07 June 2018

Menjemput Hati Rabiatun


Sejak melepaskan diri dari Mirna, Badri kembali mengejar cinta Rabiatun. Ia menjemput kisah masa lalu bersama Rabiatun. Perempuan idamannya itu terus dibuntuti. Hari-harinya selalu mencari celah agar bisa kembali dekat pada Rabiatun.
Bisikan untuk kembali mengintip Rabiatun di tapian, sepanjang waktu terus membuntutinya. Ketika bisikan itu semakin deras, Badri sudah melangkah menuju tapian menjelang asyar. Ketika langkahnya terus mengarah ke tempat biasa dulu ia mengintip, darahnya mengalir deras.
Badri tertegun. Langkahnya terhenti. Ia merasakan ada sesuatu yang menjalari tubuhnya. Bulu romanya berdiri. Perasaan cemas berubah menjadi ketakutan. Ia menggigil dalam diam. Selang beberapa saat kemudian, ia balik kanan dan kemudian melangkah meninggalkan tapian.
Impiannya menjemput hati Rabiatun tak bertepuk sebelah tangan.  Tak ada yang tahu hubungan mereka. Sekali-sekali mereka mencuri kesempatan juga. Mereka bertemu secara sembunyi-sembunyi. Memadu kisah kasih yang sudah mereka bungkus bersama. Hati Badri berbunga-bunga. Perasaan masa lalunya semakin nyata. Mulai ada balasan tepukan cintanya dari Rabiatun. Ia semakin yakin kalau  Rabiatun sudah dalam genggamannya.
Pertemuan demi pertemuan yang mereka rancang, membuat keyakinan Badri semakin berlipat ganda. Rabiatun sudah membalas cintanya. Rabiatun sudah takluk dalam bisikan cinta yang diucapkannya.
Berlahan  gejolak di batin Badri semakin menjadi-jadi. Ia ingin segera mengakhir hubungannya dengan Rabiatun di pelaminan. Ia tak ingin mensia-siakan kesempatan. Baginya bisa dekat, berhubungan dan kemudian mengajak gadis itu jalan, sekali pun sembunyi-sembunyi, adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Capaian ini merupakan perjalanan terpanjang yang pernah dilaluinya dalam kehidupan.
Badri ingin segera  mempersunting Rabiatun. Keinginan itu semakin kuat. Ia juga sudah punya pegangan. Ia sudah melanjutkan pekerjaan ayahnya, pekerjaan itu akan menjadi sandaran baginya menjalani kehidupan.
Keinginann mempersunting gadis itu sudah sangat kuat. Ia semakin tergila-gila. Ia tak ingin gila benaran. Ketergilaannya tak lagi sebatas pemandangan yang pernah  dilihatnya di tapian, tapi hasratnya semakin kuat pada gadis itu. Sehari saja tak jumpa, Badri akan membelah malam, melintasi semak belukar, walau sekadar lewat di depan rumah Rabiatun.
Setelah merasa mantap, Badri menyatakan keinginannya untuk mengajak Rabiatun ke pelaminan, lalu meminta kepada Rabiatun agar keluarganya datang manapiak bandua[1], lalu melamar dirinya.
Permintaannya kepada Rabiatun diucapkan ketika dirinya sangat yakin bahwa gadis itu mencintainya. Selama ini ia tahu kalau Rabiatun masih sendiri. Jangankan datang kepadanya, dari cerita di lapau, justru tak sedikit yang menyindirnya. Badri tahu kalau sindiran itu dimaksudkan kepada Rabiatun, namun ia tak peduli. Di hati dan pikirannya, Rabiatun tetap satu-satunya cewek yang ia suka, sejak lama.
Ia kemudian menjemput masa lalu, mengingat saat pertama bertemu  sosok yang menggemaskan. Ketika itu, tanpa  sengaja, ada pelajaran olahraga adik kelasnya. Badri menangkap sosok yang lincah. Geraknya praktis dan dinamis, berbeda dengan penampilannya yang tenang.
Sejak saat itu, Badri selalu memperhatikan adik kelasnya tersebut.  Belakangan diketahui, ia  bernama Rabiatun. Setiap saat, setiap kesempatan, Badri seakan mengawasi Rabiatun. Ia punya mimpi, suatu saat kelak akan memiliki Rabiatun untuk selamanya, sampai mati.
Permintaan Badri agar ibu dan mamak Rabiatun datang kepada keluarganya untuk manapiak bandua, tak langsung dijawab. Rabiatun menatap Badri dalam-dalam.  Tak lama berselang, Rabiatun tersenyum. Sebongkah senyuman yang sangat manis tersungging di sudut bibirnya.  Badri mengartikan senyuman itu sebagai kata sepakat.
Hari-hari berjalan lurus. Keseharian Badri berubah drastis. Awan cerah mengiringi perjalanannya. Layak bocah ingusan mendapatkan mainan baru, ia membelah malam agar pagi segera  menjelang. Ia menghentikan siang agar bisa berlarian sepanjang waktu. Ia hendak menghentikan waktu, namun waktu enggan berhenti. Ia kemudian beralih memperlambat waktu namun waktu terus bergerak seirama masa lalu.
Tak dapat dituliskan dalam untaian kata, tak bisa digambarkan dengan goresan di kanvas.  Badri merasakan dunia telah dalam genggamannya. Gadis yang sedari kecil sangat disukainya, sangat dikaguminya, kini telah memberikan senyuman. Senyuman itu diartikan Badri sebagai jawaban permintaannya agar ibu dan mamaknya  datang kepada keluarga badri untuk manapiak bandua. Badri mengartikan senyuman itu sebagai kata sepakat. 
Badri menunggu hari, menanti waktu. Badri menjemput kisah, membuang resah. Saat yang diimpikannya sudah di depan mata. Saat bersanding dengan wanita pujaannya seakan menjadi sebuah titik terang di dalam gua yang kelam.
Di kamarnya yang temaram, ia memejamkan mata. Ada setitik terang di gua yang kelam terasa sangat terang. Ia mendatangi titik itu, semakin didekati, titiknya terasa semakin besar, kian besar, terus membesar dan menjadi pintu untuk keluar dari kegelapan.


[1] Pendekatan keluarga untuk pembicaraan awal sebelum keluarga perempuan melamar ke keluarga lelaki.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...