01 September 2013

M u n d u r

Cerpen: Firdaus Abie

“Pergi dulu, bu,” kataku sembari menyelipkan sumpitan tua  peninggalan ayah ke balik baju bagian belakang.
“Apa semuanya sudah beres?”
“Beres, bu, bahkan sumpit ini sudah pula kubersihkan kemarin. Pokoknya dijamin tak bakalan macet lagi seperti kemarin itu,” jelasku mengeluarkannya kembali dari balik baju tersebut yang kuiringi dengan memukul-mukulkan lembut ke telapak tangan kiriku.
“Aku jalan dulu seiring dengan harapan doa dari ibu agar aku membawa hasil buruan dengan gilang gemilang,” tambahku dan segera begegas melangkah menuju halaman.
”Hati-hati, ya” sambung ibu setengah berteriak padaku.
”Beres, bu”
Lalu kutelusuri jalanan setapak menuju hutan Alam dengan langkah-langkah pasti. Siulan kecil selalu setia menemani setiap saat perjalananku menuju tempat yang direncanakan. Kalau telah dower mulutku berdendang, kucoba untuk berhenti sejenak dan kemudian kembali bergema slulan-slulan kecil nan ditemani desahan pepohonan yang menari-nari bergemulai ditiup sang bayu dan iringan melodi syahdu kicauan burung-burung yang berberbangan, bergelantungan dari satu dahan ke dahan yang lain.
Aku senang dapatkan yang begitu berharga dalam hidupku, dalam setiap langkahku menjalani hari-hari dari satu hutan ke hutan lain demi perburuan.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. setengah harian telah kulewati tanpa sadar. Aku semakin jauh masuk ke dalam hutan yang berarti semakin jauh pula meninggalkan rumah. Meninggalkan rumah. Meninggalkan segala sumber kehidupanku. Di sana tempat berteduh, berdiang di kala dingin, mendapatkan segalanya dari ibu.
”Kau mesti menyadari, hidup ini tidak gampang. Walau kita jauh di tengah hutan terpisah dari kehidupan orang banyak, namun kita juga butuh mereka. Tak selamanya kita dapat hidup sendirian tanpa bantuan mereka. Kau mesti tahu, roda kehidupan yang bergilir dari waktu ke waktu senantiasa menanti manusia-manusia nan lalai dalam melewati kehidupan itu sendiri dan kemudian roda-roda itu kan menggilas orang-orang yang lalai tersebut. Kau masih ingat bukan dengan kata kata almarhum ayanmu, kehidupan manusia tak obahnya dengan sebongkah karang yang berdiri kokoh di pesisir sebuah pantai. Walau ia terpisah dari yang lain, namun suatu saat ia akan roboh dan ambruk digerogoti keganasan air laut yang sepanjang masa mengusiknya bersama desahan angin serta badai. Begitu juga dengan kita, walau kita telah hidup peneh kesederhanaan suatu saat semua itu akan luntur dan kita sendiri akan ambruk. Nah, sekarang saja secara perlahan kita telah rasakan keruntuhan itu. semenjak ayahmu pergi untuk selamanya buruan yang kira perloleh sedikit berkurang. Camkalah...!” kata-kata itu demikian selalu terngiang-ngiang di telingaku apalagi setiap kali aku berburu dan kata-kata itu seakan punya magnet yang kuat dalam memompa semangat hidupku.
Kusandarkan tubuh melepas lelah di sebatang pohon beringin nan cukup rindang. Angin berhembus lembut membuai diriku, antarkan kesegaran. Kujulurkan kaki dan  bersamaan dengan itu pun kicauan punai-punai saling bersahutan menyibak kesunyian hutan. Aku tertegun begitu tahu asal suara punai-punai itu. Tak hanya punai yang bertengger penuh kedamaian di beringin tersebut tapi juga ada seekor burung berlainan jenis dengan kelompok punai punai itu
Aku tak tahu jenis burung yang satu itu. Baru kali ini aku menjumpainya. Bulunya cantik sekali. Tak terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan burung-burung yang lain yang pernah aku kenal. Aku suka dengannya bersamaan dengan keinginan untuk memilikinya. Kupersiapkan sumpitan dan beberapa detik kemudian peluru sumpitan pun meluncur cepat ke arah burung itu dan kena...! burung itu pun jatuh.
Dengan langkah tergesa-gesa kuhampiri tempat jatuhnya burung itu dan segera menibak rerumputan untuk mecari burung hasil buruan sumpitan tua. Lama juga aku mencarinya. Hasilnya, buruan itu berhasil aku jumpai.
Ku genggam burung itu. Aku semakin heran, baru kali ini aku berjumpa dengan burung yang seperti dalam genggamanku kali ini. ”Oh kasihan, jantungnya tembus tempat bersarangnya anak sumpitan yang lumayan runcing. Sayapnya dikibas-kibaskan, suaranya masih tetap bekicau dengan lembut dan syahdu. Jauh lebih lembut dan syahdu dari kicauan burung-burung yang lain. Kasihan...” kataku membatin dalam hati. Kuperiksa dengan teliti sekali, bertina.
Tiba-tiba tanpa kusadari burung itu terlepas dari genggamanku. aku lengah dan burng itu pun terbang dengan gesitnya meninggalkan genggamanku. Aku terkejut. Burung itu pun segera kembali bergabung dengan punai punai yang masih setia bertengger di beringin itu. semuanya berkicau, keras sekali kicauan itu yang seakan bersorak merayakan kebebasan teman mereka dari tanganku.
Aku semakin heran tak mengerti, ”kok burung-burung itu tak segera terbang menjauh meninggalkan diriku bersama tempat ini? Padahal tadinya salah satu diantara mereka sudah terancam keselamatannya dan tidaklah mereka takut dengan bahaya yang lain?” tanyaku keheranan.
Kutatap burung-burung yang masih berkicau itu lalu kukeluarkan kembali sumpitan beserta anaknya, kemudian...? Aku tertegun segera niat itu kuurungkan. Tak ada lagi keinginan di hatiku untuk menembaknya. ”ia bukan jodohku karena telah terlepas dari tangan,” pikirku dan kemudian burung-burung itu pun terbang menjauh dariku dan dari sasarn sumpitanku.
Aku pun kemudian melangkah meninggalkan tempat semula dan terus menembus kesunyian hutan yang telah begitu akrab dengan diriku, Walau berjalan sendirian di tengah hutan aku tak merasa takut mau pun gentar sedikit pun jua.
”Seorang pemburu harus berjiwa pemberani, bila perlu nekad,” itu yang sering diingatkan ayah padaku sebelum beliau menghembuskan nafasnya menuju peristirahatan terakhir.
Kugosok-gosok lubang hidung ku berkali kali menyakinkan penciumanku, tak salah lagi, bau seekor rusa betina. Kuamati dengan seksama perhitungan gembari memasang kuping baik-baik mencari asal di mana rusa itu berada dengan berjalan sambil mengendap-endap
Benar. seekor rusa betina engah beristirahat di bawah sebatang pohon yang sangat rindang sekali.
”Rezeki besar  aku hari ini. Ibu  pasti senag dengan hasil buruanku, tubuhnya berisi, gemuk dan kekar. Mulutnya itu, duh... mungilnya. Aku suka,” bisikku perlahan bersamaan dengan memasukkan beberapa peluru ke dalam sumpitan dan bersiap untuk menghembuskan nya. Tapi mendadak ada bunyi kresek... kresek...kresek. Bunyi ranting dan daun kering yang terinjak. Rusa itu pun segera berdiri dan lari dengan cepatnya.
Kuperhatikan arah suara itu, ternyata seekor lagi. Rusa betina itu pun menghampiri yang baru datang dengan berlari. Rusa itu sangat gesit melompati rintangan-rintangan. alam yang menghalangi langkahnya.
Sebentar saja rusa betina itu sampai dekat yang baru datang dan mengulurkan lidahnya. Ada apa ini? Oh, ia minta buah-buahan yang dibawa rusa yang satu itu. Mesra, mesra sekali pemandangan ini. Ternyata semenjak tadi ia menantikan makanan yang dibawa rusa jantan itu. Yah, tak salah lagi yang baru datang itu pastilah rusa jantan. Aku tahu betul perbedaan nya. Bukan saja perbedaan  rusa rusa itu, tapi seluruh binatang aku tahu hingga semut yang kecil sekali pun. Semua ini kuketahui dari ayah. Aku berkata sendirian.
Aku tertegun, sebentar kuperhatikan tingkah sepasang rusa itu. Mesra sekali mereka berlarian berkejaran mengelilingi pohon nan rindang di hadapan mereka tanpa menyadari sebuah bahaya mengancam keselamatan mereka. Bahaya itu datang dari ujung sumpitanku!
setelah puas berlarian mengelilingi rintangan alam menyusuri rimbunnya perpohonan si betina meninggalkan sang jantan yang tersandar sendirian di sebatang pohon, yang bagian atasnya gersang sedangkan si betina terus berjalan dengan santainya ke arah selatan, kuikuti perjalanannya dengan hati hati dan mengendap-endap. ia menuju sebuah telaga berair bening dan kemudian menyebur di sana. senang sekali kelihatannya.
Tak lama kemudian sang jantan pun menemaninya menceburdi telaga yang berair sejuk itu sembari tersenyum menikmati kemesraan yang tiada taranya. Seandainya mereka menyadari bahaya yang mengancam ini, tentu mereka telah pergi dan segera menjauh, pikirku dalam hati.
Aku berpikir, inilah kesempatan terbaik bagiku untuk melepaskan tembakan sumpitan. akan kusumpit yang betina saja karena aku lebih suka dengannya yang memiliki postur tubunya jauh lebih baik dari yang jantan. Pasti ibu akan senang dan bangga sekali dengan hasil dengan hasil yang aku bawa pulang hari ini. Sejumlah peluru pun kumasukkan ke dalam sumpitan dengan maksud memberikan tembakan yang beruntun. Ketika aku hendak meniup, tiba-tiba tiupan itu seakan tertahan. Aku tak tega. Kupungut kembali isi sumpitan itu dan terhenyak dalam ketermenungan.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu mengalir dalam deriku dengan deras sekali. Dadaku berdebar tak karuan, denyur nadiku bergetar dengan sangat deras sekali. aku tak tega mengusik kemesraan kalian yang telah terjalin selama ini. suatu nilai dosa, yang tak terhingga bagiku memisahkan hubungan kalian. Aku kini  sadar, kehadiran diriku yang baru ini tak ingin untuk mengganggu kalian lagi. Maafkan aku, sekarang
berbahagialah kalian walau hubungan kalian itu berawal dari sebuah telaga. Aku yakin kemesraan ini akan tetap berlanjut hingga akhir nanti. Lihatlah air telaga nan bening, sejuk dan menyiramkan kedamaian bagi kalian. Berbahagia dan bersatulah kalian untuk selamanya. Aku tak akan lagi datang mengganggu kalian. Mulai detik ini kukubur habis habis harapanku untuk menjadi seorang pemburu, akan kucoba menyeret langkah itu menuju negeri orang yang bukan berada dalam hutan.
Kucoba dengan apa yang kumiliki untuk mendapatkan yang lain dari pada berburu. ”Hanya satu permintaanku pada kalian, izinkanlah sewaktu-waktu aku datang lagi ke mari untuk menjumpai kalian, menengok jalinan kemesraan di masa masa yang akan datang. Selamat tinggal....” desahku  sambil melangkah meninggalkan sepasang rusa nan tengah bermesraan dalam cinta dan kasih sayangnya.

(Kado Ultah toek Some One di Khabasceman. Menjelang senja 22-23 Feb 1992). 



Catatan:
Cerpen ini dimuat Harian Haluan.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...