26 January 2016

Setelah Final?



Oleh: Firdaus


Demam Piala Jenderal Sudirman melanda Sumbar. Pemantiknya sudah jelas. Semen Padang, Nil Maizar dan Jafri Sastra. Kalau pun mereka bertarung di laga berkelas turnamen, namun eforia pecinta sepakbola di Sumbar seakan tak peduli dengan “kasta”  turnamen tersebut.
Harus diakui, kelas juara Piala Jenderal Sudirman tentu tidak sebanding dengan gelar juara Piala Liga, 1992,  yang kemudian mengantarkan Semen Padang ke Piala Winners Asia. Lolos ke putaran kedua setelah mengalahkan wakil Vietnam, Banghabadhu. Mengalahkan Yokohama Marinos, Jepang, di Padang,  2-1, lalu dihajar tim negeri Sakura tersebut 11 go tanpa balas.
Juga, tak selevel jika disandingkan dengan kelas kompetisi Liga Indonesia 2002, sekali pun ketika itu perjuangan Kabau Sirah,  dihentikan di semifinal oleh Petrokimia Putra. Sejak saat itu hingga berakhirnya kompetisi 2010, Semen Padang tak pernah lagi masuk tiga besar, malahan tim yang dibentuk 1980 dan menjuarai Divisi I Galatama 1982 sehingga berhak ke Divisi Utama Galatama, mengalami nasib buruk tahun 2008. Terdepak dari kompetisi utama Liga Indonesia. Butuh dua musim kompetisi bagi Semen Padang untuk kembali ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Sejak kembali, prestasi Semen Padang lebih membaik dibandingkan masa-masa sebelumnya. Dimusim pertama kembali ke Liga Super, menduduki posisi ke empat. Tahun berikutnya, tampil sebagai juara Liga Prima, runners up pada Piala Indonesia dan juara  Community Shield 2013 usai mengalahkan Persibo Bojonegoro dengan skor telak 4-1. Community Shield 2013 merupakan ajang  yang  mengawali dimulainya kompetisi Indonesian Premier League (IPL) kala itu. Sebagai juara IPL  2012, Semen Padang FC berhak tampil di Piala AFC 2013. Tim kebanggaan urang awak ini terhenti di delapan besar oleh  East Bengal FC dari India.
Gelar juara Piala Jenderal Sudirman tak bisa mengantarkan sang juara berlaga di level Asia, sebab saat ini, Indonesia masih dalam status terhukum oleh FIFA. Kalau pun sudah ada jalan tengah yang ditawarkan otoritas tertinggi sepakbola dunia itu, namun belum tampak tanda-tanda “pertikaian” yang terjadi akan segera berakhir. “Otoritas” sepakbola saat ini, justru akan terus menggelar ivent-ivent dalam bentuk turnamen. Belum mengarah pada kompetisi. Selepas Piala Jenderal Sudirman, akan diputar lagi Piala Presiden, dimana pada gelaran pertama, Semen Padang absen.
Dalam konteks professional, bagi pemain, sekali pun bersifat turnamen, namun tetap memiliki harapan dapur mereka berasap. Bedanya, mereka tak bisa merasakan atmosfir kompetisi di tingkat yang lebih tinggi, minimal regional.
Harapan publik sepakbola Indonesia,  eforia Piala Jenderal Sudirman mampu menjadi momentum untuk memperbaiki persoalan yang membelit sepakbola Indonesia. Setidaknya, menyadarkan pemegang kebijakan, mengingatkan pemegang kendali negeri ini bahwa sesungguhnya sepakbola merupakan bahasa universal untuk bersatu dan membangun prestasi, bukan menyelesaikan masalah dengan menghadirkan masalah baru.
Begitu kuatnya sepakbola sebagai bahasa pemersatu; selain kunjungan kepala Negara, hanya laga sepakbola antar bangsa yang diawali dengan lagu kebangsaan. Hebatnya bahasa sepakbola, lihatlah sebuah klub yang dihuni pemain berbagai Negara, sekali pun mereka belum menguasai bahasa lokal, namun sangat mudah memahami instruksi yang diberikan, keinginan yang dituju. Semua menyatu untuk satu tujuan yang utuh.
Siapa pun yang juara Piala Jenderal Sudirman digelaran pertama ini, tetaplah menjadi kebanggaan Sumbar. Kedua arsitek di dua tim berbeda, berasal dari satu negeri yang sama, seperguruan dari guru yang sama. Sama-sama mengandalkan pemain muda, seperti halnya rekan seperguruan mereka; Indra Syafri.
Kini, selepas Piala Jenderal Sudirman, harapan besar lainnya yang muncul adalah; ke tiga saudara seperguruan; Nil Maizar, Jafri Sastra dan Indra Syafri, hendaknya mampu pula memunculkan pemain-pemain muda potensial dari Sumbar. Setidaknya, kelak, Semen Padang mau pun PSP Padang diisi mayoritas anak-anak Sumbar. Kalau pun kelasnya professional, jika ketersediaan pemain memadai, kenapa harus mendatangkan dari luar.
Bukan bermaksud “memaksakan” untuk bernostalgia, setidaknya, suatu saat nanti, dua tim tersebut,  seperti halnya Semen Padang dimasa 1980-an hingga awal  1990-an. Diisi anak-anak muda dari berbagai daerah di Sumbar. Mayoritas anak-anak Sumbar, bukan dari luar. *

CATATAN: Tulisan ini dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggu 24 Januari 2016.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...