11 December 2015

Bulek-bulek


Oleh: Firdaus


Seorang bijak, jika  tidak mempunyai sikap yang sungguh-sungguh, tidak akan dihormati orang, dan pelajarannya pun tidak akan teguh. Maka peganglah kesetiaan dan kejujuran sebagai pokok utama dalam kehidupan. Jangan bersahabat dengan orang-orang yang tidak sederajat. Jika mempunyai kekurangan, janganlah takut untuk memperbaikinya……
(Confusius, filsuf asal China)


Suatu ketika, pada pekan pertama puasa kali ini, saya membaca di laman jejaring sosial facebook, tepatnya di sebuah grup yang saya menjadi anggotanya. Grup tersebut adalah komunitas sesama teman kecil, semasa saya masih kanak-kanak dulu. 
Sang teman menulis kerinduannya untuk pulang dan bermain agak sejenak di tempat ia dulu menjalani hari-harinya semasa kanak-kanak. Teman tersebut sekarang menetap di Jakarta, bekerja di sebuah production house, sekembalinya dari Australia dan Jepang untuk menuntut ilmu berkaitan dengan pertelevisian.
Kerinduannya untuk “menjenguk” ranah yang membesarkannya dulu, tidaklah berlebihan. Sejak bapaknya meninggal dunia, ibunya kembali ke kampung halaman. Kakak-kakak dan adiknya juga sudah menjalani kehidupan dengan keluarga masing-masing.
Saya tak hanya sekadar membaca, tetapi juga ikut memberikan komentar pada laman tersebut. Ternyata, tak berselang lama, cukup banyak komentar yang muncul belakangan. Ditulis kawan-kawan yang lahir mau pun dibesarkan di Aru Indah.
Salah satu yang menarik perhatian saya dan mengembalikan kenangan ke masa silam, ketika ada yang menyebut, rindu main bulek-bulek lagi. Hm… permainan itu. Ya, bulek-bulek begitu menggoda, menantang dan mengasyikkan. Apalagi disaat puasa seperti sekarang.
Permainan itu, sebenarnya sangat sederhana. Awal permainannya pun didapatkan tanpa sengaja. Ketika itu, disaat saya dan kawan-kawan lain sedang bermain bola di lapangan pasir, dua orang kawan yang tidak ikut main bola justru melakukan aktivitas lain. Awalnya salah seorang di antaranya membuat bulatan dari pasir yang dibasahkan seukuran tinju, yang kemudian lebih akrab kami sebut dengan bulek-bulek. Kemudian kawan yang satu lagi juga membuat bulatan yang sama. Ketika bulatan itu sudah selesai, eh.. keduanya sepakat untuk mengadunya.
Cara mengadunya pun unik. Setelah kedua balastit (suit), pemenangnya dibebaskan memilih, apakah dia yang menjatuhkan bulek-buleknya dari ketinggian sejajar dengan pusar atau meletakkan bulek-buleknya di bawah, dan kemudian ditimpa bulek-bulek lawan mainnya. Ia memilih menempatkan di bawah, kemudian kawan yang kalah balastit menjatuhkan bulek-bulek dari atas. Ketika kedua bulek-bulek itu bertemu dan beradu, ternyata bulek-bulek yang dijatuhkan dari atas justru hancur berkeping.
Pemilik bulek-bulek yang masih utuh menantang kawan-kawan lain untuk membuat hal yang sama, kemudian diadu dengan punyanya. Sejak saat itu, berlahan dan pasti, permainan mengadu bulek-bulek menjadi keasyikan tersendiri. Akan ada kebanggaan tersendiri jika berhasil menghancurkan bulek-bulek lawan.
Sejak itu pula, seiring dengan menantangnya permainan ini, berbagai cara ditempuh agar memiliki bulek-bulek yang kuat. Entah siapa yang memulai, namun yang pasti, setiap orang berupaya mencari cara agar bulek-buleknya kuat. Ada yang menimbun dan menyimpannya pada tumpukan karbit bekas, melumurinya dengan batu-bata yang dihaluskan, menyimpan  ditumpukan sekam huller.
Ada yang mencoba curang, mengisi batu dalam bulek-bulek tersebut, namun sempat ketahuan karena berat bulek-buleknya sudah dicurigai sejak awal. Juga ada yang curang, melumuri bulek-buleknya dengan semen putih, lalu kembali member pasir di permukaan. Hanya saja, kawan tersebut kemudian diasingkan untuk beberapa waktu, sebab akhirnya ketahuan kalau bulek-buleknya dilumuri semen putih.
Permainan itu, sangat sederhana. Sederhana sekali, namun, ternyata sebenarnya justru menyimpan nilai-nilai tersendiri. Sekali pun sebelumnya tak pernah dibuat kesepakatan atau pun aturan mana yang boleh, mana yang tidak, namun ternyata ketika ada yang melumuri dengan semen putih, ternyata kawan tersebut justru langsung disepakati untuk “didiskualifikasi” lantaran “bahan dasar” bulek-buleknya dianggap tidak logis.
Mengingat permainan masa lalu itu, saya jadi geli sendiri. Rasanya baru kemarin saya dan kawan-kawan masih memainkannya, bergelimang pasir basah, bercampur bau karbit yang menyengat. Kini satu sama lain sudah terpencar di berbagai daerah, menghela peruntungan masing-masing.
Ternyata, dari permainan itu, tanpa disadari justru mengandung nilai-nilai moral dan sosial. Hanya dengan landasan tak tertulis, satu sama lain saling menjaga hakikat sebuah permainan. Sekali pun hanya sebuah permainan, namun semua harus tetap patuh pada aturan tak tertulis tersebut.
Lalu, ketika saya mencoba menghubungkan dengan kondisi kekinian, ada kegamangan untuk menghubungkannya. Jangankan aturan tak tertulis, aturan yang sudah memiliki landasan hukum yang kuat, ada undang-undangnya, tak sedikit dilanggar orang. Malahan justru dilanggar oleh orang-orang paham dengan hukum tersebut. Dilanggar oleh orang-orang “bijak” yang ternyata tidak bijak. []

Catatan:
Tulisan ini dimuat pada kolom; Kopi Minggu, edisi Minggu 14 Agustus 2011










No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...