31 May 2022

Membagi Sistem Kepribadian Manusia

Menyigi Cerpen Aroma Dapur Emak dari Psikologi Sastra:


Oleh: Zhilan Zhalila

 

 

Mempelajari Psikologi Sastra sebenarnya sama dengan mempelajari manusia atau tokoh dalam cerita. Menurut Wellek Werren dalam Kasnadi dan Sutejo (2010:64) Psikolog Sastra mempunyai empat pengertian yaitu studi psikolog pengarang, studi proses kreatif, studi hukum-hukum psikologi dan memepelajari dampat sastra terhadap pembaca.

Tujuan mempelajari Psikologi Sastra untuk memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya, seperti Aroma Dapur Emak karya Firdaus Abie (diterbitkan di halaman Sastra, Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 27 Mei 2018), melalui pemahaman tokohnya, Da Boy dan adiknya. Agar memahami perubahan, kontradiksi dam penyimpangan lainnya yang terjadi di masyarakat.

Freud membagi psikisme manusia menjadi tiga yaitu id, ego, dan superego. Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Menurut Bertens (2006:32-33), id merupakan lapisan psikis yang paling mendasar sekaligus id menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih lanjut.

Artinya id merupakan sistem kepribadian asli paling dasar yakni yang dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah unconscious, mewakili subyektivitas yang tidak pernah disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya.

Pada cerpen “Aroma Dapur Emak” Da Boy menjadi tokoh utama yang diceritakan oleh adiknya. Kerinduan Da Boy dengan kampungnya saat di perantauan, membawanya kembali  pulang. Terlebih melakukan Balimau, Tradisi masyarakat di Ranah Minang. Mandi ke sungai membersihkan diri sembari memanfaatkan momentum tersebut untuk bersilaturrahmi dengan sesama. Berikut kutipan menunjukan Id Da Boy.

“Aku heran saat Da Boy pulang sehari sebelum balimau. Da Boy mengatakan, akan ke Lubuk Tempurung. Ia akan pergi balimau. Aku mengingatkan larangan Ayah padanya, namun Da Boy tetap bersikukuh untuk ke sana.

“Sekali ini saja,” katanya sepulang ziarah ke makam Ayah dan Emak.

Sejak pulang balimau, Da Boy tak seceria sebelumnya. Ia sering terlihat gelisah. Sekali-sekali tertangkap basah merenung sendiri. Aku pernah bertanya,  namun ia tak memberikan jawaban. Pernah pula aku minta kepada suamiku, Malin Kayo, menanyakan perihal mamak rumahnya tersebut, namun tak ada jawaban. (Firdaus : 18).

Keinginan Da Boy untuk pergi balimau sangat kuat, pada semasa ia kecil ia dan adiknya dilarang untuk ikut balimau oleh ayahnya. Karena kondisinya tak lagi sama, jika dulu perempuan dan laki-laki mandi terpisah dan ada sanksi adat, kini semua sudah bercampur baur.

Akhirnya Da boy, adiknya dan Emak pergi balimau tanpa sepengetahuan ayah. Ketika pulang, ayah sudah menunggu di serambi, tampak jelas ada amarah di wajah ayah. Tetapi emak tetap tenang, emak berani pasang badan untuk anak-anaknya. Hingga akhirnya mereka tidak pernah lagi pergi balimau. Hingga hari ini, ketika Da Boy pulang untuk balimau sendiri.

Menurut Bertens (2006:33), tugas ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, lagi untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dari superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id.

Id, Da Boy mengatakan bahwa ia ingin pergi balimau, lalu mendorong egonya untuk pergi ke tempat larangan dari ayahnya. Berikut pada kutipan

“Aku heran saat Da Boy pulang sehari sebelum balimau. Da Boy mengatakan, akan ke Lubuk Tempurung. Ia akan pergi balimau. Aku mengingatkan larangan Ayah padanya, namun Da Boy tetap bersikukuh untuk ke sana.

“Sekali ini saja,” katanya sepulang ziarah ke makam Ayah dan Emak.

Sejak pulang balimau, Da Boy tak seceria sebelumnya. Ia sering terlihat gelisah. Sekali-sekali tertangkap basah merenung sendiri. Aku pernah bertanya,  namun ia tak memberikan jawaban. Pernah pula aku minta kepada suamiku, Malin Kayo, menanyakan perihal mamak rumahnya tersebut, namun tak ada jawaban. 

Aku semakin heran, Da Boy membatalkan rencana kembali ke Jakarta. Tiket pesawat untuknya balik, hangus. Tak bisa diganti dengan apa pun. Aku tak berani menanyakan kapan ia balik ke Jakarta. Aku takut ia tersinggung. (Firdaus : 18).

Ego Da Boy tidak mau dilarang, walau sebelumnya sudah  dilarang ayahnya, saat ini hanya adiknya yang bisa melarang, Da Boy tetap pergi balimau sendiri, dan membawa pertanyaan pada adiknya kenapa Da Boy bersikap tidak seperti biasanya.

Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2010:127) Super Ego adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan. Super Ego lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu, Super Ego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Fungsinya yang pokok ialah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat.

Superego Da Boy tergambar setelah ia pergi balimau, dengan sikap yang tak biasa yang adiknya lihat. Lalu Da Boy pergi ke dapur emak yang masih bertungku, dihidupkan dengan api dan ranting-ranting kayu. Yang sudah adiknya pahami, ia kangen dengan ayah dan juga emak. Terlebih pada saat emak melindungi ia dan adiknya pada saat diam-diam pergi balimau. Berikut pada kutipan

“Biarkan aku menikmati aroma dapur Emak,” katanya, mengusirku.

Air mataku berderai. Aku ingat Ayah. Ingat Emak. Aku ingat bagaimana kemarahan Ayah pada aku, Da Boy dan Emak ketika kami pulang balimau. Mimik Ayah ketika itu masih terekam dalam memoriku. Sikap santun dan penurut Emak juga melintas dalam pikiranku. Ketika itu Emak mengaku, beliaulah yang mengajak kami ke Lubuk Tempurung. Aku tahu, ketika itu sebenarnya Da Boy memaksa untuk diizinkan balimau. Emak melarang. Da Boy memaksa setengah merengek. Emak akhirnya memutuskan untuk menemaninya dan sekaligus mengajak aku.

Ketika derai air mataku jatuh, aku masih sempat melihat, Da Boy tampak menangis ketika menghidupkan api di tungku, menikmati aroma dapur Emak. (Firdaus : 18)

Penelitian ini menggunakan teori psikologi dari Sigmund Freud yang membagi kepribadian manusia menjadi tiga yaitu id,ego, dan superego. Ketiga sistem kepribadian manusian ini saling bersangkutan dan mempengaruhi kepribadian dan konflik oleh tokoh utama. Karakter Da Boy dan adiknya memiliki karakter yang seimbang sehingga Id, Ego, dan Superego mereka berjalan seimbang. *

 

 

* Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, FIB – Unand

 

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...