25 September 2013

Jebreettttt, Garuda Juara!


Oleh: Firdaus


Jebreettttt, Garuda Muda juara! Jebreettttt, Jayalah Garuda Jaya! 
Kata jebreettttt, seketika menjadi kata paling populer sejak Minggu (22/9) malam lalu, bersamaan dengan berlangsungnya babak final Piala AFF U-19. Kata itu tak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), juga tak ada dalam “Kamus Besar Bahasa Vickynisasi” yang lebih populer sejak sepekan terakhir.
foto: http://image.metrotvnews.com/bank_images/actual/183503.jpg
foto: http://image.metrotvnews.com/bank_images/actual/183503.jpg
Memang tak ada artinya dalam kamus, tapi kata Jebreettttt yang diteriakan komentator di MNCTV pada partai final tersebut, tak lain adalah kata yang  mewakili perasaan  untuk memberikan support kepada pemain Timnas Indonesia. Kata-kata tersebut dikeluarkan ketika tendangan Evan Dimas dkk melenceng atau dapat dibendung penjaga gawang Vietnam.
Selebihnya adalah kebahagiaan, setelah anak-anak asuhan Indra Syafri berhasil menggapai impiannya. Bukan mencapai mimpi. Impian terbesar tim tersebut adalah kejayaan, makanya Timnas U-19 memakai nama Garuda Jaya. 
Mengharapkan sesuatu yang sangat besar, jika mengacu pada KBBI, maka harapan tersebut adalah impian. Bukan mimpi, seperti yang selama ini sering didengungkan. Dalam KBBI, impian adalah sesuatu yang sangat diinginkan. Mengimpikan berarti sangat mengharapkan. Sedangkan mimpi adalah sesuatu yang terjadi di dalam tidur. Atau hanya sekadar angan-angan.
Perihal impian tersebut, konon film kartun asal Jepang; Kapten Tsubasa, “mewakili” keinginan rakyat Jepang agar Timnas Jepang menjadi tim yang kuat, disegani di Asia dan diperbincangkan di Piala Dunia. Tahun 1992, Jepang juara Asia. Kemudian Timnas Jepang melangkah ke Piala Dunia,  di Prancis, 1998. Empat tahun kemudian, Jepang dan Korea Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002. Impian yang benar-benar menjadi kenyataan. 
Menggunakan sebutan Garuda Jaya ----selama ini  Timnas yunior Indonesia cenderung menggunakan sebutan Garuda Muda--- adalah sebuah impian. Garuda yang jaya. Garuda yang Berjaya. Ketika garuda tersebut jaya, mengutip pernyataan Indra Syafri, maka akan memberikan kebahagian bagi seluruh bangsa Indonesia.
Kebahagian itu, kemudian benar-benar terjadi. Stadion Delta Sidoarjo, menjadi saksi keperkasaan anak-anak muda Indonesia. Gelar juara yang dipersembahkan untuk negeri tercinta, sekaligus menutup kisah buram prestasi sepakbola Indonesia, selama 22 tahun terakhir. 
*
Sea Games, Manila – Pilipina, 1991. Anatoli Fyodorovich Polosin melanjutkan sukses Bertje Matulapelwa (alm). Emas yang diraih anak-anak asuh Bertje, pada Sea Games 1987; Herry Kiswanto, Rully Nere, Robby Darwis,  Ricky Yakob dkk, dilanjutkan Eddy Harto, Widodo C Putro, Rocky Puttiray, Ferril Raymon Hatu, Aji Santoso dkk empat tahun kemudian.
Kedigjayaan sepakbola Indonesia yang ketika itu menemukan titik terang,  ternyata langsung redup. Emas Sea Games 1987 merupakan gelar juara pertama kali yang didapatkan Timnas Sepakbola Indonesia dalam kejuaraan antarbangsa. Prestasi itu kemudian dipertahankan pada gelaran berikutnya. 
Hasil tersebut bagian dari trend positif yang dimiliki Timnas Indonesia, sebab, setahun sebelum keberhasilan mempersembahkan gelar juara untuk pertama kali, tim tersebut menapaki babak semifinal Asian Games 1986. Atau, meminjam istilah Ricky Yakob (kemudian juga akrab dengan nama Rocky Yakobi), sepakbola Indonesia berada di empat besar Asia.
Ternyata, prestasi itu; sekali berarti, setelah itu; mati! Sejak saat itu, perjalanan panjang sepakbola Indonesia selalu dibalut berbagai masalah. Tak ada lagi gelar juara yang mampu dipersembahkan untuk Ibu Pertiwi. Pertikaian demi pertikaian terjadi tidak terkait dengan persoalan pembentukan tim, tetapi justru lebih buruk; tak terurusnya kepengurusan PSSI. 
Ketika kepengurusan PSSI tidak mampu mengurus dirinya, kecintaan masyarakat pada Timnas Indonesia justru semakin menjadi-jadi. Adalah momentum Piala AFF 2007 ---sebelumnya dikenal dengan Piala Tiger--- menjadi pemicunya. Kecintaan dan kebanggaan pada Timnas Indonesia memenuhi semua ruang di negeri ini. Tua, muda, laki-laki dan perempuan, menyerbu jersey merah putih atau hijau putih, kostum kebanggaan. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Sejak 2007, dukungan terhadap laga Timnas tak pernah pudar, walau prestasi tak juga mampir. Belakangan, tuntutan menjadi juara dalam ajang antarbangsa cenderung dijadikan target kedua. Tuntutan utama; rakyat ingin menonton  Timnas untuk menunjukkan permainan sepakbola sesungguhnya.  
Jawaban terhadap tuntutan itu justru dipenuhi anak-anak asuhan Indra Syafri dalam Timnas U-19 yang tampil pada Piala AFF 2013. Di penyisihan grup membantai Brunai 5-0, menang melawan Myanmar 2-1, kalah 1-2 dari Vietnam, menang 3-1 lawan Thailand, seri 1-1 melawan Malaysia. Menang 2-0 atas Timor Leste di semifinal, dan menang di final dari Vietnam, 7-6.
Ketika tampil di penyisihan grup, penampilan gemilang Evan Dimas dkk sudah mampu mengobati kerinduan rakyat Indonesia pada tim sepakbola berkualitas. Daya tahan fisik, mental, teknik, kerjasama tim, kemampuan individu, keberanian yang dimiliki anak-anak asuh pelatih asal Painan, Sumatra Barat, seakan tak pernah dimiliki Timnas level mana pun sejak dua dekade terakhir. 
Pada usia yang masih sangat muda, mereka sudah memperlihatkan kualitas yang mumpuni. Mereka berani bermain dengan umpan-umpan pendek, berani beradu sprint, berani melepaskan tendangan dari jarak jauh, punya kemampuan  untuk keluar dari tekanan, punya perhitungan untuk memberikan variasi serangan dan kemampuan bertahan.  Maldini, Ilham Udin Arbain dkk menghasilkan gol-gol berkelas. Gol yang dihasilkan dari kerjasama dan individu, tidak lagi gol dengan cara egois yang selama ini sering menjadi cirri khas pemain-pemain Indonesia.
Ketika laga harus dituntaskan dengan adu pinalti, sesungguhnya sudah rakyat sudah puas. Apa pun hasilnya, Evan  Dimas dkk sudah menjadi penyejuk, pelepas dahaga dari buruknya prestasi Timnas sejak lama.
Mental pun kemudian menjadi patokan. Ravi Murdianto yang mampu memblok dua tendangan algojo Vietnam menghidupkan asa dan membuat gemuruh di seluruh negeri. Asa itu kemudian dituntaskan Ilham Udin Arbain. 
Gelar yang diraih Timnas  U-19 tak hanya sekadar gelar pertama bagi Indonesia, sejak turnamen ini dilaksungkan pada 2002. Hasil ini sekaligus menjadi penyejuk dikala Indonesia tak lagi pernah meraih gelar juara antarbangsa sejak 1991.
Setelah tim ini juara, apalagi? Jangan puas diri dulu. Ini baru langkah awal. Perjalanan masih panjang.  Indra Syafri telah menemukan jalan di rel yang benar. Jalan itu harus dilapangkan lagi, harus dibuka lagi selebar-lebarnya.
Indra Syafri telah “menabrak” kebiasaan lama pencari bakat di tubuh PSSI. Mantan Kepala Pos dan Giro cabang Katapiang, Padangpariaman, masuk kampung keluar kampung mencari pemain pemain bertalenta. Buah dari kekecewaannya ketika menjadi pemain dulu.
Tahun 1985, Indra Syafri masuk tim Pra PON Sumatra Barat.  Ketika itu, ia berontak karena banyak pemain yang memiliki kemampuan di atas rata-rata tidak terpantau pemandu bakat yang cenderung hanya melihat pada pertandingan-pertandingan besar saja. Apa yang dirasakan Indra Syafri juga dirasakan ribuan atau ratusan ribu anak muda Indonesia dalam kurun waktu yang sangat panjang.
Setelah lulus pendidikan pelatih berlisensi A, Indra Sjafri pun mulai bergerilya ke daerah- daerah terpencil. Tak kurang dari 43 daerah sudah dikunjungi demi mencari bibit terbaik untuk Indonesia. Ayah dua anak ini  mengaku sempat bersusah payah untuk mencari bibit pemain terbaik ke Muara Teweh, sebuah kota kecil yang kini masuk provinsi Kalimantan Utara. Kesana hanya bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama 10 jam.  
Aktivitas mendatangi daerah-daerah itu ternyata mengemban misi;  menyeleksi langsung pemain-pemain di daerah yang selama ini luput dari radar talent scouting PSSI,  untuk membangkitkan gairah sepakbola dan menularkan ilmu kepelatihan yang didapat Indra Sjafri untuk menyamakan persepsi pembinaan kepada pelatih.
“Hasilnya, saya bisa menyebutkan jika Timnas U-19 yang saya bawa untuk Piala AFF 2013 dan kualifikasi Piala AFC, merupakan representasi sesungguhnya dari Indonesia,” katanya sembari pernah menyebutkan, menolak  naturalisasi karena ia yakin bahwa bangsa yang besar ini punya pemain berpotensi selangit yang masih bisa ditemukan. Setidaknya telah dipertontonkannya pada Timnas U-19 yang juara Piala AFF, dan sebelumnya dua kali juara di Hongkong.
Hasil yang diraih Timnas U-19 ini setidaknya bisa menjadi cermin bagi kita semua, sesungguhnya apa yang diimpikan jika ditindaklanjuti dengan kesungguhan dan keseriusan, akan mampu memberikan hasil terbaik. Lihatlah apa yang terjadi pada 2010, ketika ia diberi tugas  di Piala AFC di tahun 2010. Ketika itu, ia hanya diminta untuk menangani tim yang sudah disodori  nama-nama pemain tanpa punya kewenangan untuk mencari. Hasilnya hanya berada di peringkat tiga. 
Kini, saatnya meninggalkan “tradisi” buruk membawa pemain titipan atau like and dislike, kemudian  mengelola tim yang dibangun dari pondisi seleksi ketat dan pematangan yang benar.
Jebreettttt, Garuda Muda juara! Garuda Jaya! * (email: firda71_padang@yahoo.com)


Catatan: Tulisan ini dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Selasa (24/9)

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...