16 February 2020

Lirih


Cerpen: Firdaus Abie


 Aku tertegun. Terpana. Mama menyebut nama itu lagi, lalu memintaku untuk mencarinya. Mencari sampai bertemu dan harus jemput terbawa.
“Mama ingin bicara dengannya,” pinta mama, terbata-bata.
Mama mengulangi permintaannya.  Aku tak kuasa mendengar, apalagi mengabulkannya. Terlalu sulit bagiku. Bagaikan minta sisiak ke limbek, minta kokok ke harimau. Aku bergegas ke kamar, mengunci pintu, lalu melemparkan tubuh ke kasur. Kucoba menahan tangis, tapi air mata jatuh berderai sekalipun aku benamkan sedalam-dalamnya ke bantal.
Mama menyebut nama lelaki lagi itu, padahal aku  sudah menguburnya, membenamkan di palung laut terdalam di Samudera Hindia.  Kenapa  mama memunculkan nama itu kembali? Mimpi apa yang membuat mama menghadirkan namanya? Nama yang membuat aku terluka, bagaikan diiris-iris sembilu berbisa. Luka mengelepuh, mengelupasi hati.
Ini ketiga kali mama menyebut namanya secara tiba-tiba. Tiga puluh tahun silam, ketika aku baru saja pulang dari asrama, mama menyambut dengan sebuah pertanyaan, “kenapa sudah lama Sandi tak main ke rumah?”
Pertanyaan yang berat untuk kujawab dengan jawaban sesungguhnya, tapi aku paksakan diri  menggoda mama, “mama kangen dia?” tanyaku manja.
Mama  tak langsung menjawab serangan balikku, tapi melepas sore menjelang magrib, mama  mengajukan pertanyaan serupa; kenapa sudah lama Sandi tak main ke rumah?
“Apakah kalian bertengkar?” pertanyaan mama bagaikan petir menyambarku.
Aku terkejut. Oh, mama telah salah menduga. Sandi bukan siapa-siapaku. Aku juga bukan siapa-siapa baginya,  kecuali hanya seorang teman. Tak lebih. Ia tak pernah menganggap kehadiranku. Tak pernah tahu perhatianku padanya. Tak pernah tergoda pancinganku. Tak pernah melirikku lebih dari sekedar teman.
Tak pernah aku berdandan cantik kalau tidak untuknya. Tak pernah aku memperbaiki diri untuk seorang lelaki mana pun, kalau bukan untuknya. Tapi  kenapa ia tak tertarik?  Ia dingin. Sedingin pagi  di Alahanpanjang.
Kali kedua, dua puluh enam tahun silam. Ketika terhempas dalam keputusasaan, aku bagaikan sapi yang ditusukan tali ke hidung, lalu pasrah saja menerima pinangan juragan coklat. Aku tak berpikir panjang, padahal belum dua purnama aku mengenalnya.
“Tundalah dulu, dua atau tiga tahun ke depan,” pinta mama.
“Kenapa harus ditunda, Ma?” tanyaku.
“Tunggulah Sandi,”
“Ia entah dimana, Ma”
“Carilah. Carilah. Ia pasti masih di kota ini,”
Aku turuti permintaan mama. Aku coba mencari kabar. Tapi aku harus mencari kemana? Kota kecil ini begitu besar untuk mencari orang yang tak jelas rimbanya. Kota kecil ini begitu besar untuk mencari jarum ditumpukan jerami.
Sehari, tiga pekan, dua bulan berlalu. Aku berharap, jejak masa lalu mengantarkanku  membawanya pulang.  Kuseret langkah optimis, penuh percaya diri. Aku berharap, ia masih di sana.
“Sebulan setelah menikah, ia mengundurkan diri,” kata seorang perempuan muda, tidak terlalu cantik, ketika kutanyai tentang lelaki yang kucari.
Aku mendapatkan tempat kerjanya, setelah keluar masuk dua toko, satu tukang pangkas rambut dan rumah makan. Aku mendatangi tempat-tempat tersebut dari informasi mulut ke mulut, tempat ia pernah bekerja. Tapi di tempat ia terakhir,  perempuan ini mengaku tak tahu.
Ia  tak tahu dimana Sandi sekarang. Dalam ketidakpastian itu, kutinggalkan juga  secarik kertas, berisi alamat dan teleponku. Aku berpesan, kalau suatu saat ia kembali, atau menelpon, tolong dikabarkan; aku menunggunya.
Ketika hari berlalu, kucoba juga untuk menanyai kabar kepada perempuan yang kukenal di kantor tersebut. Setiap bertanya, selalu jawabnya tak ada kabar. Aku semakin putus asa. Mama terus saja menyabarkanku. Bersabarlah. Sabarlah. Tunggu agak dua atau tiga tahun lagi. Jangan tergesa-gesa. Kata Mama, ia lelaki sempurna.
Aku jadi bertanya-tanya. Jika memang ia lelaki sempurna, kenapa tak tahu ada yang merindukannya. Ada  yang memendam rasa untuknya. Rasa yang kubawa sejak mula mengenalnya. Rasa yang juga dipunyai Mama. Rasa yang juga dimiliki Uni Teti, Uni Aad dan Uda Dhani. 
Aku mendambakan sebelum Mama dan Kakakku menyukainya, tetapi aku  menyimpan rapat-rapat. Aku tak mau disebut perempuan gata. Di adat negeriku, berpantang anak perawan mengungkapkan rasa pada lelaki lebih dahulu. Di negeriku, anak perawan harus punya rasa malu, walau rasa  itu dibeberkan kepada Ibu. Aku menyimpan rasa bahagia ketika Mama dan kedua uniku meminta agar  membawanya  jadi bagian keluarga besar kami.
Waktu terus berlalu, aku tak pernah tahu di mana ia berada. Kalaulah aku tahu di mana rimbanya, akan kucari sampai bertemu. Kubawa pulang bertemu Mama. Semakin aku mencari, semakin aku merindu.
Juragan coklat yang hendak meminang, kuabaikan. Aku masih berharap mencari lelakiku. Ku rangkai doa-doa panjang tentangnya. Kusebut namanya dalam diam, dalam rindu, dalam lagu berbalut pilu. Lirih, selirih dendang Ari Lasso. Lagu yang selalu kudendangkan setiap hari, berbalut rindu. Aku memanggilmu, dalam hati lirih. Aku menangis, mengenangmu. Segala tentangmu.
Dua tahun berselang, ia tak kunjung datang. Tak pernah ada kabar. Aku sudah putus asa. Jika pun ia sudah menikah dan datang padaku, aku akan terima ia apa adanya. Tak kuhiraukan statusku berikutnya. Ia cinta pertamaku. Sosok impian Mama untuk anaknya, dambaan kakak perempuanku untuk adiknya.
Kuterima pinangan juragan coklat. Aku berharap, sebelum juragan coklat itu menjabat tangan ayah di hadapan kadi nikah, lelaki itu datang agak sejenak, lalu aku mengajaknya  menuntaskan hasrat yang sudah lama kupendam. Hanya dia yang kuimpikan sepanjang hari. Aku berharap ia datang. Aku tak tidur semalaman, berharap telepon berdering untukku.
Sepekan selepas ijab kabul, aku berharap ia menjadi tamu istimewa. Kulepaskan pandangan sejauh mata memandang, menatap ke pintu masuk, berdoa sepanjang waktu agar ada dia di antara undangan yang datang; kaulah hidupku, hidup dan matiku!
**
Ah, perasaanku bercampur aduk. Mama menatapku dalam. Ada bening di sudut kedua mata mama, “benarkan, apa yang Mama katakan dulu?” kata Mama seakan memukulkan godam raksasa ke kepalaku.
“Tapi, Ma. Aku sudah menunggu dalam ketidakpastian. Iya kalau dia datang, kalau tidak?” balasku.
Sesungguhnya, ada sesak menyanak di dadaku. Ia datang disaat yang tidak tepat. Aku sudah mengandung enam bulan, jelang setahun pernikahanku. Mama menerimanya ramah, aku menyambutnya dalam gelisah. Tanganku menggigil saat menjabat salamnya.
“Selamat, semoga kelak bayinya jadi anak yang saleh,” katanya. Ia tampak lebih muda dari usia.
Benar, ia masih di kota ini. Ketika ku kabari bahwa aku pernah mencari ke kantornya, ia terkejut. Merujuk ke waktu, ia masih bekerja di sana, tapi tak tahu siapa perempuan yang aku maksudkan. Katanya, di kantornya hanya ada tiga orang perempuan, itu pun sudah berusia baya.
Katanya, kehadirannya ke rumah, kali ini, justru karena pesan yang aku tinggalkan. Ia menerima pesan tersebut dua hari lalu. Ia mendapat tugas belajar ke Yogjakarta selama dua tahun lebih.
Aku terpana.
“Ia datang jugakan?  Ia masih mau ke sini, masih mau bicara walau kamu sudah hamil,” kata Mama menahan geram kepadaku, saat Sandi sudah pergi. Ia juga masih sendiri.
“Mama menyalahkaku?” tanyaku mendesak.
Mama diam.
“Kenapa Mama diam? Apakah ini salahku, Ma?”
Tak ada jawaban.
“Jawablah, Ma. Apakah ini salahku? Kenapa Mama tak menyalahkannya juga?”
Ketika anakku lahir, Mama mengusulkan agar aku memberikan nama  lelaki yang dikaguminya.  Aku menolak. Aku tak ingin mas Hendra tahu kalau aku menggunakan nama  lelaki yang pernah kudambakan. Aku tak ingin nama itu justru membuatku terpuruk, selamanya mengingat lelaki yang tak pernah peduli padaku.
Lamunan panjangku dibuyarkan Uni Aad. Ia ke kamarku, lalu meminta aku untuk menemui mama di kamar. Katanya, sejak aku meninggalkan Mama tadi, beliau tak henti-hentinya meratap.
“Mama mengkuatirkanmu,” bujuk uni Aad.
Aku menyeka butiran bening yang sedari tadi berjatuhan di pipi. Kutemui Mama di kamarnya. Beliau menatapku nanar, lalu merangkuh tubuhku. Aku jatuh dalam pelukannya. Mama mengusap kepala hingga punggungku berulangkali.
“Mama hanya mendambakan yang terbaik untukmu,” bisiknya.
Aku tercenung. Mama masih mengungkit masa lalu, masa yang tak mungkin kuraih ketika itu, juga tak mungkin kugapai saat ini. Aku sudah milik mas Hendra, sudah melahirkan tiga putri cantik yang kini beranjak remaja untuknya.
“Aku bahagia bersama mas Hendra.  Aku bahagia dengan anak-anakku, Ma. Aku tak merasa kekurangan dengan keluarga kecilku,” beberku dalam dekapannya.
“Kamu tidak sedang berdustakan? Mama tak pernah mengajarimu berbohong” kata Mama sembari merenggangkan dekapannya.
Aku tertegun mendapati pertanyaan Mama. Raut keriput wajah tuanya menatapku dalam. Dalam sekali. Seakan palu hakim memvonis seorang tersangka yang telah bersalah. Kupeluk Mama erat. Kudekap tubuh kurusnya.
“Aku yang salah, Ma,” bisikku meraung dalam pelukannya.
“Kenapa?” tanya uni Teti dan uni Aad serempak.
Aku menatap ketiganya, terutama Mama. Ku tak kuat. Kupalingkan pandangan dari Mama, namun wajah berharap Mama terlihat jelas. Aku paham. Sejak awal Mama tak suka mas Hendra.
Ketidaksukaan Mama bukan karena lebih duluan mengenal Sandi. Bukan karena itu. Kali pertama Sandi ke rumah, mengantarkan pulang karena terlalu malam menyelesaikan acara kampus, Mama langsung menggodaku.
“Kelihatannya ia lelaki yang sempurna,” kata Mama, tapi ketika itu aku mengabaikan karena terlalu capek dan mengantuk.
Ketika sebulan kemudian, ia datang lagi, menjemputku. Mama mempersilakannya masuk. Tak biasanya begitu. Selama ini, Mama hanya memperbolehkan teman lelaki hanya sampai di teras saja. Calon Uni Teti dan Uni Aad baru diperkenankan masuk setelah ada kata sepakat keluarga, setelah mereka bertunangan dan menunggu jadwal pernikahan.
Perlakuan Mama kepada Sandi, sempat diprotes ketiga kakakku, tetapi Mama tak menghiraukan. Ia menggunakan hak preogratifnya. Mama yakin, Sandi lelaki yang bertanggungjawab, baik, pengertian dan mendekati tipe sempurna. Ia sosok dambaan mama untukku. Kata mama, pasti banyak orang tua lain yang mendambakannya.
Sebelum Sandi ke rumah, pernah ada Dika, tapi Mama tak suka. Ada Biyan, tapi Mama enggan. Jangankan melayani  mereka bicara,  membukakan pagar saja beliau tak mau. Berbeda jika Sandi yang tiba.
“Ia tak pernah tahu kalau anak Mama ini suka padanya. Ia tak pernah peduli kalau ada yang mencintainya,” kataku. Berderai air mata tak bisa ditahan. Gejolak emosiku menerobos ke masa  lalu.
Ia sosok yang kudamba. Sejak awal mengenalnya, aku langsung menyukainya. Di perjalanan waktu, aku semakin tahu, ia sosok yang benar-benar ku impikan. Bermimpi  menyandarkan kepala di bahunya, berangan menyandarkan kepala di dadanya yang lapang, lalu berbagi kisah. Berbimbingan tangan, menyatu, menyongsong kehidupan beranak bercucu, kelak.
Kuteluri cerita tentang dia. Aku sakit hati. Ia sudah ada yang punya. Ia justru kena hati kepada temanku sendiri. Kata temanku, mereka sudah jadian sebelum aku sempat menautkan hati padanya. Apa kurang diriku?
Sakit hati kulampiaskan dengan memikat temannya.  Heru menerima kehadiranku. Aku berharap, Sandi cemburu. Sampai akhirnya Heru bosan dan meninggalkanku, aku tak pernah bisa memikat Sandi. Sepanjang hari ku memanggilnya, dalam hati.
Mama terpana.
“Sudahlah,” katanya, “Mama tahu apa yang kamu rasakan saat ini,  tapi  sudahlah. Semua sudah berlalu. Mama yakin kamu tak akan pernah bisa melupakannya. Tapi kamu harus ingat, kamu harus  melanjutkan hidup bersama keluarga kecilmu. Disampingmu ada suami dan anak-anakmu,”  mama mendekapku.
Tetesan air mata terus berjatuhan. Mama merasakan semua rasa yang kumiliki. Aku tak bisa mendustai hati. Namanya masih kusimpan rapat.
“Semua salahku, Ma,” bisikku.
“Mama ingin bertemu Sandi, sekali saja!” pinta mama mengulang permintaannya.
Aku terdiam. Aku harus mencari kemana lagi? Ketika aku mulai melupakan, namanya menjadi angan ketika mama mengajukan permintaan.
Aku tak pernah bisa membawanya bertemu mama, sampai beliau tiada, menghadap penciptaNya.
Aku tak pernah bisa membawanya pulang. Aku hanya bisa memanggilnya; memanggilmu, dalam hati, lirih. *

*Padang, 30 September 2018 





Catatan:
Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 19 Januari 2020

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...