03 June 2013

Lelaki Berkalung Karet Hitam


Cerpen: Firdaus Abie

Lelaki berkalung karet hitam itu terus melangkah. Ia tak hiraukan dering di telpon genggamnya. Dari bunyi dering, ia  tahu kalau itu panggilan masuk dari  isterinya.
“Ada panggilan tuh, mas,” sela wanita paruh baya di sampingnya.
“Biarkan saja. Paling juga dari kantor,” katanya enteng.
Lelaki berkalung karet hitam itu terus melangkah,  wanita paruh baya di sampingnya  menguntit langkah lelaki itu  tergesa-gesa. Keduanya melangkah menuju arah yang sama, titik yang sama.
“Seperti biasa, om?” tanya seorang lelaki lebih muda, menyambut kehadiran lelaki berkalung karet hitam dan wanita paruh baya. Lelaki itu hanya menjawab dengan anggukan, kemudian terus melangkah menuju ruangan yang disebutnya.
“Tapi, om..” jawab lelaki yang tadi bertanya.

Lelaki berkalung karet hitam tak menghiraukan. Lelaki yang lebih muda itu bergegas menyongsong Lelaki berkalung karet hitam itu. Langkahnya dihentikan, “tempat itu sedang berisi, om” jawabnya.
“Itu kan tempat biasa saya, kenapa dibiarkan orang di sana?” tanyanya.
“Habis, om tak memboking sebelumnya,” kata lelaki muda itu.
Lelaki berkalung karet hitam itu terdiam.
“Di sebelahnya aja. Kalau nanti tamunya pergi, saya pindah ke sana,” pintanya.
Lelaki yang lebih muda itu mengangguk, lalu bergegas menuju tempat yang dimaksud lelaki berkalung karet hitam. Lelaki berkalung karet hitam mengikuti dari belakang, begitu juga wanita paruh baya yang sejak tadi tak melepaskan gantungan tanganya di lengan lelaki berkalung karet hitam itu.
Sesampai di ruangan, lelaki berkalung karet hitam dan wanita paruh baya tak hanya sekadar menikmati alunan musik sembari mendendangkan bersama. Keduanya larut dalam kedamaian insan yang dimabuk asmara, menepiskan dinginya ac dengan pagutan cinta.
*
Dua jam bercinta dalam ruangan karaoke, sudah cukup bagi lelaki berkalung karet hitam itu untuk melepaskan gundah hatinya. Selepas merapikan diri, ia pun hendak meninggalkan ruangan karaoke yang ditempati.
Lelaki muda yang tadi menyambutnya di pintu masuk, kini menyambutnya di pintu keluar sembari membukakan pintu. Saat pintu terbuka, sekelebat lelaki berkalung karet hitam itu menghirup aroma yang sangat dikenalinya.
Aroma itu, dipastikannya dari wanita yang berada di kamar sebelah, yang keluar beberapa detik lebih awal darinya. Ia menyaksikan kalau wanita itu sedang menggantungkan tangannya pada lelaki di sebelahnya, persis dengan wanita paruh baya di sebelah dirinya.
Aroma yang ditinggalkan wanita itu, setiap hari dirasakannya. Sering dicumbuinya. Setiap malam dipeluknya, sampai ia terlelap dalam kelelahan.
Ia menerawang, pemilik aroma itu, dikenalnya ketika ia memimpin  Ospek. Wanita itu masih sangat polos untuk ukuran sesamanya. Feminim dan berpenampilan sederhana. Perkenalan berlanjut pada pertemanan, pacaran dan kemudian sepakat untuk ke pelaminan, naik ranjang dan kemudian telah dikarunia dua orang anak.
Dua hal yang tidak berubah dari wanita itu; kesederhanaan dan aroma parfumnya. Sedangkan lelaki berkalung karet hitam, yang tidak berubah dari dirinya adalah kalung karet hitamnya. Tetap melingkar di lehernya, “sampai aku mati,” katanya berulang kali.
Baginya kalung itu sangat penting dalam hidupnya; pemberian sang ayah, disaat detik-detik menjelang kepergiannya, untuk selamanya.
Lelaki berkalung karet hitam itu menerawang, jangan-jangan wanita di depannya itu adalah wanita yang telah melahirkan dua pria untuknya. Pikiran itu kemudian ditepis sendiri, sebab ia tahu benar lenggok wanita yang telah dua puluh dua  tahun bersamanya. Wanitanya tidak secentil yang memunggunginya saat ini. Tidak juga seperti lenggok yang ditatapnya dari belakang.
*
Lelaki berkalung karet hitam menatap dalam-dalam. Istrinya terlelap dalam diam, hanya sekali-sekali mengerang, mungkin sedang mimpi buruk. Setelah itu diam, tertidur pulas,  sekali-sekali selimutnya terlepas.
Ia tak bisa tidur. Baju yang tergantung di kamar mandi, mengingatkannya pada kejadian siang tadi. Baju yang dipakai wanita beraroma yang sangat dikenalnya. Ditepis pikiran buruknya, wanitanya tidak seburuk dirinya. Setahun terakhir, ia sudah jarang seranjang dengan istrinya. Menggauli wanita itu juga ala kadarnya, sekadar menghilangkan kecurigaan sang istri.
Hatinya kini terpikat pada seorang wanita paruh baya, lebih tua darinya. Wanita itu, kakak kelasnya di SMA. Selepas SMA, ia dinikahi duda kaya bak cerita Siti Nurbaya. Dari pernikahannya, ia memiliki anak tiga. Ketika wanita itu sedang menikmati hari-harinya, suaminya sudah berpaling pula kepada perempuan lain.
Mulanya, lelaki berkalung karet hitam hanya sekadar ingin menemani  kakak kelasnya. Hanya ingin mendengarkan keluh-kesah seorang wanita yang  ditinggalkan suami dengan status digantung. Ia sudah minta diceraikan, namun suaminya tak mau walau  hatinya  terpaut pada perempuan lain.
Perempuan lain itu, sebenarnya bukanlah orang lain bagi kakak kelas lelaki berkalung karet hitam. Ia teman sepermainan sejak kecil, namun ketika menginjak remaja tak pernah lagi berjumpa. Wanita paruh baya itu tahu kalau suaminya berpaling kepada temannya tersebut, ketika suaminya berterus terang dan memperlihatkan foto calon istrinya barunya.
Keluh-kesah  berlanjut. Pertemuan demi perjumpaan  sering dilakukan. Simpati lelaki berkalung karet hitam pada kakak kelasnya semakin menggumpal. Simpati, kasihan dan kemudian berlanjut pada rasa yang lebih sempurna; jatuh cinta!
Gayung pun bersambut. Cinta lelaki berkalung karet hitam disambut  istri duda kaya. Keduanya menjalani hari-hari secara sembunyi. Pertemuan yang semula di karaoke, kamar hotel, kemudian berpindah ke rumah baru keduanya yang dibeli kakak kelas lelaki berkalung karet hitam. Keduanya hidup serumah tanpa ikatan.
*
Lelaki berkalung karet hitam tertegun. Aroma yang melintas di hidungnya, sangat ia kenal. Aroma itu datang dari dalam, ketika pintu ruangan karaoke terbuka bersamaan masuknya seorang waiters membawa makanan dan minuman.
“Bersama keluarga?” tanya Denti, wanita paruh baya yang juga kakak kelas lelaki berkalung karet hitam, kepada lelaki yang di room seberangnya,  ketika lelaki itu membuka pintu ruangan karaokenya.
Lelaki itu menggeleng.
“Saya sudah menceraikannya,” katanya datar, “perkawinan kami  hancur ketika seorang lelaki tua, seusia bapaknya, merasukinya  dengan harta berlimpah,” katanya datar.
“Yang di dalam, calon istri barumu?” tanya Denti.
Yang ditanya mengangguk. Ia menceritakan, dirinya dan wanita itu hampir senasib. Jika istrinya pergi karena tergoda harta lelaki tua, suami dari wanita yang dibawanya, yang kini berada di dalam ruangan karaoke itu, justru tergoda wanita paruh baya yang kaya.
Seketika jantung lelaki berkalung karet hitam bergemuruh kencang. Nafasnya berlarian tak teratur. Aroma yang sangat dikenal menyeruak hidungnya ketika lelaki teman wanita paruh baya membuka kamar karaokenya. Aroma itu datang dari dalam. Lelaki itu memanggil wanita yang sedang bernyanyi.
Langkah wanita itu sangat pasti. Langkahnya menyeret aroma yang sangat dikenalnya. Aroma yang sangat dikenalnya itu dibawa wanita yang selama ini menjadi istri dari dua orang anak yang mereka buahi.[]

Rumah Baru - Kapehpanji, 26 Juni 2012

CATATAN:
Cerpen ini dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 29 Juni 2012

3 comments:

Octora said...

nice,,, krisis moral yang sudah menjadi kebanggaan... selingkuh, living together etc.., lebih membanggakan dari pada ibadah atau amalan. god job!

Agung Ngurah said...

Mensyukuri apa yang sudah pernah dimiliki lebih baik dari berharap sesuatu yang tak mungkin dapat diraih. Dalammm banget

Firdaus Abie said...

Benar, Octora. Saat ini, tampaknya krisis moral seakan sudah menjadi kebangaan. Hm...

Putri Busana, sesuai. Mestinya harus disyukuri apa yang sudah dimiliki.

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...