11 December 2015

Siapa Berani Menantang?


Oleh: Firdaus


Pemerintah hanyalah mengatur segala hal yang benar. Jika anda memimpin rakyat dengan keteladanan yang benar, siapa yang akan berani menantang?
---Confusius---


Kalimat terakhir dari pesan bijak  filsuf asal Cina, kelahiran negara kecil Lu (sekarang Provinsi Shantung), tahun 551 SM, seakan menjadi senjata utama bagi rakyat di negeri ini sejak reformasi. Kondisinya terus menjadi-jadi. Menjadi bahan gunjingan setiap saat.
Setiap hari pula, ada saja isu yang menguncang keberadaan pemerintah. Masyarakat cenderung menilai, banyak persoalan ketidakberesan dalam pemerintahan. Ada-ada saja persoalan yang dijadikan bahan untuk dipergunjingan.
Jika tidak diarahkan kepada kepala pemerintahannya, biasanya cenderung diarahkan kepada orang-orang dilingkungan sang pemimpin, sehingga dengan sendirinya bisa diarahkan “mempersoalkan” sang pemimpin.
Kondisi hari ini, seakan sudah menjadi biasa saja kalau setiap hari ada  “gugatan” kepada seorang pemimpin. Jika sebelumnya orang yang mempersoalkan pemimpin dianggap ada keberanian, sekarang justru dipandang biasa saja.
Sebalinya, bagi seorang pemimpin, ada pameo; berbuat atau tidak berbuat, tetap saja akan dipersoalkan. Inilah “masa-masa sulit” bagi seorang pemimpin.
Lalu, masihkah berlaku pesan bijak Confusius di masa orde baru? Benarkah semua yang dilakukan pemerintahan kala itu?
Tak mungkin untuk membandingkannya, sebab setiap masa ada sejarahnya. Setiap waktu berbeda derap langkah yang bisa dilangkahkan.  Sekali pun begitu, prinsipnya tetap melekat dengan kenyataan sesungguhnya.
Hanya saja, persoalan yang dipersoalkan nyaris tak pernah tuntas. Ada-ada saja masalah yang muncul. Diselesaikan satu masalah, muncul masalah baru. Begitu terus, terus dan terus. Tak pernah ada yang mendekati sempurna.
Pada ruang lingkup pemerintahan, misalnya, masa kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun dianggap tidak lagi berpihak kepada masyarakat dan banyak persoalan, digugat rakyat. Kemudian secara berturut, penggantinya, Habibie, Megawati, Gus Dur, dan kemudian SBY,  tetap saja dianggap tidak tidak lebih baik.
Belakangan, banyak persoalan juga sedang “menyerang” SBY. Pertanyaannya sekarang; ketika SBY diganti hari ini, akankah penggantinya bisa mendekati sempurna?
Pada lingkup yang lebih kecil, semisal sebuah organisasi profesi, akankah Konfercab PWI Sumbar yang digelar Senin besok mampu memperbaiki wartawan anggota PWI Sumbar dalam banyak hal?
Konfercab PWI Sumbar kali ini  menarik untuk disimak. Ada sekitar 200-an anggota akan memberikan suaranya untuk “pertaruhan” kepemimpinan organisasi untuk empat tahun ke depan. Ketika organisasi profesi lainnya hendak mengganti kepengurusan, biasanya diiringi dengan maraknya pemberitaan bursa suksesi. Berbeda jika dibandingkan dengan Konfercab PWI Sumbar kali ini.
Adakah ini pertanda bahwa posisi ketua yang akan menahkodai PWI Sumbar untuk periode berikutnya  tidak menarik lagi? Atau, “tukang sampaian  berita” tidak butuh berita untuknya sendiri?
Saya masih  ingat perihal Konfercab PWI Sumbar empat tahun silam. Ketika itu, saya mendapat amanah untuk duduk di salah satu kursi unsur pimpinan sidang bersama empat orang anggota PWI Sumbar lainnya. Beragam kurenah yang saya saksikan. Satu sama lain saling membela jagoannya.
Dari beberapa calon, hanya ada dua landasan. Incumbent dan sang penantang. Bagi kubu incumbent, selain berjuang untuk mengingatkan orang akan kerja baiknya terdahulu, juga bekerja keras untuk “menutup” celah buruk kepemimpinannya. Bagi penantang, “kampanye”-nya lebih cenderung untuk mencari sisi lemah kepemimpinan terdahulu, sehingga bisa “menjual” hal baru yang belum tersentuh kepengurusan terdahulu.
Kejadian ini, sebenarnya bukan hal baru. Sudah menjadi kebiasaan untuk setiap suksesi kepemimpinan mana pun, dan ini biasanya cenderung mujarab bagi sang penantang. Lalu, akankah untuk suksesi kepemimpinan PWI Sumbar ke depan hal itu juga berlaku?
Tiba-tiba, saya kembali ingat pesan bijak Confusius. Katanya, pemerintah hanyalah mengatur segala hal yang benar. Jika anda memimpin rakyat dengan keteladanan yang benar, siapa yang akan berani menantang?


CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, edisi Minggu 12 Juni 2011

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...