07 June 2018

Malam Jahanam



Hari belum gelap, namun Mirna sudah menutup jendela kamarnya. Sinar lembayung menerobos masuk dari pintu angin. Pintu kamar sudah terkunci sebelum Mirna menutup jendela.
Mirna membolak-balik pakaian di lemari. Ia mencari sesuatu. Tak lama di antaranya, ia membentangkan handuk kecil dengan kedua tangannya. Handuk itu diciumnya dalam-dalam sembari memejamkan mata.
Sesaat kemudian ia membuka matanya, menjauhkan hidungnya dari handuk kecil itu. Tak lama berselang, ia kembali mengulangi caranya semula. Cara mencium yang sama dilakukannya tujuh kali, setelah itu ia meletakkan handuk itu di bawah bantalnya.
 Selepas Isya, ia membuka separoh jendela kamarnya, lalu menggantungkan handuk kecil di antara jendela yang terbuka. Ketika malam terus bergerak perlahan, ia membuka jendela sepenuhnya. Sinar purnama masuk utuh ke kamar, angin malam berhembus mengibaskan rambutnya yang panjang.
Mirna duduk bersila di atas pembaringan. Jempol tangan kanannya beradu dengan jari tengah dan telunjuknya. Ia menggerakkan ketiga jari itu sekaligus. Ada bongkahan manik-manik hutan pecah diantara ketiga jari yang bergerak. Mulutnya komat-kamit.
Konsentrasinya buyar. Ada suara amak memanggil. Mirna menyahut sebentar, kemudian bergegas merapikan tempat tidurnya, kemudian menutup jendela. Dikuatnya pintu kamar. Amak ternyata hanya mengingatkan, kalau hendak tidur, jangan lupa periksa pintu dan jendela. Mirna mengangguk. Katanya, semua pintu dan jendela sudah ditutup. Ibu pun berlalu. Mirna pun menutup pintu kamarnya dan kemudian kembali  memulai prosesi yang tadi terganggu.
Mirna mengulang kalimat yang dilafaskannya tadi. Berulang ia mengungkapkan. Mulutnya komat-kamit. Matanya dipejamkan. Tekanan pada manik-manik hutan semakin keras. Manik-manik hutan itu pun pecah. Berderai. Diulangi pada manik-manik hutan yang lain. Semakin keras, pecah dan kembali berderai. Begitu berulang kali.
Di sudut kamar  lain, Badri menahan birahi. Ia tak lagi melihat sosok Rabiatun mandi di pincuran, tapi ia menangkap siluet tubuh Mirna. Ditatapnya dalam-dalam. Jakun-jakunnya naik turun seirama derasnya  aliran darah yang menjalar di nadinya.
Sejak Mirna mengatakan kalau ia sering melihat Badri  mengintip Rabiatun mandi di tapian, lelaki jangkung itu merasakan sesuatu yang berbeda pada dirinya. Mirna sama dengan Rabiatun. Keduanya teman Badri sejak kecil. Satu sekolahan saat di SD, tapi Mirna cenderung tak lebih dari teman biasa. Berbeda dibandingkan rasa Badri pada Rabiatun.
Rasa itu berubah seiring waktu. Rasa itu berganti seirama ancaman Mirna. Mirna pernah mengancam Badri, ia akan membeberkan perangai Badri jika lelaki itu menjauhinya. Mirna berterus terang, ia sangat menyukai Badri.
Badri tak memiliki rasa. Ia hanya sangat takut, takut kalau perangainya dibeberkan Mirna. Sejak itu pula, ia mendekati Mirna. Ia berupaya agar Mirna bisa mengampuninya dan kemudian melupakan apa yang pernah ditangkapnya dari perangai Badri. Setiap saat berupaya mencari celah agar bisa bertemu Mirna. Kedekatan mande dengan amak Mirna dijadikan senjata utama agar ia bisa lebih sering ke rumah Mirna. Ia mendekati Mirna dengan dua rencana itu saja; Mirna mengampuninya dan melupakan perangainya.
Pertemuan demi pertemuan terjalin. Mirna juga sering ke rumahnya, tapi bukan semata-mata mencari Badri. Ia diminta amak untuk menemui mande, atau mengantarkan masakan amak untuk mande. Juga sering mendampingi ibu untuk bersilaturrahmi dengan mande.
Waktu telah mengubah segalanya. Pertemuan tanpa rasa telah berganti menjadi rasa yang bergelora. Badri selalu mencari kesempatan agar diminta ke rumah amak. Jika tugas itu sudah diberikan, ia akan berlari mengejar mimpi barunya. Menemui Mirna, perempuan yang seakan memberikan  kedamaian jika disampingnya.  
Badri bangkit. Dikuaknya jendela. Di luar purnama menembus dedaunan, biasnya berlabuh di kamar. Badri melompat keluar jendela, kemudian merapatkannya kembali. Ia berjalan mengendap-endap. Ia mengambil jalan di peladangan, bukan jalan setapak di kampung. Ia tak ingin ada yang melihatnya berjalan menembus malam.
Ia menghindari galanggang di kampung. Di sana, setiap purnama, puluhan teman sebayanya menikmati purnama bersuka cita. Selepas isya, suasana semakin ramai. Setelah pertunjukan randai, anak-anak muda akan menguji ilmu silat tangan kosongnya. Siapa saja boleh menantang siapa pun. Kalah tetap lebih terhormat dari pada menolak tantangan.
Bagi yang menolak tantangan,  tidak diperbolehkan datang ke galanggang selama lima purnama. Jika tidak datang ke galanggang karena takut menerima tantangan, ia akan dikucilkan dalam pergaulan sehari-hari. Itu adat tak tertulis di nagari.
Badri sejak tiga hari terakhir tidak keluar rumah. Ia berdekam di kamar. Ia mengabarkan kalau dirinya sedang demam. Ketika yang lain menguji nyali di galanggang, ia justru mengambil jalan mengendap-endap menjauhi galanggang.
Badri masih merasakan adrenalin beradu nyali di galanggang. Setiap purnama ia merasakannya. Sejak ia pernah menolak tantangan, saat masih duduk di bangku SD, ia langsung terpukul. Sepanjang waktu diolok-olok. Setiap saat disindir. Lima purnama tak boleh ke galanggang tak ubahnya sebuah penyiksaan. Ia tersiksa secara batin dan harga diri.
Kali ini ia lebih aman. Ia mengaku demam. Ada alasan untuk tidak datang ke galanggang, namun ia harus tetap waspada. Jangan sampai ketahuan. Kalau ketahuan, alamat habislah harga dirinya sebagai lelaki dari nagari yang  memiliki jagoan dan petarung ulung. Nagari itu terkenal memiliki para pendekar hebat.
Sekali pun tidak melangkah ke galanggang, namun Badri tetap merasa seperti melangkah ke arena. Adrenalinnya justru lebih tinggi. Ia melangkah dengan langkah tak biasa ke sebuah tempat yang sudah biasa ditujunya.
Badri terus mengendap-endap mendekati jendela kamar yang terbuka. Sejak memasuki pekarangan rumah Mirna, konsentrasinya tertuju pada jendela yang terbuka. Ia meningkatkan kewaspadaan. Tak ingin ketahuan.
Badri juga berpikir, kenapa jendela kamar Mirna masih  terbuka, atau apakah ia lupa menutup?  Badri terus mendekati jendela. Ia berpikir, Mirna pasti lupa.  
Walau sudah waspada, namun dugaan Badri meleset. Sepasang mata mengintai langkahnya. Sesosok bayangan terus mengikuti gerakannya. Badri terus mendekati jendela kamar yang masih terbuka.
”Akhirnya kamu datang juga,” sebuah suara mengejutkan Badri.
Jantungnya seakan copot, lalu putus. Badri terduduk persis di depan jendela. Tubuhnya seakan terpaku ke bumi. Ia tak bisa mengelak. Mirna berdiri tepat di belakangnya.
”Kamu mencari saya?” tanya Mirna.
Badri tak menjawab. Lidahnya kelu. Tubuhnya kaku.
”Aku sudah menduga,” lanjut Mirna.
Ia kemudian membantu mengangkat tubuh Badri yang kaku ke tepi jendela, kemudian mendorongnya. Selang sekejap mata, tubuh Badri sudah berada di jendela dan kemudian mengelinding ke seberangnya. Badri sudah berada di dalam kamar Mirna. Setelah itu, Mirna menyusul. Pintu kamar pun ditutup rapat.
Suasana hening. Badri melepaskan pandangan ke sekeliling kamar yang temaram, tak lagi seterang saat jendela terbuka. Ia seakan mencari sesuatu. Hidungnya pun bergerak-gerak, lalu ia melangkah mendekati tempat tidur. Mirna terkejut, ia  cepat mengemasi barang-barang yang ada di atas kasurnya, namun ia kalah cepat dari Badri. Ada sesuatu yang diambil dari atas kasur.
”Kamu memanggil saya dengan manik-manik hutan?” tanya Badri.
Mirna diam.
Badri kembali mengulangi tanya. Mirna tetap diam.
”Kenapa kamu memangil saya dengan manik-manik hutan?” tanya Badri lagi.
”Kenapa kamu yang memulai, mengintip orang mandi di tapian dan kemudian mengendap-endap ke kamarku? Kalau hanya sekadar memanggil dengan manik-manik hutan, kamu bisa menangkal. Semua orang bisa menangkal panggilan dari manik-manik hutan dengan mudah,” balas Mirna menyerang Badri.
Badri tak bisa menjawab. Ia menyadari, memanggil seseorang dengan manik-manik hutan adalah guna-guna tingkat rendah di nagarinya. Setiap orang yang dipanggil, biasanya menyadari bahwa ada yang memanggilnya. Jika yang dipanggil tidak membayangkan orang yang memanggil dengan birahi, maka panggilan itu akan mental dengan sendirinya.
”Kalau kamu memang merasa benar, sekarang juga silakan keluar dari kamarku,” kata Mirna sembari menguakkan jendela.
Badri segera bergerak dan meloncat keluar jendela. Ketika kakinya hendak dilangkahkan, Mirna mengancamnya. Ancaman itu tak dihiraukan. Ia terus melangkah meninggalkan Mirna.






































No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...