31 August 2017

Makanan Terenak Sedunia Ada di KRI Kerapu 812


*Terkatung-katung 8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT

Pengantar dari Redaksi
Kamis – Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari rombongan Kemendes PDTT, terkatung-katung dihempas badai dan ombak besar di laut Nunukan, Kalimantan Utara.  Rombongan itu bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik proklamasi di Pulau Sebatik. 
Wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar Firdaus, yang berada dalam rombongan, menuliskan  pengalamannya dalam bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah kesepuluh.  Tulisan besok;  Nyaris Pulang Nama. [] []


Belum sempat kami memperhatikan dan melihat barang bawaan masing-masing, sebuah pengumuman disampaikan seorang lelaki gagah berseragam loreng. Ia meminta, jangan pikirkan apa pun saat ini. Biarkan saja barang bawaan, tas dan sebagainya. Biarkan saja semuanya. Prajurit KRI Kerapu 812 yang akan mengurus.
“Sekarang semuanya silakan ikuti saya,” seorang perwira TNI AL berpangkat mayor mengajak semua mengikutinya. Ia melangkah masuk ke pintu di bagian depan, tak jauh dari buritan kapal. Dibukanya pintu besi. Satu persatu diantara kami mengikuti dari belakang.
Saya berada paling belakang karena terakhir naik ke kapal. Saya melirik kepada seorang prajurit yang berdiri di sisi kanan. Ia tersenyum, “dibawa kemana, bang?” tanya saja sekaligus menanyakan apakah ia komandan di kapal perang ini?
Ia tersenyum, “ikuti saja,” pintanya membenarkan kalau lelaki tersebut memang komanda di KRI Kerapu 812. Namanya, Mayor Laut Ramli Arief.
Saya mengikuti dengan langkah terhuyung-huyung. Saya berhenti sejenak, posisi saya masih goyah. Saya berpikir, apakah saat ini KRI Kerapu 812 juga dipermainkan gelombang? Semua masih bergoyang, sama seperti ketika masih di Berkat Doa Ibu dan Azura.
Prajurit yang tadi berada dekat saya, ternyata mengikuti di belakang. Ia menatap,  kemudian menepuk-nepuk pundak saya, “nanti juga akan hilang, bang” katanya seakan tahu apa yang sedang saya rasakan.
Saya tersenyum. Ia juga tersenyum, lalu mempersilakan saya jalan terlebih dahulu. Ia mengikuti di belakang, “kita akan merapat di dermaga Lantamal Tarakan besok pagi. Perjalanan dari sini sekitar lima jam,” katanya.
“Lama ya, bang?” tanya saya.
Ia mengangguk, “kapal memutar ke lautan dalam, tidak bisa masuk ke laut yang dilayari speedboat penumpang antarpulau,” katanya menjelaskan.
Saya memakluminya. Tak ada maksud membandingkan dengan perjalanan speedboat Sadewa, dari Tarakan – Sebatik yang hanya 2,5 jam. Keduanya memiliki spesifikasi berbeda. KRI Kerapu 812 merupakan kapal perang berbobot besar.
Melintasi pintu besi, menghubungkan buritan ke bagian dalam kapal, pandangan saya terhenti pada sebuah gambar di dinding. Posisinya tak jauh dari pintu masuk. Gambar dalam bingkai. Saya memperhatikan secara seksama.
Gambar dalam bingkai itu, KRI Kerapu 812, disertai penjelasan. KRI Kerapu 812 merupakan  kapal patroli TNI-AL. Dibuat oleh PT PAL Indonesia, tahun 1985. Persenjataan yang menyertai kapal perang ini adalah meriam 40 mm, meriam 20 mm dan mitraliur (senapan mesin) 12,7 mm. KRI Kerapu   mempunyai 49 awak kapal.  Memiliki dek penerbangan dan hangar untuk helikopter. Jujur, saya baru kali ini naik kapal perang.  
“Ayo, silakan masuk. Masuk dulu. Nanti kita bicara soal kapal,” kata prajurit TNI AL yang sudah sekitar lima langkah dari posisi saya melihat gambar KRI Kerapu 812.
Sesampai di depan pintu, saya melongok ke dalam. Tentara yang berdiri di depan pintu menjelaskan. Ia ruangan santai mereka, namun kali ini digunakan untuk menjamu kami, “silakan makan, ngopi dan ngeteh dulu. Pasti bapak-bapak dan ibu-ibu semua kedinginan dan lapar,” katanya.
Kami semua menyahuti. Membenarkan apa yang disampaikan, “kami tahu, suguhan ini tidak seberapa, namun kami berharap semuanya berkenan menikmati hidangan yang tak seberapa ini,” kata salah seorang diantara mereka berbasa-basi.
Saya sudah dapat menebak hidangan yang tersedia. Saya yakin, tebakan kali ini tidak meleset karena aroma masakan sudah membungkus ruangan, “dalam kondisi seperti ini, menu ini sangat luar biasa bagi kami,” balas beberapa orang senada, kemudian bunyi piring beradu dengan sendok sangat jelas terdengar.
Saya yang duduk terakhir, langsung mengambil piring, namun sejenak membiarkan yang lain mengambil nasi dan mie rebus pakai telor plus nasi putih. Saya mengambil gelas. Ada kopi dan teh manis hangat. Saya menuangkan teh manis panas ke gelas.
Bagi saya, urusan minuman, tak ada masalah. Saya bukan tipe maniak teh, juga bukan tipe penyuka kopi. Kalau ada dua-duanya, pilihan saya relatif. Tak ada yang pasti. Kali ini, saya memilih teh manis hangat karena berkeadaan saja. Saya tak tahu, kenapa memilih menuangkan teh.
Setelah itu, saya mendorongkan air bening hangat ke rongga mulut. Segar dan hangat rasa tubuh ini. Disaat yang lain sudah mulai makan, saya baru dapat kesempatan memindahkan mie rebus dari mangkok besar ke piring, lalu saya tambah dengan nasi putih. Perut saya benar-benar lapar.
“Tak ada makanan yang lebih enak dari ini,” kata Andrian Tuswandi. Semua memandang sang wartawan tersebut, lalu kemudian semua  membenarkan kalau makanan yang dinikmati tersebut adalah makanan terenak yang pernah dinikmati.
“Seberapapun uang yang kita sejak sore tadi, tak ada nilainya karena tak bisa dibelanjakan untuk apa pun,” kata yang lain menimpali.
“Ini mie rebus terenak yang pernah ada,saya nikmati,” sahut yang lain.  Semua tertawa. Barangkali tak tersisa lagi raut kecemasan di wajah kami. 
“Ketika di pantai tadi, siapa yang membayangkan mie rebus?” tanya Datuk Febby.
“Abie! Doa Abie sudah dikabulkan,” kata Revdi Iwan Syahputra alias Ope, menunjuk ke arah saya. Sehari-hari, Ope dan kawan-kawan di kantor memanggil saya dengan panggilan Abie. Semua kemudian menatap kepada saya.
 “Yuk, tambah lagi, ini mie rebus paling enak yang pernah ada,” kata seseorang dari samping kanan saya, ketika makanan  di piring saya mulai berkurang.
Saya menatap ke arahnya. Saya terkejut, “terima kasih, pak” kata saya. Kalimat itu saya ulang hingga dua kali.
Lelaki di sebelah saya, ternyata Pak Nelayan. Saya melemparkan selembar senyum padanya, lalu tangan saya menggapai sendok di mangkuk besar berisi mie rebus. Seketika saja, mie yang masih tersisa telah berpindah ke piring saya.
“Nasinya minta juga, pak,” bisik saya padanya. Saya lapar sekali. *
  








No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...