13 October 2013

Pak Ogah

Oleh: Firdaus

Mendengar orang menyebut namanya, maka yang terbayang adalah sosok unik di film boneka Si Unyil, yang sangat populer di tahun 1980-an.
Dikatakan unik, lantaran karakternya pada film yang ditayangkan setiap Minggu pagi itu sangat khas. Kepalanya plontos. Mangkalnya di pos ronda yang selalu dilewati banyak orang. Setiap orang yang minta tolong padanya selalu dimintai uang.
"Cepek dulu..." pintanya dengan intonasi yang terasa didendangkan.
Saking melekatnya karakternya, sejak itu ada dua persamaannya yang kemudian dilekatkan pada sosoknya.
Orang yang plontos dipanggil dengan panggilan Pak Ogah. Orang yang membantu proses kelancaran lalu-lintas, juga disebut sebagai Pak Ogah.
Pak Ogah yang satu ini beda. Saya mengenalnya secara tak sengaja. Ketika itu saya berkunjung ke salah satu kabupaten di Sumbar.

Disaat ngopi disebuah warung, wartawan Padang Ekspres di kabupaten itu menelpon seseorang. Tak lebih dari lima menit berselang, sebuah sepeda motor berhenti di depan warung itu. Pengendaranya turun, lalu menuju ke arah wartawan muda itu dan kemudian mengeluarkan dua bungkus rokok berbeda merek dari dalam tasnya.

"Isi tasnya lengkap," kata kawan tersebut.
"Maksudnya?" tanya saya.
"Apa pun kebutuhan harian yang diminta, bisa dipenuhi Pak Ogah," jawabnya.
Saya masih agak bingung. Belum sempat tanya berikutnya berlanjut, kawan tersebut merinci lebih detail.
Pak Ogah awalnya hanya tukang bersih-bersih di kantor bupati. Pekerjaan itu dijalani dari pagi sampai sore. Disela-sela waktu kerjanya, jika pegawai mau pun tamu di kantor bupati minta tolong belikan sesuatu kepadanya, cukup hubungi ke hp-nya, Pak Ogah akan datang dengan membawakan apa yang dipesan.
Beragam pesanan yang diminta, akan dipenuhi Pak Ogah. Dari rokok, tisu, kertas, nasi bungkus, kopi, teh  manis, kue-kue, air galon, mau pun kebutuhan orang-orang di kantor.
Soal harga, Pak Ogah pasang tarif murah. Ia menyampaikan kepada si pemesan sesuai harga barang. Belanjaan yang diantarkan Pak Ogah dibeli di kedai-kedai seputar kantor bupati. Ia tak melebihkan harga barang yang dibelinya.
"Beliau membantu begitu saja?"
Inilah menariknya, kata kawan tersebut. Sekali pun dibelikan terlebih dahulu dengan uangnya, namun Pak Ogah tak menaikkan harganya. Sikap itu menghadirkan simpatik dari pemesan, sehingga sering Pak Ogah menerima bayaran lebih.
Jika dipesan belikan sebungkus nasi, Pak Ogah justru dapat ucapan terima kasih sebungkus nasi, jika diminta bantuan membelikan segelas kopi, ia kebagian segelas kopi pula."Jatah"-nya disimpan dalam .entah"-nya.
Jika dihitung, sebenarnya pembayaran yang harus lebih besar dari harga sesungguhnya.  Layanan dan keikhlasan Pak Ogah, ternyata disenangi orang-orang  yang memintai pertolongannya.
Keseharian  Pak Ogah ternyata menarik bagi bupati. Kata sang kawan, pernah dalam apel pagi bupati menyampaikan keberadaan Pak Ogah di hadapan pegawai dan para SKPD.
Kata bupati, Pak Ogah patut dijadikan inspirasi bagi pegawai. Keikhlasan, kemauan dan caranya mendapatkan pemasukan di luar pemasukan resminya, perlu ditiru.
Kalau langkah itu ditindaklanjuti kepala SKPD untuk  meraih pemasukan lain demi  menambah anggaran instansinya, tentu akan bermanfaat besar bagi masyarakat.
Artinya, kepala SKPD tak hanya bisa belanja saja, atau berlomba-lomba menghabiskan sisa anggaran (terutama jelang tutup buku di akhir tahun), tetapi juga mencari terobosan untuk mendapatkan pemasukan.
Tak hanya bagi SKPD, tetapi pesan yang dilahirkan Pak Ogah patut ditiru siapa saja.*

(Tulisan ini dimuat pada rubrik KOPI MINGGU, Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 25 Desember 2011)

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...