22 August 2017

Shock Lihat Pelabuhan dan Speed Boat


Terkatung-katung 8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT


Pengantar dari Redaksi
Kamis – Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah spead boat berisi 12 penumpang plus seorang jurumudi dan seorang anak buahnya, terkatung-katung dihempas badai dan gelombang besar di laut Nunukan, Kalimantan Utara.  Para penumpang itu, satu staf khusus Kemendes PDTT, satu staf ahli Kemendes PDTT, tujuh staf Kemendes PDTT, tiga wartawan dari Sumbar; Firdaus dan Revdi Iwan Syahputra (Harian Umum Rakyat Sumbar) serta Adrian Toswari (www.tribunsumbar.com), mereka baru kembali dari mengikuti upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi di Pulau Sebatik.
Bagaimana kisah lain di balik peristiwa mencekam menjelang malam itu? Wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar Firdaus, menuliskan pengalamannya dalam bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah keduanya. Tulisan ketiga besok; Doakan Bapak Selamat, ya Nak..! [] []


Sebuah Kijang merah berhenti tepat di depan kedai kopi, tempat saya duduk. Pengemudinya memberikan kode ke arah Nugroho Notosutanto, Kabag  Perencanaan Umum Setjen  Kemendes PDTT.
“Yuk, kita berangkat,” kata Nugroho kepada semua stafnya. Ia kemudian juga memberikan kode kepada Datuk Febby, Adji Setyo Nugroho (Tim Ahli Kantor Staf Menteri Kemendes PDTT), saya dan dua wartawan asal Sumbar; Revdi Iwan Syahputra alias Ope  (Pemimpin Redaksi Harian Umum Rakyat Sumbar) dan Adrian Tuswandi (Pemred www.tribunsumbar.com).
Saya menaiki mobil Avanza yang terparkir di depan kedai kopi. Di mobil yang saya naiki, ada Datuk Febby, Adji Setyo Nugroho,  saya,  Revdi Iwan Syahputra dan Adrian Tuswandi yang akrab dipanggil Toaik. Datuk Febby malah sempat membeli gorengan di pinggir jalan, lalu dibagi kepada yang ada di mobil.  
Tiga mobil bergerak menuju pelabuhan Sei Nyamuk. Menjelang mobil melintasi gerbang pelabuhan, tiba-tiba saya sesuatu. Saat menikmati kopi,  saya mencas powerbank di  di kedai. Saya belum sempat mengambilnya ketika hendak berangkat. Pikiran saya bercabang, saya beritahu dan kemudian minta balik menjemput powerbank atau tidak?
Seketika itu juga saya putuskan, biarlah saya diamkan saja. Saya tak mau, jika balik kanan justru menyusahkan orang. Setidaknya bisa membuat orang menggerutu karena kelalaian saya, lagi pula, walau jarak tempuh hanya sekitar  sepuluh menit perjalanan, namun  saya merasa tidak enak merepotkan orang lain. Saya menghibur diri, anggap saja jadi kenang-kenangan untuk Pulau Sebatik.
Saya hanya dua hari satu malam di Pulau Sebatik. Sampai di pulau terluar Indonesia tersebut, menjelang zuhur, sehari sebelumnya, kemudian  saya langsung mengunjungi tiga batas wilayah Indonesia-Malaysia. Daerah yang kami tuju tersebut,  Kampung Melayu, Patok I dan Patok III di Aji Kuning. Ini pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di negara lain melalui perbatasan tanpa menggunakan paspor.
Dikisahkan warga setempat,  tapal batas yang ada sekarang sebenarnya sudah jauh bergeser ke arah selatan dari titik awal tapal batas. Artinya, batas sekarang berada sekitar delapan kilometer lebih ke dalam wilayah Indonesia.
Pulau Sebatik merupakan pulau terluar di wilayah Indonesia. Pulau ini milik Indonesia dibagian selatan seluas 246,61 km² dan Malaysia di bagian utara seluas 187,23 km². Khusus dalam wilayah Indonesia, di Pulau Sebatik ada lima kecamatan (Kecamatan Sebatik,  Sebatik Barat,   Sebatik Tengah,   Sebatik Utara dan  Sebatik Timur), bagian dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Pelabuhan Sei Nyamuk yang kami tuju, merupakan pelabuhan tempat saya merapat, ketika sampai di Pulau Sebatik, setelah perjalanan dari Tarakan, sehari sebelumnya. Saya berangkat dari pelabuhan di Tarakan sekitar pukul 09.30 wita dan sampai Sei Nyamuk pukul 12.10 wita.
Dermaga pelabuhan menjorok ke laut. Hati saya senang karena mobil yang membawa kami tidak berhenti di sana, namun masih bergerak ke arah laut, tempat kapal-kapal yang lebih besar, seukuran kapal perintis bersandar. Ketika itu, ada tiga kapal sedang sandar.
Saya berpikir, salah satu di antaranya akan membawa kami ke Tarakan. Ukurannya jauh lebih besar dibandingkan speed boat Sadewa yang membawa saya ke Pulau Sebatik dari Nunukan. Speed boat Sadewa bermuatan 50 orang, memiliki tiga mesin tempel di bagian belakangnya.
Belum sempat mengetahui kapal yang akan dinaiki, pemandu yang mengajak rombongan berangkat tersebut memberikan aba-aba. Speed boatnya tidak sandar di sini, tapi di pelabuhan lain. Saya mendongok ke utara dermaga. Di depan pelabuhan tersebut ada pelabuhan Sei Pancang, tapi saya kurang yakin. Pelabuhan Sei Pancang merupakan pelabuhan dan dermaga TNI Angkatan Laut. Tak mungkin speed boat komersial sandar di sana.
Saya ikuti saja rombongan. Naik kembali ke mobil. Berlahan dan pasti, mobil bergerak meninggalkan pelabuhan. Keluar dari gerbang, belok kiri. Ketiga mobil bergerak cepat. Mengejar waktu.
Selang perjalanan sekitar 10 menit, mobil terdepan berhenti. Diikuti mobil yang saya tumpangi dan mobil di belakang. Saya turun, memperhatikan sekeliling. Melangkah sekitar 15 meter, ada jembatan yang disusun dari papan.
“Ini pelabuhannya,” kata lelaki kurus yang memandu sejak dari hotel, sembari menunjuk ke kiri tempat kami berdiri di pangkal jembatan.
“Ini pelabuhannya? Tidak salahkah?” tanya saya. Kerongkongan seakan tersekat.
Saya langsung panik melihat pelabuhan. Ukurannya sangat kecil. Bagi saya, ini bukan pelabuhan, tapi tak lebih dari sebuah sungai kecil. Lebarnya pun mungkin tak sampai 20 meter. Nafas saya sesak. Saya panik. Jantung saya berdebar kencang.
“Speed boat kita diujung,” katanya.
Plong.
Ada sedikit rasa plong di dada. Saya memperkirakan, minimal speed boat yang akan membawa kami ke Tarakan seukuran Sadawe. Jika sebesar Sadewa, tentu tak mungkin sandar di aliran sungai (eh.. pelabuhan) itu. Tentu sandar diujung dermaga.
Tanpa dikomandoi, semua yang akan ke Tarakan bergerak cepat, mengemasi barang masing-masing. Saya menarik tas biru berisi kain pakaian kotor bekas saya pakai sejak Selasa. Melangkah berlahan di bagian tengah rombongan.
Kurang sepuluh menit perjalanan menuju dermaga, saya berpapasan dengan Ope yang sedang swafoto. Saya terus melangkah, lalu meninggalkannya yang masih berswafoto.
“Abie kemana?” tanya Ope. Ia memang biasa memangil saya dengan panggilan Abie.
“Ke dermaga..” jawab saya terus melangkah.
“Speed boatnya di sini. Ini..!” katanya sembari menunjuk ke bawah tempatnya berdiri.
Langkah saya terhenti, melihat ke bawah posisi tempat Ope berdiri. Lalu saya melangkah menghampirinya, “Ndak salah, Pe?” tanya saya.
“Kalau ragu, Abie tanyalah,” pintanya.
Saya tertegun. Darah saya seakan bergelora tak tentu arah. Detak jantung saya bergerak lebih cepat dari biasanya, “ini tak bercandakan, Pe?” desak saya bertanya, lalu saya menatap pemandu yang membawa rombongan dari hotel.
“Benarkah ini speed boat kita?” tanya saya.
Ia mengangguk.
“Ondeh, mak. Mati den!” kata saya.
Dada terasa sesak. Ada gelisah dalam diri saya. Entah kenapa, ketika itu juga, tiba-tiba saya merasa ingin kencing. Adji Setyo Nugroho lebih dahulu menanyakan wc umum kepada penduduk yang sedang santai di depan rumah panggungnya.
Seorang lelaki tua, mempersilakan Adji ke rumahnya. Saya mengekor di belakang. Beberapa orang staf Kemendes PDTT mengikuti, tapi saya tak memperhatikan siapa saja yang ikut kencing.
Satu persatu penumpang  masuk ke speed boat, disusul barang bawaan mereka. Saya duduk di kursi kedua, persis di belakang jurumudi. Speed boat Berkat Doa Ibu pun keluar dari pelabuhan  berdermaga  kayu yang disusun mirip panggung. Butuh waktu lama untuk keluar.
“Pak, bantu tuntun saya keluar pelabuhan hingga laut,” pinta jurumudi kepada lelaki tua yang mengizinkan kami buang air kecil di rumahnya.
Lelaki tua itu bergegas ke speedboat, kemudian menuntun dan mengantarkan kami hingga laut. Ia turun di ujung dermaga, dan bersamaan naik seorang lelaki muda berpostur kurus.
“Ia anak buah baru, sebelumnya jadi tukang las,” katanya sembari menyebutkan, si Mas baru kali ini naik jadi “ABK”-nya.
Si Mas naik speed boat, lelaki tua yang mengantar ke ujung dermaga langsung duduk bersimpuh di lantai dermaga kayu yang beberapa tiangnya sudah ada yang patah.
“Selamat jalan, semoga selamat sampai tujuan,” katanya sembari melambaikan tangan.*

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...