14 July 2014

Pesantren Ramadan


Oleh: Firdaus



Puasa sudah masuk.  Hari ini, merupakan hari pertama puasa, sesuai anjuran pemerintah. Muhammadiyah sudah melaksanakan sejak Sabtu.  Satariyah melaksanakan mulai besok. Yang pasti, masing-masing memiliki dalilnya.
Puasa kali ini, ada dua agenda istimewa sebagai tambahan, yakni Piala Dunia yang sedang berlangsung dan Pilpres yang masih menjalani masa kampanye. Lainnya, tentu agenda ibadah Ramadan rutin, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Bagi pelajar di Kota Padang, puasa kali ini merupakan tahun ke 11 pelaksanaan Pesantren Ramadan. Pada pesantren kali ini, Pemko Padang mendanai kegiatan keagamaan ini senilai Rp 2 miliar. Gratiskah para peserta pesantren? Tidak! Pemko Padang masih mentolerir panitia di setiap mushala atau masjid untuk memungut biaya pendaftaran Rp 15 ribu, namun kenyataan di lapangan biaya pendaftarannya berkisar Rp 20 ribu sampai Rp 40 ribu.

Pada pesantren kali ini, konon berbagai terobosan dilakukan, di antaranya menggabungkan kegiatan keagamaan dengan teknologi, di antaranya menggunakan IT secara sehat dan islami sehingga prilaku menyimpang dalam penggunaan teknologi dapat diminimalisir.
Pesantren Ramadan yang digagas Walikota Padang (ketika itu) Fauzi Bahar, awalnya menimbulkan pro dan kontra. Masa libur anak-anak selama Ramadan dinilai dikorbankan untuk berkegiatan, sehingga ketika itu banyak kalangan yang memperkirakan anak-anak akan kelelahan dan membuka peluang besar bagi mereka untuk tidak berpuasa.
Pertanyaan-pertanyaan lain pun menggelinding. Sejumlah guru yang harus libur di saat muridnya libur, ternyata diberi tugas untuk mengawasi anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya dengan ikut berperan aktif di mushala dan masjid tempatnya tinggal.
Terobosan yang mulanya didukung dan ditentang tersebut, ternyata berlahan dan pasti, terus mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat. Tak hanya sejumlah daerah di Sumbar, tetapi konsep yang sama atau sudah dipertajam, juga dilaksanakan di sejumlah daerah lainnya di Indonesia.
Jika saja dihubung-hubungkan, maka masa pesantren Ramadan yang kini berlangsung 15 hari (tahun-tahun sebelumnya mencapai 22 atau 24 hari) tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pendidikan agama yang didapatkan di sekolah.
Mari kita hitung. Rata-rata pendidikan agama di sekolah hanya dua jam pelajaran (satu jam pelajaran hanya 45 menit) seminggu. Satu tahun ada 52 minggu. Jika dikurangi dengan  libur semester dan libur panjang, empat minggu saja, maka sisanya 48 minggu.  Itu sama artinya, 96 jam pelajaran, atau 4320 menit. Berarti sama dengan 72 jam.
Waktu belajar di pesantren ramadan, rata-rata 5,5 jam perhari.  Jadwal tersebut meliputi  saat subuh, materi setiap tingkatan dan isya serta tarawih.  Totalnya 82,5 jam. Secara efektivitas waktu, rentang 15 hari tersebut ternyata melebihi waktu belajar setahun atau dua semester. Aspek lainnya, materi di sekolah, biasanya meliputi 75 persen teori, 25 persen praktek. Di pesantren Ramadan justru sebaliknya, lebih banyak praktek dibandingkan teori.
Nilai lain yang didapatkan dari pesantren ramadan, anak-anak tetap bisa berinteraksi dengan lingkungan. Kondisi saat ini, jika pada hari-hari biasa di luar ramadan, interaksi anak-anak di lingkungannya mulai berkurang, karena  jadwal sekolah serta berbagai les mau pun ekskul yang bejibun. Sejak dini, anak-anak sudah dibiasakan untuk berkegiatan di mushala atau masjid. Kehadiran anak-anak di mushala atau masjid, biasanya juga diikuti orang tua.
Di balik berderetnya kebaikan yang terkandung dalam pesantren ramadan, agaknya ada satu persoalan yang belum tersentuh secara utuh. Sebelum semua  guru terlibat secara aktif untuk mengawasi pesantran ramadan tersebut, sesuai ketentuan yang sudah ditetapkan. *




CATATAN: Tulisan ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, di Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu, 28 Juni 2014

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...