07 June 2018

“Kapunduang..!”


 
Sampai di rumah sepulang dari  pos ronda, menjelang malam, Badri membawa dendang dari siulan. Hatinya berbunga-bunga. Ia mendapati mande masih menjahit.
“Mande, siapa yang akan menikah?” tanya Badri, ketika ia menemukan seonggok siriah langkok[1] di meja ruang tengah rumahnya.
Rabiatun ka baralek. Tadi ayah dan ibunya ke sini. Beliau juga mengundangmu sekalian meminta bantuanmu untuk persiapan pesta nanti,”  jawab  mande. Ia terus menyulam.
Badri tergagap. Langkah dan siulannya terhenti.
“Rabiatun,  mande?” tanyanya tergagap.
Mande menjawab singkat, namun ia tak melihat perubahan dan sikap serius pada anaknya. Mande fokus pada sulamannya. Badri terdiam. Keningnya berkerut. Ia seakan terpaku ke lantai rumahnya.
Lelaki yang sedang dimabuk asmara, menunggu kehadiran mamak Rabiatun, ternyata  disambar petir di siang bolong. Dadanya terbakar. Ada api bergejolak di ubun-ubunya. Api itu tak terpadamkan hujan. Matanya liar. Mencari sesuatu. Ia menuju dapur. Diperiksa semua kolong meja dan sudut dapur. Ia mendapatkan  kampak. Digenggam. Ditimang-timang. Matanya masih liar. Keningnya berkerut. Dadanya berguncang hebat.
Ditinggalkannya kampak, lalu ia melangkah ke luar. Mande mengikuti langkahnya. Belum sempat mande mengajukan tanya, Badri sudah berada di luar rumah. Ia berlari. Menembus semak belukar. Larinya menuju arah rumah Rabiatun. Tak seorang pun yang melihatnya. Semua rumah sudah tertutup. Hujan mengguyur malam.
Di depan rumah Rabiatun, Badri berhenti. Ia menatap sekeliling. Sudah gelap, hanya ada sedikit cahaya dari kamar samping. Badri memastikan, cahaya itu di kamar gadis yang sangat didambakannya, namun segera akan menikah dengan lelaki lain.
Pada langkah ke tiga hendak ke arah kamar yang masih bersinar, Badri terhenti. Ia menimbang sejenak. Api terus bergejolak dari dada hingga membakar ubun-ubunnya. Langkahnya diurungkan, kemudian ia bergerak dan berlari. Badri terus berlari. Berlari menuju suatu tempat di nagari subarang.
“Belum terlambat, ia pasti kembali padamu,”  jawab Mak Pado menenangkan Badri, disaat nafasnya masih tak beraturan.
Saat dirinya masih diam, belum bisa bicara karena nafasnya masih terengah-engah, Mak Pado bertutur panjang. Badri tersentak.  Mak pado membeberkan masalah yang dihadapinya, sehingga Badri berdecak kagum. Ia belum bicara sepatah kata pun, namun Mak Pado sudah membeberkan kalau kedatangannya karena telah dikhianati.
Mak Pado menanyakan perihal niat kedatangan Badri. Akankah untuk balas dendam atau mengembalikan gadis pujaannya? Ia tak mau menganiaya. Ia tak tega melihat gadis pujaannya teraniaya. Badri meminta pilihan kedua. Ia masih sangat mencintai Rabiatun. Ia masih mengharapkan Rabiatun akan menjadi pendamping hidupnya.
Mak Pado paham. Ia mengangguk, kemudian mengatakan sesuatu. Ia membisikkan sesuatu sebagai syarat. Badri terdiam. Sejenak ia berpikir. Keningnya kembali berkerut. Lama ia menimbang-nimbang. Tak lama setelah itu, ia mengangguk. Setuju permintaan Mak Pado sebagai syarat menggunakan jasa perdukunannya.
Kemayan pun dibakar. Badri duduk di depan Mak Pado. Matanya dipejamkan. Desahan mantera-mantera yang diucapkan Mak Pado tak bisa dipahaminya. Kalimat demi kalimat meluncur deras. Tak lama berselang, dari punggung hingga kepalanya terasa ada yang menggerayangi. Bau kemayan makin menusuk hidung.
Setelah diperintahkan buka mata, Badri tak menemukan Mak Pado di depannya. Tapi sudah berada di belakang. “Belum terlambat, ia pasti kembali padamu,” Mak Pado kembali meyakinkan Badri. Lalu diberikannya bungkusan berbalut kain paco  hitam.

*

Bungkusan itu yang kini hendak dibuka Badri. Semua perintah Mak Pado sudah dijalaninya. Ia sudah mandi mandi rempah dan bunga tiga rupa dari tiga tapian. Itu artinya, begitu bungkusan itu dibuka, ia akan menjalani prosesi terakhir dari seluruh perintah Mak Pado. Badri ingin Rabiatun kembali padanya.
Jantungnya berdebar. Dibukanya bungkusan itu, lalu matanya dipejamkan sesuai perintah Mak Pado. Diraihnya isi bungkusan, ia merasakan sebuah benda. Badri pun kemudian yakin, benda itu sebuah cincin. Tanpa pikir panjang, disorongkannya cincin itu ke jari manis tangan kanannya. Konsentrasinya melayang ke wajah Rabiatun. Disebutnya nama gadis itu. Pada panggilan ke tujuh, diusapnya lingkaran cincin, dua kali putaran.
Lalu dilafaskannya sejumlah mantera yang diajarkan Mak Pado sembari melafaskan mantera itu, diusapkan bagian atas cincin. Badri terus berkonsentrasi melafaskan mantera sembari mengusap cincin itu.
Badri merasakan, ada lima tonjolan di lingkar atas cincin tersebut. Setiap lingkar, disebutnya nama Rabiatun. Semua bayangan tentang Rabiatun diingatkan bersamaan mengucapkan mantera.
Ingatan dalam konsentrasinya menangkap tubuh Rabiatun yang talanjang gegek di tapian, manisnya senyum Rabiatun ketika mereka mengatur pertemuan di jalan, di tampek baralek, atau pulang dari surau. Sangat indah kenangan itu.
Satu persatu tonjolan lingkar atas cincin itu diusap Badri. Dalam konsentrasi agar Rabiatun segera kembali padanya, jantungnya berdebar. Setelah kelima tonjolan di lingkar atas cincin itu diusap sambil melafaskan mantera selesai, berlahan matanya damakka. Pelan. Itu pesan Mak Pado.
Ketika matanya telah terbuka sempurna, debaran jantungnya makin kuat. Ada cincin besi putih di jarinya. Cincin itu terus ditatap. Tak berkedip. Keningnya berkerut, seakan mengingat sesuatu.
Benarkah? Jantungnya kian berdetak kencang menatap cincin besi putih berkelopak mawar.
“Kapunduang..!”[2] makinya.
Lalu cincin itu dicabut dari jari manisnya, kemudian dilemparkan keluar lewat jendela yang sejak tadi terbuka. Cincin serupa pernah diusapnya di jemari Rabiatun, ketika mereka merajut hati di balik rimbun hilalang.
Sejak Rabiatun menikah, Badri menghilang dari kampung. Tak seorang pun yang tahu di mana perantauannya. Mirna juga begitu. Ada spekulasi, Mirna pergi dibawa lari oleh Badri. Saksi mata lain mengatakan, tujuh hari sejak Badri tak ada di kampung lagi, mereka masih bertemu Mirna.
Terakhir kali, pak Somat melihat Mirna meletakkan sesajian, kemudian ia melangkah menuju tapian. Enam langkah setelah ia meletakkan sesajian, ada  desiran angin yang datang tiba-tiba, kemudian membentuk pusaran angin. Turun tepat di tempat Mirna,  kemudian pusaran angin itu bergerak ke arah sesajian yang tadi diletakkan gadis itu.
Kata pak  Somat, ia hanya memperhatikan pusaran angin itu saja. Pusaran angin itu langsung hilang di tempat sesajian, tidak kembali ke tempat semula turun, seperti selama ini yang diketahuinya. Ketika pusaran angin itu hilang, ia tak melihat Mirna lagi.
Tapi ia ragu pula, apakah yang meletakkan sesajian itu benar-benar Mirna atau bukan. Ia tak bisa memastikan. Pak Somad hanya yakin, perempuan itu benar mirip Mirna.[]




[1] Daun sirih, sadah, gambir, sebagai pertanda undangan resmi secara adat di Minangkabau untuk sebuah pernikahan.
[2] Salah satu makian yang tergolong kasar di Minang

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...