14 July 2014

Nafsu Besar


 Oleh: Firdaus


Sumbar memiliki banyak pengalaman buruk di pentas olahraga nasional. Di antara yang masih lekat dalam pikiran; hengkangnya Nurhayati bersaudara ke Yogjakarta, memupus harapan  tambang medali di balap sepeda. Pindahnya sejumlah lifter Sumbar ke Jawa Tengah, jelang PON XIII/1993 karena iming-iming bonus di Jawa Tengah yang sangat menggiurkan, Rp 25 juta untuk satu medali emas. Bonus tertinggi pada masa itu. Yang paling buruk, berada di posisi paliang pincik (urutan ke 26 dari 26 provinsi) pada PON XV/2000, pascalepasnya Timor Timur dari Indonesia.
Setelah kejadian buruk itu, semua orang angkat bicara. Beragam pandangan meluncur bagaikan sembilu mengiris. Berbagai pendapat muncul kepermukaan bagaikan belati yang menghunjam jantung. Muaranya mengarah kepada satu titik, tidak peduli.

Berjibun pendapat itu pun kemudian hilang berlahan. Suara-suara keresahan, kegelisahan terhadap dunia olahraga Sumbar terkubur bersama waktu, sejalan dengan ketidakmampuan untuk memaksa pemilik  kekuasaan dan pemegang kebijakan untuk peduli pada olahraga.
Ketika para atlet Sumbar gagal mempersembahkan prestasi,  maka suara-suara itu kembali terdengar. Suara-suara itu tidak  mampu mengubah takdir karena kegagalan itu sudah terjadi. Berbeda halnya jika wujud kepedulian itu disuarakan ketika keberpihakan pemilik kebijakan tidak mengalokasikan kebijakannya untuk olahraga.
Saat ini, misalnya. Pernyataan Wakil Ketua Umum II KONI Sumbar Handrianto, patut untuk menjadi perhatian serius bagi semua kalangan. Bendera Hitam sudah pantas dikibarkan untuk mengabarkan bahwa kematian olahraga di Sumbar sudah dimulai.
Kata Handrianto, seperti ditulis Padang Ekspres, beberapa hari lalu, bila tak memiliki anggaran, lebih baik kantor KONI Sumbar  ditutup saja,  atau  silahkan pemerintah saja yang mengelola olahraga.
Pemprov dan DPRD Sumbar merupakan oraganisasi yang memiliki undang-undang dan pemerintah bertanggung jawab dan berkewajiban untuk  mendanai  dan melakukan pembinaan. Tapi sayang, tahun ini anggaran yang diberikan dari APBD melalui dana bansos setiap tahunnya tidak ada untuk KONI Sumbar. Padahal anggaran KONI wajib ada setiap tahunnya berdasarkan Undanmg-undang Re­pub­lik Indonesia Nomor 3  Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Na­sional.
Di Indonesia, KONI Sumbar satu-satunya yang tidak mendapatkan dana pada tahun ini. Padahal lembaga ini milik pemerintah dan memiliki undang-undang sendiri yang mengatur. KONI berbeda dengan LSM atau lembaga sosial yang lain.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan, menjelaskan, Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penda­patan dan Belanja Daerah (APBD).
Sedangkan Pasal 4 dari Pera­turan Pemerintah tersebut berbunyi Sumber pendanaan keolah­ragaan ditentukan dengan prinsip kecukupan dan berkelanjutan sesuai dengan prioritas rencana pembangunan keolahragaan.
Untuk sumber dan alokasi pendanaan berdasarkan pasal 5 ayat 2 mengatakan sumber pendanaan keolahragaan dari pemerintah daerah berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Tidak adanya dana Bansos terhadap KONI Sumbar menja­dikan permasalahan yang sangat besar. Mulai dari tersendatnya pembayaran operasional kantor dan gaji karyawan, hingga ke pendanaan terhadapt atlet-atlet Sumbar.
Meskipun KONI memiliki dana Rp.5,2 Miliar melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), tapi dana itu merupakan dana penunjang  kegiatan. “Tidak bisa digunakan untuk pembayaran honor para atlet maupun honor para pegawai kantor KONI ini,” ungkap Handrianto.
Jika dihitung mundur sesuai jadwal umum, maka PON XIX/2016 hanya tersisa dua tahun lagi, atau hanya sekitar setahun lagi untuk Kejurnas Pra PON atau Porwil. Waktu yang singkat untuk  sebuah program yang besar. Artinya, ketiadaan dana seperti yang diungkapkan Handrianto merupakan masalah besar untuk persiapan atlet Sumbar.
Benar ada pernyataan bijak; uang bukanlah segala-galanya. Hanya saja, pernyataan bijak itu bisa tidak sejalan dengan realita. Mungkinkah berlatih terus menerus tanpa diimbangi dengan gizi yang cukup? Dari mana mendapatkan gizi? Gizi didapatkan dengan jalan dibeli. Membelinya dengan uang. Atau, gizi didapatkan dengan cara dikelola sendiri, misalnya diternakkan sendiri, ditanam sendiri?
Pupuk atau pakannya dari mana? Dibeli atau dibuat sendiri? Jika dibuat sendiri, bahan-bahannya didapatkan dari mana? Diusahakan sendiri atau dibeli? Kalau diusahakan sendiri, maka waktu yang ada sudah terpakai habis untuk mengelolanya. Mana lagi untuk berlatih? Jika dibeli, uangnya dari mana? Butuh uang-kan?
Realita hari ini semakin tak bisa diterima akal jika dikaitkan dengan apa yang dikumandangkan Pemprov Sumbar, pada Rabu, 6 Maret 2013. Ketika itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno melaunching  Sumatera Barat siap menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI tahun 2004,  di Balai Sidang Bung Hatta Kota Bukittinggi,  di sela-sela  pembukaan Musyawarah Olahraga Provinsi (Musorprov) KONI Sumbar.
Menurut Irwan Prayitno ketika itu, Pemprov Sumbar sangat serius untuk menjadikan Sumbar sebagai tuan rumah PON XXI pada tahun 2024 mendatang. Sebagai langkah awal, pembangunan venue berkelas nasi­nal akan dimulai di Kabupaten Dharmasraya, yang juga sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Sumbar XIII tahun 2024 mendatang. Keinginan gubernur tersebut mendapat dukungan dari seluruh kabupaten dan kota di Sumbar.
Keinginan besar tersebut, ternyata tak sebanding dengan kenyataan yang sedang berjalan. Jika dianalogikan, maka analoginya; seseorang sangat mendambakan berteduh di rumah besar yang belum dimiliki. Ketika hujan datang, ia tak memikirkan hujan tersebut, pikirannya hanya ada untuk rumah megah tersebut. Lantaran tak menghiraukan hujan, ia biarkan dirinya berhujan-hujan.  Kemudian ia sakit dan terkapar sebelum sempat membangun rumah besar tersebut.
Artinya, bukan tidak mungkin atlet yang ada  sekarang, akan hengkang dari Sumbar karena keberadaan mereka tidak dipedulikan. Setelah itu, prestasi olahraga Sumbar kembali terpuruk ke jurang yang paling dalam.
Jika hal ini terjadi, biasanya semua orang akan ribut kembali. Ah, ternyata kita hanya memiliki nafsu besar saja. *

CATATAN: Tulisan ini dimuat pada kolom KOPI MINGGU, di Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu, 23 Maret 2014

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...