tengah-tengah masyarakat untuk ujian ini adalah Ujian Penghabisan.

Ya, Ujian Penghabisan. Sebuah penentuan kelanjutan nasib para pelajar untuk menapak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Lalu, apa beda  Ujian Penghabisan hingga secara bertahap berganti nama menjadi Ujian Nasional? Secara substansi,  tak banyak berbeda, hanya “entertainment”-nya yang seakan dikondisikan.
Substansi dimaksud, perihal lulus atau tidaknya seorang siswa ditentukan oleh nilai pada bidang studi tertentu, yang diujiankan selama UN tersebut. Bagaimana nilai lain, seakan “tidak dianggap” jika nilai UN jeblok.  Nilai rata-rata Ujian Nasional saat ini lebih tinggi dibandingkan nilai “ujian-ujian penghabisan” terdahulu.
 Di sinilah letaknya mata pelajaran lain seakan “tidak dianggap” jika sudah berurusan dengan ujian akhir. Padahal selama pendidikan berlangsung, pelajaran lain tetap diberikan, malahan jam pelajarannya ada yang lebih panjang dibandingkan dengan bidang studi yang diujiankan.
Di sisi lain, jika dirasakan apa yang terjadi pada masa lalu dengan kondisi hari ini, seakan pada pelaksanaan kali ini, seakan UN merupakan sosok yang menakutkan, sehingga sepanjang waktu, setiap orang, terutama pelajar dan orang tuanya sangat mencemaskan keberadaan UN. Takut anak-anak mereka tidak lulus.
Kecemasan dan ketakutan juga menghinggapi “operator pendidikan” dalam hal ini Dinas Pendidikan di berbagai daerah. Kecemasan mereka, jika banyak anak didik mereka tak lulus, seakan nasib mereka sudah berada di ujung tanduk. Begitu pun jika nilai anak didiknya kalah bersaing dengan sekolah lain. Apalagi jika label Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) sudah melekat di belakang nama sekolahnya, maka, “kiamat”-lah mereka.
Saya teringat seorang kawan ketika akan menghadapi Ebtanas dulu. Esok pagi ia harus menjalani Ebtanas, sementara malamnya dia masih melaksanakan ronda malam, menggantikan orang yang seharusnya ronda. Jika ia tak menggantikan orang, maka, ia tidak akan memiliki uang untuk ongkos pergi ujian besok. Seminggu Ebtanas, ia harus menjalani tiga malam menerima upah ronda.
Tidak cemaskah ia tidak akan lulus? Yang pasti, kecemasan itu tetap ada. Orang tuanya juga cemas kalau anaknya tak lulus. Hanya saja, ia menjalani semuanya dengan tenang, tidak panik, lingkungannya ---termasuk guru dan pihak sekolah--- juga berupaya untuk menghadirkan kedamaian dan ketenangan di lingkungannya.
Kenyataan hari ini, seakan berbeda.  Sejumlah sekolah dan berbagai kalangan pendidikan seakan berupaya “mengkondisikan” betapa menakutkannya UN. Malahan di sejumlah sekolah sengaja melaksanakan acara tertentu yang kemudian semakin menambah kecemasan para siswa. Awalnya memang dimaksudkan agar para pelajar tetap ingat pada Allah. Tak ada yang salah dari maksud acaranya, namun kemudian kemasannya seakan menjadi lain. Para pelajar semakin panik dan takut. Tak jarang acara tersebut berujung bertangis-tangisan.
Stadar nilai rata-rata yang diberlakukan, dinilai menjadi penyebab utama ketakutan, kecemasan yang menghantui dunia pendidikan. Standar nilai rata-rata yang diberlakuka di Indonesia, berbanding terbalik dengan rata-rata standar kualitas dan fasilitas pendidikan yang ada di negeri ini.
Tak usahlah membandingkan kualitas dan fasilitas pendidikan di Pulau Jawa dengan Papua, misalnya. Takaran di Sumbar saja, tetaplah timpang. Jangankan membandingkan fasilitas pendidikan di kawasan Padang Barat (Kota Padang) dengan Linggo Sari Baganti (Pesisir Selatan), sesama sekolah di Padang Barat saja, masih saja ada perbedaan yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Fasilitas dimaksud, di antaranya; ketersediaan alat peraga dan buku-buku pendukung, guru, bangunan sekolah atau ruang belajar dan sebagainya.
Tiba-tiba saya teringat pesan bijak orang bijak; apa yang kita pikirkan, itulah jadinya. Artinya, jika “operator pendidikan” dan lingkungannya sudah panik, anak-anak pun panik, maka dapat dipastikan; hasilnya adalah sebuah kepanikan. Pendidikan yang panik.
Duh, panik….! Eh, jangan panik menghadapi Ujian Penghabisan! []



 CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, rubrik KOPI MINGGU, edisi Minggu 6 Mei 2012

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...