20 March 2016

Apalah yang Terjadi?






Oleh: Firdaus

Semakin gencar Satpol PP melakukan razia, penggerebekan, semakin banyak juga yang tertangkap. Setiap hari razia, selalu saja membawa “hasil tangkapan” ke markas komando.
Mereka yang ditangkap berasal dari berbagai lapisan. Mulai dari pasangan yang sedang berpacaran, pasangan yang baru mencoba “gitu-gituan” hingga yang sudah pernah “begituan”.  Usianya beragam, mulai dari anak sekolahan hingga yang sudah berumur.
“Apalah yang terjadi?” tanya seorang kawan kepada saya. Bingung saya dibuatnya.
Katanya, kalau mereka tak tahu, rasanya tak mungkin. Setiap hari, razia dilakukan. Selalu saja ada hasil tangkapan. Diberitakan di koran, tv, radio dan online. Kalau mereka tak tahu, apakah mereka tak membaca koran, tidak melihat tv, tidak mendengar radio atau tidak baca online.
Rasanya, salah satu di antara saluran komunikasi massa itu, mustahil tak pernah didapatinya agak sekali sehari, atau sekali dua hari, atau minimal sekali sepekan. Atau, saluran komunikasi itu hanya dimanfaatkan untuk menonton sinetron, gosip artis saja? Entahlah.
Atau mungkin ada celah yang membuat orang tidak jera terhadap kinerja polisi penegak Perda tersebut. Misalnya, selama ini, setelah ditangkap, mereka hanya didata, diberi wejangan, membuat surat perjanjian, dipanggil keluarganya, kemudian dipulangkan.
Jika hanya begitu-begitu saja, maka hasilnya dikemudian hari juga akan begitu-begitu juga. Hitunglah, sekali razia pasti berbiaya. Beli BBM untuk kendaraan operasional, uang makan malam, sarapan pagi, tetapi hasil nyata dari razia tersebut justru tidak nyata. Minyak habih, samba tak lamak.
Seharusnya, dari sekarang, pikirkanlah lagi tindakan nyata untuk meminimalisir ruang gerak mereka yang diduga telah melakukan maksiat tersebut. Tindakan nyata diberikan pada dua kelompok.
Kelompok pertama; apakah tidak memungkinkan diberikan tindakan dalam bentuk efek jera yang lebih konkrit kepada pelaku daripada sekadar ditangkap,  didata, diberi wejangan, membuat surat perjanjian, dipanggil keluarganya, kemudian dipulangkan?
Mereka yang membuang sampah sembarangan saja bisa dikenai denda hingga Rp 5 juta atau kurungan. Menebang pohon pelindung dikenai denda Rp 1 Miliar. Apakah pasangan mesum tak bisa? Kenapa tak bisa? Tak ada aturannya? Apakah aturannya tak bisa dibuat? Kenapa aturan lain bisa?   
Misalnya;  mereka yang tertangkap diberi wejangan tidak di markas Satpol PP, tetapi diberi nasihat di lapangan Imam Bonjol. Jika dilihat orang, mungkin bisa memberikan efek jera bagi yang lain dikemudian hari. Hanya satu itu contoh yang saya berikan, yang lain mari sama-sama dipikirkan.
Kelompok kedua; ruang geraknya harus dipersempit. Caranya, tempat pasangan yang digerebek; hotel, wisma, penginapan, café, tempat karaoke dan lainnya juga harus diberikan sanksi. Tak hanya sekadar teguran. Jika perlu, cabut atau jangan perpanjang izinnya.
Pengelola hotel, wisma, penginapan, café, tempat karaoke dan lainnya juga harus bertanggungjawab dan memberikan perhatian ekstra terhadap tamunya. Jangan hanya dengan alasan privasi, mereka melakukan pembiaran terhadap prilaku maksiat. Hal itu, sama saja mereka hanya peduli pada pendapatan,  kemudian  secara tak langsung “menyediakan tempat secara terselubung” untuk melakukan maksiat.
Belajar dari aturan larangan merokok. Pada awal gerakan itu dilakukan, banyak yang tak yakin. Waktu membuktikan segalanya. Berlahan dan pasti, ruangan untuk perokok semakin terbatas. Dulu, dimana saja, orang bisa merokok secara bebas. Kini, di ruang-ruang publik, aktivitas tersebut semakin bisa dibatasi. Di hotel saja, tak semua kamar bisa digunakan untuk merokok. Termasuk di toiletnya. Jika ketahuan dikenakan denda.
Lalu, apakah untuk tempat langsung atau yang tidak secara langsung memberikan ruang untuk kesempatan bermaksiat,  akan dibiarkan? Hop, dari hotel, wisma, penginapan, café, tempat karaoke itu ada pendapatan asli daerah.
Yah, apalah yang terjadi…! (Sasak angok saya…)*


CATATAN:
Tulisan ini juga dimuat di Padang Ekspres, edisi Minggi 20 Maret 2015, pada kolom KOPI MINGGU.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...