22 October 2013

Semua Bisa Dikalahkan, Kecuali Tuhan!

Menapaki Piala Dunia U-20 di Selandia Baru, Tahun 2015:


Catatan: Firdaus



Ahai! Entah kenapa, tiba-tiba saya menjadi lebay. Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, dua kali saya menyaksikan sepakbola di tv, diiringi perasaan harubiru. Mata berkaca-kaca. Ada butiran bening, panas, menggantung di sudut kedua mata. Lalu jatuh berderai. Ah, lebay!

http://dicas.guiamais.com.br/wp-content/uploads/2012/07/Bola-na-Rede.jpg
Saya mulai menyaksikan siaran langsung sepakbola di tv, sejak Piala Dunia di Spanyol, tahun 1982. Ketika itu, saya masih duduk di bangku SD. Menonton di tv tetangga.  Siaran langsung, siaran tunda, dan highlight-nya ditayangkan TVRI. Saya terpesona pada penampilan Paolo Rosi dan Dino Zoff.
Sejak masa itu hingga kini, baru dua kali saya merasakan keharuan yang mendalam.   Peristiwa itu, terjadi dalam waktu hampir berdekatan. Kejadian pertama, sepanjang partai Indonesia vs Vietnam, di babak final Piala AFF. Ada kebanggaan yang tiada terkira pada perjuangan Evan Dimas dkk. Bagi saya, penampilan mereka merupakan penampilan terbaik Timnas Indonesia (kategori apa pun) yang pernah saya lihat.
Ada perasaan senang, ternyata Timnas Indonesia sudah bisa bermain bola secara benar. Persoalan elementer selama ini; kontrol yang kurang cermat, passing yang tak jelas arah, kerjasama yang tak maksimal, emosional dan egois, tak lagi menonjol. 
Kebanggaan itu kemudian menjadi keharuan yang tiada terkira, setelah tendangan pinalti Iham Udin Armain, berhasil memperdaya penjaga gawang Vietnam.  Butiran bening  di sudut mata itu kemudian jatuh tanpa disadari.
Kejadian kedua, selang duapuluh hari kemudian, ketika penentuan nasib Timnas U-19 menghadapi Korea Selatan (Korsel) pada partai terakhir grup G Piala AFC. Setelah Korsel menyamakan kedudukan 1-1, secara beruntun Evan Dimas menambah dua gol. Indonesia unggul 3-1. Sebuah hasil yang membuat saya tak percaya. Indonesia menang besar. Kalau pun kemudian Korsel mampu menambah satu gol lagi, tetap saja saya menilai bahwa kemenangan Timnas Indonesia sebagai kemenangan besar. Indonesia bisa mencetak tiga gol secara beruntun.
Awalnya, “bursa taruhan” menjadi milik Korsel. Tak ada alasan untuk tidak menjagokan negeri ginseng ini, apalagi setahun sebelumnya, Korsel menjadi juara. Mayoritas punggawa tim yang dihadapi anak-anak asuhan Indra Syafri turut membela Korsel, tahun lalu. Ketika itu, anak-anak Korsel meraih gelar untuk ke 12 kalinya pada 2012.  
Prestasi Korsel di ajang U-19 sangat luar biasa. Torehan 12 kali menjadi juara tersebut menempatkan Korsel sebagai negara terbanyak memperoleh gelar, di atas Myanmar yang menempati posisi kedua dengan tujuh kali juara. Bandingkan dengan prestasi Timnas Indonesia. Torehan yang dibukukan terakhir di tahun 1967 dan 1970, meraih gelar runner up. Sisanya, juara pada tahun 1961. Peringkat tiga pada tahun 1962, peringkat empat pada tahun 1960 dan 1964. 
Setelah menuntaskan misi menembus babak final Piala Asia (AFC) U-20 secara murni, pascajuara grup G, target baru sudah dipatok pelatih asal Tarusan, Pesisir Selatan, Sumbar, Indra Syafri; Menapaki Piala Dunia U-20 di Selandiabaru, tahun 2015. Caranya? Minimal menjadi finalis pada pagelaran Piala Asia U-19 di Myanmar, tahun 2014.
Ini target ketiga Indra Syafri mengomandoi anak-anak asuhnya, Timnas Indonesia U-19. Dua target terdahulu, juara Piala AFF 2013, dituntaskan secara manis. Menembus final Piala AFC 2015, dilewati secara spektakular. Tinggal menuntaskan misi ketiga; menembus final Piala Dunia 2015 di Selandiabaru.
Melihat rekam jejak 15 negara pesaing pasukan Indra Syafri di Myanmar, tahun depan, sangatlah berat untuk menggapai target ketiga yang dipatok untuk Evan Dimas dkk. Indonesia harus bertarung dengan 15 negara pelanggan partai final U-20, termasuk Korsel yang baru saja dikalahkan.
Pesaing di Myanmar, selain tuan rumah dan Korea Selatan (12 kali juara), ada Irak (5 kali juara), Iran (4 kali juara), juga ada Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, Vietnam, Korea Utara, Jepang, China, Australia, Korea Selatan, Uzbekistan, Thailand dan Yaman, yang memiliki tradisi sepakbola sangat kuat di Asia. 
Sekali pun berat, namun  rakyat Indonesia yang melihat perjuangan anak-anak asuh Indra Syafri sejak Piala AFF hingga penyisihan grup Piala AFC, tak akan  pesimistis sedikit pun. Malahan mengiringi langkah Evan Dimas dkk dengan sikap optimistis.
Optimisme muncul karena banyak alasan. Pertama, Indra Syafri dan perangkat tim, telah mampu “menyulap” anak-anak Garuda Jaya menjadi sebuah kekuatan baru yang sangat dahsyat. Selain menempa dengan kematangan teknik, persoalan non teknis juga diberikan, sehingga memberikan motivasi berlebih kepada pemain.
Di antara persoalan nonteknis yang sempat dicatat tersebut, di antaranya; seluruh tim diberi motivasi berlebih. Semuanya sangat percaya diri. Termasuk melawan juara bertahan Korea Selatan. Setiap akan tampil, semua anggota tim, terutama pemain, diminta untuk menelpon orang tua dan sekaligus meminta doa dan restu. Doa dari orang tua adalah doa yang sangat dahsyat. Hanya Tuhan dan orang tua yang tak bisa dilawan.
Pendekatan pada agama, tak peduli apa pun agama anggota timnya, Indra Syafri selalu mengingatkan anggota timnya untuk tidak takabur dan percaya pada kekuasaan Tuhan  yang paling sempurna. Keyakinan pada prinsip; Tak Ada yang tak bisa dikalahkan, kecuali Tuhan! Ditanamkan begitu kuat oleh sang pelatih, sehingga ---terutama saat menjelang menghadapi Korsel---- sejumlah status di sosial media punggawa Timnas U-19 mengutip kalimat tersebut; Tak Ada yang tak bisa dikalahkan, kecuali Tuhan!
Termasuk dalam penamaan. Selama ini  Timnas berjuluk Garuda.  Demi menanamkan semangat kebangsaan dipakai  julukan, Garuda di Dada.  Timnas yunior dinamakan Garuda Muda. Indra Syafri langsung menanamkan sikap optimis dalam sebutan timnya. Tak lagi Garuda Muda, tetapi Garuda Jaya! Garuda yang akan mencapai masa jaya. Garuda yang segera Berjaya. Hasilnya? Kejayaan telah dicapai ditingkat Asia Tenggara. Kini Garuda telah terbang tinggi untuk menembus final Piala Asia.
Berdoa, berusaha dan bersyukur, merupakan menu wajib yang diingatkan pelatih, sehingga tak mengherankan, jika selebrasi usai mencetak gol selalu diiringi dengan sujud syukur. Sebuah  pemandangan yang semakin meningkatkan dukungan masyarakat.  
Kedua, Indra Syafri telah membuka mata kita semua. Ia berpegang teguh pada prinsip dasar atau hakikat sesungguhnya. Tak mau programnya diintervensi, tak ada kesempatan untuk titip-titipan pemain,  memasang standar tinggi ketika pencarian bakat. Standarnya; skill tinggi, fisik prima, teknik tinggi, dan bermental baja.
Tindaklanjutnya,  terbukti, selain memiliki mental yang kokoh, seluruh punggawa Timnas Indonesia U-20 juga memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Bagi Indra Sjafri, gol memang tak harus datang dari kaki Maldini Palli, Muchlis Hadi Ning Syaifullah atau Ilham Udin Armaiyn. Menurut Indra, gol bisa datang dari mana saja.
Kita tentu sudah tak sabar menanti pergantian hari demi hari, hingga laga 16 negara pada final Piala Asia, di Myanmar, tahun 2014, akan mengantarkan pasukan Indra Syafri menembus semifinal (empat besar), sehingga Indonesia memastikan satu tiket ke Piala Dunia U-20 di Selandiabaru, tahun 2015.
Jika itu benar-benar terjadi, tak dapat saya bayangkan. Mungkin perasaan harubiru, mata berkaca-kaca. Ada butiran bening, panas, menggantung di sudut kedua mata, lalu jatuh berderai. Tak hanya terjadi pada saya, tapi (mungkin) pada semua rakyat Indonesia. Ah,  jangan lagi dikatakan lebay, sebab sang arsitek Indra Syafri mengatakan, semua bisa dikalahkan, kecuali Tuhan!

(firda71_padang@yahoo.com)

Catatan:
Tulisan ini dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres dan Harian Umum Rakyat Sumbar, edisi Sabtu 19 Oktober 2013. Dimuat juga pada http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=47951



No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...