01 October 2013

“Malu Kami Membawa Tamu ke Padang…”

* Dialog Forum Editor (FEd) Sumbar


Membahas tentang Padang, hari ini, seakan membentang benang kusut. Tak pernah terselesaikan. Padang Kota Tercinta memiliki persoalan di sana-sini. Kusut-masai. Karut-marut.
Mau diurus dari mana? Semuanya serba masalah. Di sana ada masalah, di sini juga punya masalah. Masalah dimana-mana.

Firdaus – Padang

Banjir, misalnya. Persoalan banjir, ternyata bukan masalah kekinian. Dalam catatan Eko Alfares, pengamat Perkotaan, persoalan banjir di Kota Padang sudah terjadi sejak 400 tahun silam. Tak pernah terselesaikan.
Belakangan persoalannya semakin parah, sebab dasar-dasar hukum di Padang semakin tidak jelas. Dibanyak tempat tak ada lagi ruang yang bisa menerima resapan air ke datang. Semuanya terbendung di permukaan karena adanya penutupan permukaan tanah oleh bangunan atau landasan yang dicor dan sejenisnya.
“Jika ini dibiarkan, Padang akan terus mengalami banjir dan akan semakin lebih parah untuk masa-masa datang,” kata Eko Alfares, pada dialog Forum Editor (FEd) Sumbar, yang menghadirkan 10 pasangan Calon Walikota Padang serta pengamat, wartawan, akademisi dan praktisi, terkait persoalan infrastruktur dan sarana publik di Padang.

Nusirwan Effendi, pengamat Kepentingan Publik, melihat sudut lain. Katanya, persoalan Padang sangat komplek. Salah satu yang diapungkannya, tak ada indeks kepuasan warga yang sudah terjadi selama ini, juga tak ada pula indeks kepuasan warga yang hendak dikerjakan para calon walikota dan calon wakil walikota.
“Semuanya hanya ingin membangun, tetapi tidak mengacu kepada indeks kepuasan warga. Kalau hanya sekadar membangun, sangat mudah. Bangun saja dulu. Persoalan masyarakat menerima, atau puas dan tidak puas dengan apa yang dibangun, itu persoalan belakangan,” kata Nusirwan Effendi.
Nusirwan melihat, muara dari persoalan ini justru semakin buruk. Ketika masyarakat tidak puas dengan apa yang dikerjakan pemerintah, maka pemerintah bisa saja berdalih bahwa masyarakatlah yang tidak peduli dan tidak bersyukur dengan apa yang sudah diperbuat pemerintah.
“Padahal apa yang dibuat tersebut tidak mengacu kepada kebutuhan masyarakat,” katanya sembari menyebutkan, muara dari persoalan tersebut pemerintah jalan sendiri, dan masyarakat merasa tidak mau tahu dengan pemerintah itu sendiri. Salah satu contoh kecil dari apa yang dipaparkan Nusirwan tersebut adalah persoalan macet. Masyarakat butuh  solusi  mengatasi kemacetan.
Pengamat lain, Yosafra menukikkan sudut pandangnya pada infrastruktur yang harus dikembalikan
kepada fungsinya. Apalah artinya membangun infrastruktur namun fungsinya diabaikan. Fungsi infrastruktur tersebut sudah terdegradasi.
“Sebuah kota baru bisa disebut sebagai kota jika fungsi kota tersebut ada dan cukup di kota bersangkutan. Kalau di Padang, fungsi kotanya tidak cukup,” sebut Suprapto, Kadinas PU Sumbar sembari menyebutkan, pengembangan Padang ke arah By Pass justru akan memperparah kondisi Kota Padang, sebab kawasan By Pass adalah wilayah resapan air.
Ada delapan pasangan  calon pasangan calon yang hadir; Emma Yohana, Michel Ikhlas El Qudsi, Desri Ayunda, Asnawi Bahar, Ibrahim, Kandris Asrin, Indra Jaya, Mahyeldi.  Pasangan Maigus Nasir dan pasangan Syamsuar Syam yang turut diundang, tak hadir pada  dialog Forum Editor (FEd) Sumbar tersebut. Ke delapan pasangan tersebut  menawarkan programkan pembangunan sejumlah sarana prasarana, terutama terkait dengan persoalan pasar, parkir, serta sejumlah pembangunan infrastruktur lainnya, termasuk mengatasi banjir.
Terhadap persoalan yang ditawarkan calon walikota tersebut, sejumlah anggota Forum Editor (FEd) Sumbar mengkritisi secara mendalam. Boby Lukman Piliang menekankan pada aspek mau dibawa kemana Kota Padang ini oleh para calon.
“Tak tampak secara transparan arah langkahnya,” kata Boby.
Sukri Umar, anggota FEd Sumbar yang juga Wakil GM Padang Ekspres melihat sudut lain. Katanya, secara konsep, apa yang ditawarkan para calon, dipandang oke, tetapi pelaksanaannya bagaimana? Dikuatirkan konsep tinggal dikonsep.
“Ini yang harus dicatat, lalu nanti warga kota mengawal dan meminta pertanggungjawaban secara bersama,” katanya.
Semakin sembrautnya kota dan wajah kota Padang, membuat resah pada pengelola bisnis biro perjalanan wisata di Sumbar, “kami malu membawa tamu ke Kota Padang,” kata Ketua DPD Asita Sumbar Ian Hanafiah.
Alasannya, apa yang dibisa didapatkan di Padang? “Selain membeli oleh-oleh, tak ada tempat untuk wisatawan di Padang. Di bawa ke pasar tradisional, pasar tradisional yang mana? Sebelum sembraut, wisatawan senang belanja di pasar raya Padang. Kini, kami yang malu membawa mereka ke pasar raya Padang. Obyek-obyek wisata juga tak terurus,” katanya.
“Ya, tak ada lagi yang bisa dibanggakan di Padang,” kata Abdullah Khusairi, dosen di IAIN Imam Bonjol, Padang. *

3 comments:

Agung Ngurah said...

kalau walikaota jadi dialupa kita, kalau pil KB kita lupa jadilah dia. lagu lama tuh para pemimpin di daerah apalagi di pusat

Unknown said...

bagus dan sangat mengena isinya, tapi sayang blog ini g ada pengunjungnya sama sekali.

jadi tulisan anda untuk anda. bukan tulisan anda untuk pembaca.. :D

1412 ngibuo

Firdaus Abie said...

Agung Car, analogi yang bagus. Hahaha... Boleh juga minta analogi yang lain, tuh..?


Suduang Itam. Thanks atas kunjungan saudaraku ke blog ini, yang telah berkenan membaca dan meninggalkan komentar. Salam kenal.

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...