05 September 2016

Panjat Pinang



Sudahkah anda menyaksikan lomba panjat pinang di acara tujuhbelasan tahun ini? Bagi yang belum, lekaslah dicari. Saksikan dan amati secara detail. Apa yang terjadi dan bagaimana proses pelaksanaannya? Bagi yang sudah menyaksikan, bersyukurlah, lalu amati kembali prosesnya secara detail.
Kenapa saya harus mengajak anda menyaksikan dan atau mengamati kembali proses panjat pinang tersebut secara detail? Sebenarnya, tak penting-penting benar, namun ajakan ini lebih saya maksudkan agar kita tak salah lagi memberikan makna dari analogi panjat pinang.
Selama ini, dalam kehidupan sehari-hari, analogi panjat pinang selalu dijadikan contoh buruk terhadap sebuah proses. Panjat pinang “dituduh” sebagai kegiatan jelek. Dianggap sebagai sebuah pekerjaan mubazir dan sama-sama berprilaku buruk. Menginjak teman untuk sebuah tujuan, atau mereka yang berada di posisi bawah berupaya merenggut orang yang ada di atas, sehingga ia terjerembab jatuh.
Belakangan, sebagian besar orang menyebutkan, orang-orang Minang dianggap tak bisa lagi bekerjasama. Orang-orang di ranah ini dianggap tak lagi mementingkan kebersamaan. Agar bisa sampai ke puncak, maka rela menginjak saudara sendiri. Agar bisa sampai ke puncak, orang yang sudah berada di atas direnggut ke bawah.
Ah, tuduhan yang sadis. Analoginya pun keliru!
Kenapa analoginya keliru? Saksikan panjat pinang tujuhbelasan. Jika tidak, saya takut, kita akan berdebat pada ruang dan sudut pandang berbeda. Perbedaan itu tidak akan sampai pada titik temu yang konkrit.
Perayaan tujuhbelasan tahun ini, saya dua kali menyaksikan lomba panjat pinang. Saya perhatikan secara seksama. Sebuah batang pinang sudah dilumuri oli dan gomok. Puluhan hadiah sudah dipajang di puncaknya.
Hakikat dari panjat pinang ini, sudah jelas. Berusaha semaksimalnya untuk dapat mencapai hasil gemilang. Lalu, pertanyaan sederhana; bisakah menjadi pemenang hingga ke puncak jika tidak disertai dengan kerjasama tim? Nah.., di sini titik awalnya!
Menurut Wikipedia, prosesi  panjat pinang ini memang populer di Fujian, Guangdong dan Taiwan berkaitan dengan perayaan festival hantu. Ini dapat dimengerti dari kondisi geografis dikawasan itu yang beriklim sub-tropis, yang masih memungkinkan pinang atau kelapa tumbuh dan hidup. Perayaan ini tercatat pertama kali pada masa Dinasti Ming. Lumrah disebut sebagai qiang-gu. Namun pada masa Dinasti Qing, permainan panjat pinang ini pernah dilarang pemerintah karena sering timbul korban jiwa. Sewaktu Taiwan berada di bawah pendudukan Jepang, panjat pinang mulai dipraktikkan lagi di beberapa tempat di Taiwan berkaitan dengan perayaan festival hantu. Panjat pinang masih dijadikan satu permainan tradisi di berbagai lokasi di Taiwan. Tata cara permainan lebih kurang sama, dilakukan beregu, dengan banyak hadiah digantungkan di atas.
Agar ada anggota tim yang sampai ke atas, prosesi awal ditandai dengan musyawarah untuk menentukan strategi menyelesaikan pertandingan. Di antara kesepakatan yang diputuskan, siapa yang akan menjadi pondasi, berada di posisi paling bawah, kemudian siapa seterusnya dan siapa yang naik terakhir untuk seterusnya memanjat sampai puncak.
Ada yang mengatakan, demi mencapai puncak maka seseorang seenaknya menginjak bahu, badan dan mungkin mengenai kepala teman sendiri. Jika diamati secara detail dari awal hingga usai, sesungguhnya justru bertolak belakang dengan realita sebenarnya. Konteknya bukan seenaknya menginjak teman, tetapi sebaliknya justru temanlah yang memberikan kesempatan kepada rekannya agar ia sampai ke puncak.
Muara dari perjuangan dan kesempatan yang diberikan, semua hadiah yang didapat, dibagi oleh tim yang mendapatkannya. Ada dua cara untuk membaginya; pertama dibagi rata. Kedua, pondasi (orang yang berada di bawah) mendapatkan bagian lebih besar dari yang lain. *

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...