07 September 2016

Full Days School


Oleh: Firdaus


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menggagas sistem  Full Day School. Sekolah sehari penuh. Gagasan itu tujukan untuk  pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta.
Gagasan itu langsung memantik respon dari berbagai kalangan. Beragam pandangan bergulir. Bermacam pendapat muncul kepermukaan. Gagasan sang menteri bagaikan bola salju yang mengelinding dari ketinggian.
Menteri yang baru hitungan hari menggantikan posisi Anis Baswedan mengungkapkan alasan. Sistem baru itu dimaksudkan agar agar anak tidak sendirian ketika orangtua mereka masih bekerja.
Sistem tersebut, katanya,  secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja. Jika anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya seusai jam kerja. Selain itu, anak-anak bisa pulang bersama-sama orangtua mereka sehingga ketika berada di rumah mereka tetap dalam pengawasan, khususnya oleh orangtua.
Untuk aktivitas lain misalnya mengaji bagi yang beragama Islam, menurut Mendikbud, pihak sekolah bisa memanggil guru mengaji atau ustaz dengan latar belakang dan rekam jejak yang sudah diketahui. Jika mengaji di luar, mereka dikhawatirkan akan diajari hal-hal yang menyimpang.

Ada sekolah yang menyikapi biasa-biasa saja, sebab anak didik mereka sudah pulang antara pukul 16.00 atau 17.00 sore. Itu artinya, tak ada persoalan. Ada juga yang menyikapi dengan keberatan lantaran mereka sudah pulang sekitar dua atau tiga jam sebelum jadwal yang diwacanakan Mendikbud.
Kendati demikian, sekali pun bola terus bergulir, namun kemungkinan besar, wacana itu akan direalisasikan juga. Pihak Kemendikbud terus melakukan sosialisasi dan akan mempersiapkan payung hukum agar wacana tersebut menjadi kenyataan.
Dari berbagai persoalan, setidaknya ada beberapa catatan yang harus disikapi, sehingga kalau pun wacana itu menjadi realita, semua persoalan sudah dipersiapkan dan diantisipasi sejak awal. Pertama; tidak semua  anak didik yang orang tuanya bekerja, sehingga tak elok digeneralisir. Atau, bagaimana dengan anak-anak yang separoh harinya masih harus berjuang untuk menolong orang tuanya? Ingat, kondisi kehidupan yang beragam menjadi persoalan bagi anak-anak yang kehidupan orang tuanya butuh keikutsertaan anak-anaknya.
Kedua; jauh sebelum wacana ini muncul, anak-anak bangsa ini sudah memiliki karakter, etika dan sebagainya sangat baik. Mereka tidak harus belajar sehari penuh. Pendidikan karakter terkuat itu, sebenarnya justru berasal dari rumah.
Keempat; bagaimana dengan  sarana dan prasarana? Belum semua sekolah memiliki sarana dan prasarana memadai, apalagi sekolah-sekolah di daerah. Banyak yang masih berantakan.  
Ketiga; sudah siapkah para guru? Saat ini saja, pengakuan sejumlah guru, sangat banyak beban tugas yang harus mereka selesai. Kewajiban jam mengajar dan pemenuhan kewajiban administrasi, sudah menguras tenaga dan pikiran mereka, apalagi jika ditambah lagi jam tugas mereka.
Kelima;  seharian di sekolah, sesampai di rumah sudah senja. Anak-anak kemudian pulang, setelah itu mereka istirahat. Esoknya, aktivitas yang sama diulang kembali. Kapan sosialisasi dan mengenal lingkungan. Pada masanya nanti, anak-anak akan tak akan pernah punya teman kecil di lingkungan tempat tinggalnya lagi. Mereka akan menjadi asing di lingkungan sendiri. *

Catatan: Tulisan ini dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu 12 Agustus 2016, pada kolom Kopi Minggu

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...