11 December 2015

R e u n i


Oleh: Firdaus Abie


Belum lama ini, saat musim reunian yang biasa terjadi ketika lebaran datang, saya hadir di antara ratusan orang yang terdiri dari kakak kelas, kawan seangkatan mau pun adik kelas. Suasana sangat ramai.
Kalau pun panitia sudah meminta semua yang hadir untuk masuk ke ruang pertemuan, namun masih banyak yang tetap berada di luar. Satu sama lain saling bercanda. Ketawa lepas. Berulang kali panitia mengharapkan agar ruangan pertemuan diisi, namun tak sedikit yang tetap meneruskan ngolor-ngidul. Seakan mereka tidak mendengar pemberitahuan itu.
Setengah kesal, panitia pun memulai agenda acara. Ada beberapa rangkaian acara formal. Selama acara berlangsung, mereka yang berada di dalam ruangan pun tetap bercengkrama satu sama lain. Nyaris tak peduli dengan rangkaian acara.
Dua realita yang seakan menjadi pemandangan yang sudah jamak pada setiap acara reunian. Begitu kewalahannya panitia untuk “mengumpulkan” orang-orang yang sudah hadir. Bagi mereka yang datang, sesungguhnya bercengkrama dengan kawan-kawannya akan terasa lebih penting dari apa pun yang ada.
Sesuai dengan hakikatnya, reuni adalah pertemuan kembali setelah berpisah cukup lama (Kamus Besar Bahasa Indonesia,--pen). Tentu satu sama lain akan saling bercengkrama dengan orang-orang yang pernah mereka kenal, atau orang-orang yang pernah akrab mau pun pernah memiliki kisah masa lalu.
Waktu berlalu. Tanpa terasa, temu kangen alias malapeh taragak itu usai di tengah malam. Semua membawa berjuta rasa ke rumah, dan berjuta rasa itu pun kemudian di bawa setiap individu kembali ke perantauan.
Keesokan harinya, di dinding jejaring sosial facebook sejumlah orang  yang hadir pada temu kangen itu, muncul beragam komentar. Begitu pun di grup khusus alumni sekolah itu. Upek jo gunjiang, mau pun keluh kesah yang dikemas dengan istilah “masukan dan saran untuk aktivitas selanjutnya” bermunculan.
Adu argumentasi tak dapat dihindari. Satu sama lain memberikan komentar yang benar menurut takaran sendiri-sendiri. Tak kalah hebatnya, yang tak bersentuhan dengan perencanaan hingga pelaksanaan reuni, malahan juga tak menghadiri pertemuan tersebut, justru berkomentar tak kalah hebat.
Ketika ada yang bertanya, “kok anda tidak hadir?”
“Lebaran kali ini saya tidak pulang kampung…” jawabnya di dinding grup alumni.
“Ketika kawan-kawan mempersiapkan rencana reuni di perantauan, kok anda tidak pernah datang?” tanya yang lain.
“Itulah. Saya tak bisa meninggalkan kantor. Banyak bengkalaian kerja yang harus diselesaikan..” ia menjawab enteng.
Jawaban itu disambut makian anggota grup lainnya, “kapunduang! Kalau hanya sekadar ngomong, semua orang bisa. Apalagi jika kegiatannya sudah berlangsung. Cakak salasai, silek takana. Jangankan anda ikut membantu mengurus, hadir untuk membicarakan persiapan saja tak pernah punya waktu,” seseorang menjawab.
Tak berselang lama, anggota lain pun membubuhkan tanda jempol, menyukai komentar tersebut. Orang yang dituju, yang pada awalnya mengkritisi habis-habisan kegiatan tersebut, tak pernah lagi muncul di komentar tersebut.
Secara khusus, saya mengirim pesan ke inbox kawan yang “memukul telak” sang pengkritik, “kenapa anda langsung menohoknya seperti itu. Jika diandaikan laga tinju, anda langsung memukul “KO”  sang lawan,” tanya saya.
Selang beberapa menit kemudian, saya menerima balasan darinya di inbox saya. Katanya, sebenarnya sejak awal saya hanya jadi pembaca setia saja. Membiarkan diskusi. Inikan dinamika sebuah kegiatan sosial pada “lembaga sosial” yang tidak bisa diikat secara tegas. Hanya saja, ketika saya terus mengikuti diskusi itu dan kemudian tahu bahwa dia yang mengkritisi habis-habisan itu tak pernah terlibat sedikit pun; bukan penggagas, tak tahu sama sekali ada kegiatan, tak pernah datang untuk membicarakan persiapan dan pelaksanaan, juga tak datang kegiatan, eh… ternyata dengan gampang “mengkata-katai” orang yang sudah bersusah payah, yang sudah mengorbankan waktu, pikiran, perasaan, mau pun biaya hanya untuk mengurus pertemuan untuk bersilaturrahmi dengan kawan-kawan masa lalu.
Orang-orang seperti inilah, tulisnya panjang lebar, yang berpotensi dapat merusak tatanan pergaulan. Jika dibiarkan terus menerus, maka berpotensi untuk merusak tatanan yang lebih luas. Hanya bisa mengkritik setelah semuanya berjalan. Hanya bisa berkomentar tanpa pernah ikut mencoba melakukan sesuatu terlebih dahulu.
“Banyak orang yang seperti ini mah, kawan” balas saya.
“Ya. Banyak. Tapi biarlah kita bicarakan di sini saja. Jika dipublikasikan lebih luas, saya takut nanti banyak yang tersinggung,” balasnya lagi.*

CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, edisi Minggu 11 September 2011

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...