11 December 2015

Talanjang Gegek


 Oleh: Firdaus Abie


Kejadian  sepekan terakhir benar-benar menyentak. Menghujam diri. Menampar wajah. Siapa pun pasti terbelalak. Inilah kejadian yang benar-benar tak bisa dibenarkan, walau dari sudut pandang apa pun. Semua pasti mengutuk.
Kutukan, makian dan cacian itu tak berlebihan. Disaat negeri ini terus berperang melawan penyakit masyarakat, tetapi  penyakit yang lebih hebat justru datang secara mengejutkan. Apa yang salah?
Beredarnya video mesum yang diperankan siswa SMA negeri di Padang, sudah sangat menyentak. Membuat bulu tengkuk berdiri. Belum cukupkah pendidikan agama, pendidikan di TPA/TPSA atau asmaul husna membentengi dirinya dari perbuatan maksiat?
Belum tuntas kasus itu –Wako pun baru sebatas mengancam akan mencopot Kadinas Pendidikan Padang serta kepala sekolah--, ternyata kejadian lebih menyentak justru memunculkan gigil. Dua orang perempuan muda tertangkap tangan sedang menari di depan tiga lelaki.   Kedua perempuan itu menari tanpa dilapisi sehelai benang pun. Menari dalam kondisi bertelanjang. Bugil.  Dalam bahasa sehari-hari di ranah Minang,  keadaan bugil tersebut disebut juga dengan istilah talanjang bulek, atau talanjang gegek.
Wow.. sudah sedemikian parahkah negeri ini?
Inilah yang menjadi gunjingan. Inilah pula yang harus dipergunjingkan. Jika tidak, ia akan menjadi bom waktu, yang setiap saat bisa meledak, dan menghancurkan seluruh tatanan kehidupan di negeri yang selalu mengkedepankan falsafah adat basandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah.
Kini, seakan moncong senapan diarahkan kepada Pemko Padang. Booming pendidikan bernuansa religi yang diapungkan beberapa tahun lalu; busana muslim, asmaul husna, ayat-ayat pendek, wajib TPA/TPSA, pesantren Ramadan hingga majelis taklim, seakan tak bisa membentengi tindakan maksiat tersebut. Program Pemko Padang gagal!
Ketika tuduhan itu sudah dilayangkan, maka penilaian kegagalan itu akan dijadikan sebagai pijakan untuk manggunda sudut-sudut lain. Inilah sebuah ironi di negeri yang katanya berbudaya, namun cenderung mengabaikan etika, padahal sebuah etika adalah penguatan terhadap  budaya.
Saya masih ingat, ketika program pendidikan bernuansa religi itu diluncurkan, serangan datang bertubi-tubi. Seakan mempersalahkan Pemko Padang yang terlalu mencampuri urusan agama. Bagi yang menyerang, mereka berdalih bahwa urusan agama biarlah menjadi urusan pribadi atau keluarga. Jangan terlalu diatur sedemikian rupa.
Ketika perbuatan mesum itu menampar semua orang, serangan pun kembali datang; Pemko Padang dinilai gagal membentengi warganya! Hm… inilah sudut pandang yang tidak realistis. Dari satu sisi, ketika regulasi hendak diberikan pemerintah, maka langkah itu sudah dicap sebagai tindakan menyalahi aturan. Mengekang HAM. Tapi ketika ada persoalan lain akibat belum maksimalnya regulasi itu, maka tuduhannya pun menjadi lain; pemerintah lalai.
Kini semuanya telah terjadi. Kejadian itu tak akan pernah bisa ditarik lagi. Langkah paling bijak adalah membangun benteng-benteng yang lebih kokoh agar peristiwa itu tidak lagi terulang, dan memperbaiki tatanan etika, moral dan akidah anak-anak negeri serta  warga kota agar bisa lebih baik.
Upaya itu tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan keberanian pemerintah untuk membongkar sekat-sekat yang selama ini menyekat, dan diperlukan dukungan nyata dari seluruh komponen untuk mendukung tindakan nyata pemerintah.
Pembangunan sikap mental, etika, moral dan akidah tidaklah semudah membangun gedung-gedung pencakar langit mau pun bangunan fisik lain. Bangunan fisik yang kerjakan hari ini, hasilnya bisa dilihat beberapa jam kemudian, atau besok pagi.  Pembangunan sikap mental, etika, moral dan akidah membutuhkan waktu panjang.
Sudah dibatasi gerak prilaku maksiat dengan berbagai aturan dan bekal akidah, masih saja terjadi kejadian yang tak diingini. Apalah jadinya jika tidak ada aturan yang membatasi? Apalah jadinya jika  tak ada upaya nyata penguasa untuk meningkatkan akidah warga kotanya? Antahlah…!*


CATATAN:
Naskah ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, edisi Minggu 2 Oktober 2011


No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...