13 June 2013

TdS Milik Siapa?


Oleh: Firdaus



Sepekan belakangan, masyarakat Sumbar mendapat “hiburan” tahunan; Tour de Singkarak  (TdS) 2012. Kata hiburan sengaja saya masukkan di antara dua tanda petik? Alasannya,  ajng  yang seharusnya menjadi hiburan, ternyata belum mampu menghibur masyarakat luas secara utuh. Yang terhibur,  baru sebatas pejabat di negeri ini. Hop!
Ini kali ke empat pelaksanaan TdS. Sejauh ini, dari realita di lapangan, belum banyak umpan balik yang dirasakan masyarakat, selain terkurung karena perjalanan mereka di jalan raya harus dihentikan, dua hingga empat jam.

Kondisi itu bertolak belakang dengan kesibukan aparatur pemerintah,  pemegang otoritas dari hajatan ini. Kesibukan mereka berbanding lurus dengan dana yang dialokasikan khusus untuk TdS dan ikutannya, namun belum memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.
Niatnya, pelaksanaan TdS dimaksudkan untuk promosi Sumatra Barat ke dunia luar. Kehadiran balap sepeda tahunan ini, merupakan kejuaraan balap sepeda terbesar di Indonesia. Sasaran akhirnya, bisa menyamai Tour de France, atau setidaknya bisa mengalahkan Tour de Langkawi, Malaysia.
Dari keikutsertaan pebalap, para pebalap Sumbar baru bisa sekadar berpartisipasi, itu pun tak mampu menaklukkan medan laga di negeri sendiri. Menariknya, kemampuan pebalap dari daerah (Pesisir Selatan) justru mampu mengalahkan pebalap yang “dikelola” Pengprov ISSI Sumbar, ditandai dengan lebih dahulunya berguguran para pebalap ISSI Sumbar daripada pebalap asal Pesisir Selatan. Inikah jawaban dari kekisruhan Pengprov ISSI Sumbar selama ini?
Kekisruhan di tubuh Pengprov ISSI Sumbar tersebut, sebenarnya sudah berlangsung lama. Sejauh itu pula, tak pernah ada penyelesaian secara jelas. Sejumlah Pengcab ISSI di Sumbar sudah pernah menyampaikan mosi tak percaya terhadap kepengurusan Pengprov ISSI Sumbar.
Ketidakberasan itu pula yang kemudian memaksa KONI Prov Sumbar mengambil alih seleksi para pebalap yang akan berlaga. Itu pun sudah menjelang hajatan berlangsung. Kontingen yang dipersiapkan ala kadarnya, tentu juga mendapatkan hasil ala kadarnya. Gugur sebelum kayuhan sampai di garis finis.
Di sisi lain, harapan bahwa TdS akan membawa pengaruh signifikan terhadap perekonomian rakyat, sejauh ini belum tampak secara jelas.  Bagi masyarakat, apa pun namanya, apa pun iven yang diadakan, roda kehidupan mereka tetap berjalan. Ada atau tidak iven tersebut, masyarakat tetap saja butuh sandang, pangan dan papan, yang semakin hari kian sulit didapatkan.
Lalu apa yang didapatkan masyarakat dari TdS ini selain kemacetan? Adakah mampu mendongkrak perekonomian mereka, atau masyarakat hanya masih menjadi penonton di negeri mereka sendiri?
Kalau pun ada perbaikan, yang  mencolok  baru sebatas adanya iven di berbagai daerah. Sudah ada kesadaran daerah untuk memanfaatkan momentum hajatan tersebut, misalnya Pacu Itiak di Payakumbuah, Festival Siti Nurbaya di Padang, Festival Langkisau di Painan.
Lalu, cukupkah sampai di sana? Tentu tidak. Ke depan, agaknya perlu langkah-langkah konkrit yang lebih terintegrasi, sehingga hajatan ini tak lagi sekadar milik pejabat daerah atau panitia saja, tetapi efek dominonya dirasakan masyarakat Sumbar pada umumnya. []

 CATATAN:
Tulisan ini dimuat di Padang Ekspres pada rubrik KOPI Minggu, edisi Minggu 10 Juni 2013

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...