07 June 2018

Ancaman Melepas Mirna


 
Sejak pertemuan di malam jahanam, Badri mencoba mengubur jauh tentang Mirna. Ia sebenarnya sudah mulai merasakan hatinya terpaut pada Mirna. Mulanya memang hanya sandiwara. Ia mendekati Mirna untuk menutup malunya agar Mirna tak membocorkan perangainya mengintip Rabiatun di tapian.
Mulanya Badri hanya patuh pada permintaan Mirna karena takut perangainya dibocorkan ke orang kampung. Bagaikan sapi yang diberi tali di hidungnya, Badri menurut saja. Ia patuh jika ada permintaan dari Mirna.
Mirna memanfaatkan ketakutan Badri. Ia seakan sudah memperalat lelaki itu. Selama ini Badri hanya patuh dan takut pada orang tuanya, kini justru bertambah pada Mirna. Tak seorang pun yang tahu perubahan itu, selain mandenya.
Mande  melihat dan merasakan gelagat perubahan Badri terhadap Mirna, namun mande tak pernah menanyakan. Ia hanya berasumsi, hubungan baik dirinya dengan teman lamanya ternyata berlanjut pada anak-anak mereka. Apalagi ia dan amak Mirna sering meminta bantuan anak-anak mereka untuk menyampaikan pesan atau mengantarkan masakan.
Bagi Badri, ia tidak merasa patuh, juga tak merasa takluk di tangan Mirna, namun ia mencari celah agar sampai menemukan titik dimana Mirna takluk padanya dan kemudian benar-benar tak akan pernah mengungkit perangainya lagi.
Tak ada dalam kamusnya kalau ia takluk. Mirna bukan siapa-siapa. Dibandingkan gadis-gadis lain di nagarinya, Mirna tak masuk hitungan. Apalagi jika dibandingkan Rabiatun. Jauh. Sangat jauh.
Jika ditanya pada sepuluh lelaki di nagari itu, lalu diminta  memilih Rabiatun atau Mirna untuk pendamping hidup mereka kelak, barangkali hanya satu orang yang akan memilih Mirna. Itu pun, mungkin, karena terpaksa. Selebihnya akan memilih Rabiatun.
Lelaki yang memilih Mirna karena terpaksa itu adalah Badri. Awalnya tak ada rasa apa pun. Ia hanya mengikuti keinginan Mirna karena terpaksa, takut rahasianya dibongkar. Rasa terpaksa itu ternyata berubah menjadi cinta. Ada gelora yang membara.
Badri tak menyadari kalau berlahan dan pasti ia merasa ada sesuatu yang mengusiknya. Ia mulai tertarik pada Mirna. Berharap bertemu setiap hari walau secara sembunyi-sembunyi. Ia mengatur pertemuan sedemikian rupa seperti halnya ketika ia menjalin hati pada Rabiatun.
Pertemuan Badri dan Mirna jauh lebih tenang dibandingkan dengan Rabiatun. Badri punya alasan ke rumah Mirna, walau berawal dari permintaan mande. Di rumahnya, Mirna menyambut Badri. Ia tak perlu cemas kalau kebersamaannya diketahui orang kampung. Ia tak akan pernah takut kalau bertemu berlama-lama. Orang tua mereka seakan merestui hubungan mereka, sekali pun keduanya belum pernah menyinggung hubungan sesungguhnya.
Bagi Badri, jika mande memintanya  ke rumah amak, ia menyambut perintah itu dengan hati lapang. Tak jarang, amak juga memberitakan permintaan tambahan pada Badri. Kadang ia diminta menumbuk padi, membetulkan atap rumbio, memberi makan ayam. Badri menerima dengan hati lapang. Ini kesempatan untuk selalu dekat dengan Mirna.
Tapi kejadian malam lalu, telah membuka matanya. Bayangan Mirna yang belakangan mengganggu tidurnya, membuyarkan lamunannya, berubah menjadi sosok menjijikkannya. Ia mengunakan guna-guna untuk memperdaya dirinya.
”Sebelum kamu membeberkan perangaiku, aku terlebih dahulu akan mengatakan dirimu sesungguhnya kepada orang kampung,” ancam Badri, ketika Mirna datang ke rumahnya, mengantarkan pesan amak untuk mande.
Mirna terpaku. Kali ini, tubuhnya membeku. Ia tak bicara apa pun. Tak lagi segarang saat menyerang Badri. Lelaki berkumis tipis itu terus menyerang, meruntuhkan pertahanan Mirna.  Badri terus menyerang. Mirna tak menjawab. Ia merunduk, tak mampu menatap wajah Badri.
”Kenapa kamu diam?” tanya Badri, ”aku tak menyangka, ternyata kamu pemuja guna-guna. Siang nanti aku akan menemui wali nagari...” sambung Badri, namun ia menggantung kalimatnya.
”Cukup. Aku bermohon, maafkan aku. Aku meminta, jangan laporkan ke wali nagari dan mamak nagari,” pinta Mirna berharap. Ia tahu, jika persoalan ini sampai ke wali nagari, maka ia bisa  dibuang sepanjang adat.
Hukuman dibuang sepanjang adat merupakan hukuman paling berat di nagarinya. Jika hukuman ini sudah diberikan kepada seseorang, maka orang yang dihukum tersebut tak boleh lagi pulang ke kampungnya. Tak boleh lagi kembali ke nagarinya, apa pun yang terjadi. Jenazahnya pun tak boleh dibawa pulang dan dimakamkan di pandam pekuburan keluarga di nagarinya. Mirna tak ingin jejak keluarganya hilang karena ia dibuang sepanjang adat.
”Apa pun permintaanmu, akan aku penuhi asalkan jangan laporkan kejadian malam itu kepada siapa pun, apalagi ke wali nagari dan mamak nagari,” pinta Mirna tersedu-sedu.
”Kalau tak mau?” tanya Badri.
Pertanyaan itu menyentakkan Mirna. Ia tak menduga kalau lelaki yang serasa sudah dalam genggaman itu menantangnya. Ia benar-benar tak berdaya. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya yang sedikit tebal.
Lama suasana diam, Badri pun mendiamkan. Ia berputar-putar mengelilingi Mirna. Badri merasa sudah menguasai gadis di hadapannya ini.
”Kalau kamu tak mau, itu sama artinya kamu menghancurkan persahabatan amak dan mande,” katanya masih menunduk.
Badri terkejut. Ia tak menduga dapat serangan balik. Baginya, ibu adalah segala-galanya. Kalau ia menghancurkan persahabatan mande dan amak, sama saja ia telah menancamkan belati ke dada mandenya sendiri.
”Oke, aku terima permintaanmu. Aku hanya meminta agar kamu melupakan aku dan melupakan apa yang pernah ada padaku,” kata Badri.
Mirna mengangguk, kemudian ia berlalu.
Badri melepas kepergian Mirna. Ia ikuti kepergian Mirna sampai gadis itu hilang di balik pepohanan di pekarangan depan rumahnya.
Badri tersenyum, namun saat itu juga keningnya berkerut.

*

Langkah Badri terhenti. Ia melihat Mirna bersama Rabiatun. Kedua pulang dari tapian. Mereka  tampak bicara serius, namun Badri tak tahu apa yang mereka bicarakan. Badri penasaran. Sejak ia ketahuan mengintip Rabiatun di tapian oleh Mirna, ia tak lagi pernah datang ke tapian.
Ia takut kalau kebiasaannya mengintip diketahui yang lain. Ia terpaksa harus mendekati Mirna agar gadis itu tak membocorkan perangainya pada orang lain. Ia harus mampu menjinakkan dan meluluhkan hati Mirna, agar rahasia itu ditutupnya rapat-rapat.
Sejak itu ia semakin dekat dengan Mirna, sampai akhirnya hatinya terpaut pada Mirna. Ia mulai merasakan ada bara cinta dalam dadanya, dan sejak itu pula ia seakan lupa pada Rabiatun, gadis yang telah mempenjara hatinya sejak kecil.
Sejak mendapati Mirna mengguna-gunainya, Badri baru  berani untuk menjauhinya. Ia yakin, Mirna tak akan berani buka mulut. Jika ia membocorkan perangainya, maka Badri sudah punya kartu pula untuk buka suara. Keduanya sama-sama membungkus aib, menyimpan pantangan orang sekampung.
Pertemuan Mirna dan Rabiatun menjadi tanda-tanya bagi Badri. Pikirannya yang sudah lapang, kembali menghadirkan masalah. Ada kecemasan baru, ada sebongkah ketakutan. Ketika dirinya kembali hendak memikat hati Rabiatun, ia melihat pertemuan Rabiatun dan Mirna sebagai ancaman baginya.
Badri mengikuti langkah keduanya. Jalannya makin dipercepat, berharap dapat menyusul keduanya.
”Dari mana, kok sendirian saja?” sapa Rabiatun bertanya sembari menoleh ke belakang, seakan menyambut kedatangan Badri, disaat Badri tak jauh darinya.
”Saya baru saja dari hutan, mencari kayu bakar,” balas Badri.
Mirna menatap Badri dalam-dalam, dari ujung kaki ke ujung rambut. Badri melangkah tenang, ia tahu dipreteli Mirna, namun ia tak peduli.  Di pundaknya ada dua ikat kayu bakar untuk dibawa pulang.




No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...