03 September 2017

Nyaris Pulang Nama


*Terkatung-katung 8 Jam di Laut Nunukan Bersama Staf Kemendes PDTT

Pengantar dari Redaksi
Kamis – Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari rombongan Kemendes PDTT, terkatung-katung dihempas badai dan ombak besar di laut Nunukan, Kalimantan Utara.  Rombongan itu bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik proklamasi di Pulau Sebatik. 
Wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar Firdaus, yang berada dalam rombongan, menuliskan  pengalamannya dalam bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah kesebelas. Tulisan berikutnya;  Tidur Pulas Tarakan - Balikpapan. [] []


Selepas makan di ruangan santai para tentara, saya melangkah ke luar. Balik ke buritan. Saya teringat, jaket saya sudah basah kuyup. Saat speedboat Berkat Doa Ibu dipermainkan gelombang, jaket saya buka.  
Entah kenapa, ketika itu saya membukanya karena terasa  gerah dan gelisah disaat dinginya angin laut menghempas ke speedboat. Saya mendapati jaket kembali ketika hendak pindah ke Azura. Jatek saya sudah berada di lantai. Sudah basah kuyup karena bagian lantai speedboat sudah tergenang air. 
Tadi, sebelum masuk ke bagian tengah kapal, saya melihat ada beberapa helai pakai dijemur dibagian belakang kapal. Saya akan menjemurnya. Lumayan, saya memperkirakan jaket tersebut akan kering sampai kapal merapat di dermaga Lantamal Tarakan.
“Bang, sebaiknya dikeringkan dulu di sini,” seorang tentara memberitahu saya. Ia kemudian membawa saya ke ruangan khusus. Ada tiga mesin cuci tersusun rapi, “bisa dikeringkan langsung, atau kalau mau dicuci dulu, ini sabun cucinya,” katanya melanjutkan, kemudian memberikan sabun cuci kepada saya.
“Terima kasih, bang,” balas saya.
Ia kemudian mengambil jaket di tangan saya. Dimasukkannya ke mesin cucian. Ia kemudian memasukkan air secara otomatis, lalu sabun cuci. Ditutup, kemudian sebuah tombol diputarnya. Ada bunyi dari mesin cucian. Saya masih di sana.
“Kalau sudah berhenti, pindahkan ke pengeringan ini ya, bang,” katanya menuntun saya kembali. Saya menerima petunjuknya. Ia kemudian berlalu dan saya pun menyelesaikan apa yang disarankannya.
Setelah proses pengeringan di mesin cuci, saya kemudian kembali ke buritan membawa jaket yang sudah dicuci, kemudian dijemur di belakang. Di posisi itu, saya melihat Adrian Tuswandi alias Toaik, Redi Iwan Syahputra yang biasa disapa Ope,  dan Datuk Febby. Ia tampak santai. Ada kopi di depan mereka.
Tanpa saya tanya, Adrian Tuswandi memberikan kode, teko kopi ada di tempat makan. Saya langsung menuju ke sana, mencari segelas kopi, kemudian bergabung kembali bersama mereka. Ketiganya asyik bicara dengan sejumlah tentara pasukan KRI Kerapu 812.
Saya menyimak pembicaraan mereka. Para prajurit bercerita soal pengalaman mereka di laut, namun mereka menggali lebih banyak apa yang kami alami selama perjalanan dari Pulau Sebatik. Ope, Toaik, Datuk Febby bercerita soal apa yang mereka alami.  Belakangan saya juga ikut.
Saya kemudian teringat pada lampu biru tua di tengah laut. Saya ceritakan perihal kondisi kami saat berbalik dari Pulau Baru menuju Pulau Bunyu. Kata saya, sebelum speedboat kami mengarah sempurna ke Pulau Bunyu, kami melihat ada lampu biru di tengah laut.
“Ketika itu, jurumudi hendak menuju lampu itu, namun Datuk Febby bersikeras mengarah ke Pulau Bunyu saja, padahal ketika itu pulau belum terlihat,” kata saya. Datuk Febby membenarkan apa yang saya sampaikan.
“Berarti, speedboat tetap ke pulau. Pasti tidak ke lampu tersebut,” balas salah seorang dari tentara tersebut.
“Kok abang tahu?” tanya Toaik.
Sejenak ia terdiam, “alhamdulillah, allah telah menuntun perjalanan semuanya,” jawabnya.
“Ada apa dengan lampu itu, bang?” tanya saya ingin tahu lebih dalam.
Jawaban tentara itu sangat mengejutkan kami. Katanya, lampu biru itu berbeda dengan lampu biru yang disinarkan dari KRI Kerapu 812 ke speedboat saat di pantai tadi. Warnanya berbeda. Lampu di laut, warnanya biru tua. Sinaran ke speedboat biru muda. Keduanya punya makna dan fungsi berbeda.
Katanya lagi, ia tahu rombongan kami tak menuju lampu tersebut karena saat ini sudah berada di KRI Kerapu 812. Jika lampu itu yang dituju, ia memperkirakan, sebelum speedboat yang kami tumpangi sampai di lampu tersebut, mungkin speedboat kami sudah karam dihempas gelombang.
Ia menjelaskan, posisi lampu biru itu sudah berada di laut dalam. Lampu itu merupakan penuntun bagi kapal-kapal besar agar jangan masuk terlalu dalam ke arah pantai. Posisinya berbeda dibandingkan speedboat kami. Posisi speedboat kami berada dari arah pantai. Jika lampu itu dituju, maka speedboat akan menjauh dari pantai atau dari laut dangkal.
Semakin keluar, gelombangnya semakin besar. Kalau kapal-kapal besar, diantaranya KRI Kerapu, kapal tengker, kapal tongkang, maka posisinya berada di luar lampu biru tersebut. Lampu itu sebagai panduan agar jangan terlalu masuk ke dalam, sebab laut makin dangkal karena semakin dekat daratan.
“Kalau kami ikuti, bisa karam speedboat kami, bang?”
“Mungkin saja,”
“Kalau itu terjadi, mungkin juga kita sudah terpisah-pisah,’ kata Datuk Febby.
“Mungkin juga pulangnya dalam kantong kuning,” Toaik menimpali.
Ope terdiam. Saya juga. Tak terbayangkan apa yang terjadi. Kalau saja   lampu biru yang dituju, lalu dihempas gelombang, speedboat tenggelam atau pecah, entah dimana kami dipisahkan oleh laut. Terdekat mungkin diseret ke laut Sulawesi atau Filipina, atau entah kemana.
Lampu biru di tengah laut itu, biasa disebut juga lampu bouy. Tak ada siapa-siapa di sana. Lampu itu dipasang di atas sebuah menara yang dipancangkan di laut. Posisinya dan fungsinya berbeda dibandingkan lampu mercusuar.
Kemungkinan terburuk jika kami menuju lampu biru, sesungguhnya tidak kalah menakutkan pula kalau terlalu lama bertahan di pantai Pulau Bunyu, tempat kami pertama terdampar. Saat jelang masuk ke ruang makan dan selama makan tengah malam, saya mendapatkan cerita dari Pak Nelayan. Posisi tempat kami terdampar sangat berbahaya.
Kawasan itu berbentuk teluk. Tak hanya sekadar pantai yang mengarah ke barat, tetapi sebuah teluk. Posisi speedboat diapit oleh pantai di kiri, kanan dan belakang, atau selatan, utara dan timur. Laut di barat. Posisi tempat kami tersebut menjadi pertemuan sejumlah anak sungai dari Pulau Bunyu. Hutan di pantai adalah liar. Bukan hutan yang dikelola. Biasanya dipertemuan muara sungai dan laut, dihuni buaya-buaya muara.
“Itu sebabnya saya berulangkali meminta pindah ke Azura dan kemudian saya bawa ke tempat yang lebih aman,” katanya.
“Tapi kenapa tidak bapak sampaikan apa adanya, tadi?” tanya yang lain.
“Saya tak mau, saya takut semuanya salah duga pada niat saya. Saya takut, nanti saya dikira memanfaatkan situasi,” kata Pak Nelayan sembari mengatakan, beberapa bulan sebelumnya, pernah ada kabar bahwa kapal  nelayan  terdampar di sana. Tapi  ada saja yang datang dari arah anak sungai. Mereka memindahkan hasil tangkapan nelayan ke speedboat mereka.
Ia juga bercerita, titik tempat kami terombang-ambing dan berputar-putar tak tentu arah,  sering membawa korban. Tak sekali dua kali masalah terjadi di sana. Tak sekali dua kali speedboat atau kapal terjebak di sana. Ada di antaranya yang terbalik dan karam di sana.
Belakangan kami dapat kabar, disaat pesan S.O.S terkirim ke Bakamla, tak lama berselang, jalur koordinasi pengamanan laut tersebut langsung sibuk. Siaga penjagaan dan kepaswadaan langsung bergerak. Kesiagaan tak hanya di kawasan laut Nunukan, khususnya Pulau Sebatik- Tarakan, tetapi seluruh wilayah gugus perairan Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Semuanya siaga, terutama TNI Angkatan Laut dan Satpol Airud.
Selepas subuh, saya kembali ke ruangan tempat kami makan tadi, lalu meringkuk, bergulung berselimut sarung.*

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...