28 March 2016

Bakalibuik hanya Saat Banjir Saja…


* Hari Ini, Sepekan Setelah Banjir Bandang di Kota Padang


Sore datang menjelang. Jalan masuk ke komplek tampak kotor. Berlumpur. Jalanan beraspal sudah berwarna kuning. Seorang ibu muda terlihat bergerak sigap membagikan bungkusan dari kantong kresek biru di tangannya.

“Makan siang dulu…,” katanya, padahal ketika itu, waktu sudah menunjukkan lewat pukul tiga siang. Sudah menjelang sore.
Ia tak bermaksud bercanda, menawarkan makan siang disaat sore menjelang. Ia tahu, warga di lingkungan tempat tinggalnya, saat itu, belum makan. Sarapan pagi pun entah ada entah tidak. 
 Sekitar 18 jam sebelumnya, Senin (21/3) sekitar pukul 21.00 WIB, hujan membasuh wajah kota Padang. Air diguyurkan dari langit, sangat lebat. Sekejap saja, air mulai tergenang dimana-mana. Sejumlah ruas jalan digenangi air. Puluhan komplek perumahan dan kawasan padat penduduk dikepung air.
Air di jalan komplek tempat saya menetap sejak dua hari sebelum gempa dan tsunami di Aceh, diperkirakan mencapai dua meter lebih. Komplek perumahan itu bernama Komplek Lubuk Intan, di Kelurahan Lubuakbuayo, Kecamatan Kototangah, Padang.
DI komplek ini ada sekitar 320 unit rumah. Rumah sebanyak itu dibangun dalam tiga tahap pembangunan. Saya menempati komplek tahap I.  Air mulai masuk rumah warga  sejak pukul 23.00 WIB.  Aliran sungai yang berliku di bagian belakang komplek itu membuat aliran air bergerak sangat cepat mengepung. Sejumlah warga masih sempat mengevakuasi  kendaraannya persis di stasiun kereta api Lubukbuaya.
Ketika mereka hendak kembali ke rumah, sebagian besar sudah terjebak karena kedalaman air sudah tinggi dan arus air sudah sangat deras. Dua orang warga sempat terseret arus beberapa meter, namun selamat karena mereka dapat menggapai pagar rumah.
Puncak air terdalam terjadi menjelang pukul tiga, selasa dinihari. Saat itu, tak satu pun rumah di komplek tersebut yang tidak dimasuki air. Belasan kendaraan yang dievakuasi dan di parkir warga di gerbang komplek, tepatnya di belakang stasiun kereta api Lubuakbuayo, juga tak luput dari terjangan air.
Air masuk ke dalam mobil dan merendam badan mobil serta mesinnya. Puluhan sepeda motor hilang tenggelam dalam banjir, termasuk mobil dan sepeda motor  yang selama ini jadi penyambung kaki untuk beraktivitas. Kata orang bengkel, harus bongkar mesin. Hop..! (saya pun penepuk kening..)
Di dalam rumah warga, kedalaman air bervariasi. Terendah sepaha, lainnya di atas paha. Ada yang terpaksa harus mengungsi karena air sudah mencapai dada di dalam rumahnya. Ketika air surut, diukurnya air yang masuk. Garis bekas air yang membekas di dinding rumahnya menunjukkan kedalaman air “menenggelamkan” keluarga penghuni rumah tersebut.
Warga komplek menilai, banjir yang datang sangat buruk. Ukurannya, semua rumah di komplek sudah terendam.  Saya mendukung kesimpulan warga. Selama ini, pernah hujan lebat selama dua hari dua malam, namun genangan air hanya di jalan komplek saja.
Kalau pun pernah ada banjir, namun tak pernah masuk rumah saya. Hanya sampai teras.  Pembanding lainnya, rel di stasiun kerata api Lubuakbuayo. Konon rel itu tak pernah disentuh banjir, namun kejadian malam itu, air sudah menenggelamkannya. 
Banjir yang melanda komplekku, ternyata tak seberapa jika dibandingkan kejadian di kawasan lain. Seorang senior saya mengabarkan, di kediamannya air hanya sejengkal. Maksudnya, sejengkal lagi mencapai plafon rumahnya. Oh..!
Kecamatan Kototangah, Padang, merupakan daerah terparah diserang banjir. Banjir dimana-mana, termasuk di seputaran Balaikota Padang. Apa mau dikata lagi, pusat pemerintahan (dipidangkan dari wilayah Padang Barat ke Kototangah, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2011 tentang Pemindahan Pusat Pemerintahan Kota Padang dari wilayah Kecamatan Padang Barat ke wilayah Kecamatan Kototangah) itu benar yang sudah direndam banjir.
Setelah air surut, persoalan belum selesai. Warga bermasalah dengan air bersih. PDAM menghadapi persoalan. Data dari Kabag Umum PDAM Padang Alfitra SE, empat  lokasi Instalasi Pengolahan Air (IPA),  di Latuang, Lubukminturun, berkapasitas produksi 290 liter per detik mati total. Penyebabnya pipa air baku dari tanah taban putus dihantam longsor, intake Latuang tertimbun material bebatuan besar. Latuang  memasok air untuk Kototangah,  sebagian Padang Utara, sebagian Nanggalo, sebagian Kuranji.
Kemudian IPA Guo Kuranji dengan  kapasitas 70 liter per detik,  intake rusak berat. IPA ini mendistribusikan air  kawasan Balimbiang Kuranji.  IPA  Jawa Gadut, kapasitas 40 liter per detik juga intake rusak berat, padahal IPA ini  mengalir untuk Limau Manih Pauah  dan sekitarnya.  IPA Lubuakparaku  sempat terhenti akibat air baku  berlumpur.  Keempat IPA itu melayani 35 ribu pelanggan. Air bersih hanya bisa didistribusikan dengan empat unit mobil tangki. Beroperasi siang malam.
Ratusan relawan terjun mendistribusikan bantuan. Makanan ringan, nasi, pakaian, air bersih dan berbagai kebutuhan lain, dibagikan kepada masyarakat yang memerlukan. Kedatangan bantuan tersebut, tidak serta merta menyelesaikan persoalan.
Ketidaksabaran menghadapi situasi sulit, berbeda dari keseharian hidup mereka, membuat sebagian besar korban banyak cepat terpancing. Adrenalin mudah terpancing. Sikap egois langsung terlihat. Sejumlah relawan mengaku, kehadiran mereka mendistribusikan bantuan tak jarang disambut umpatan, makian dan kekesalan korban banjir. Keinginan mereka, bantuan segera datang sesuai keinginan, namun proses di lapangan tak semudah yang mereka inginkan.
Hari ini, sepekan sudah banjir besar di Padang, berlalu. Setelah itu, sepekan, dua pekan, sebulan, dua bulan ke depan, peristiwa banjir ini akan “hilang” dalam memori. Pemerintah yang tak bisa berbuat banyak selama penangganan korban banjir, juga akan melupakan. Aktivitas kembali berjalan sesuai putaran rodanya. Situasi akan bakalibuik (sibuk yang luar biasa) kembali kalau hal serupa datang lagi. Berbagai teori untuk antisipasi banjir muncul lagi.
Masalah yang terjadi, menurut cara berpikir induktif, yakni menarik kesimpulan umum dari berbagai kejadian dan data yang ada di sekitarnya, didasarkan pada pengamatan, persoalan banjir  disebabkan banyak faktor.
Faktor itu, di antaranya; saluran (drainase) di kiri kanan jalan  sudah tertutup trotoar, dan jalan masuk ke rumah atau ruko, sehingga air tergenang di sepanjang jalan. Pembangunan komplek perumahan yang diduga di kawasan yang sebelumnya tempat tumpahan air, disebabkan harga tanah yang murah dan (mungkin) didukung pula oleh proses izin yang mudah plus tanpa pengawasan.
Dibutuhkan dukungan nyata pemerintah kota, provinsi atau pun pusat kepada PDAM, sehingga perusahaan daerah pemasok air bersih bagi rakyat tersebut tak mengalami persoalan nyaris serupa setiap hujan mau pun banjir. (firdaus)

CATATAN:
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar dan Padang Ekspres, edisi Senin 28 Maret 2016


No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...