28 May 2022

Lagu Minang di Persimpangan Jalan

Oleh: Firdaus Abie

Hingga kini, lagu-lagu Minang masih terus bersaing dengan lagu lain. Tak hanya lagu pop dan religi, tetapi juga bersaing dengan lagu dari berbagai daerah. Persaingan tersebut sangat ketat. Sejak era Youtube, produktivitas pencipta dan penyanyi sangat tinggi.

Produksi lagu tidak lagi bergantung kepada produser tertentu, atau hasil rekaman tak lagi dalam bentuk kaset, vcd, atau dvd, tetapi langsung ke akun Youtube.  

Pada satu sisi, kondisi ini membuat sejumlah label musik harus menyesuaikan situasi. Sebahagian besar mulai meninggalkan produksi dalam bentuk kaset, atau dvd, tetapi mengikuti selera yang lagi trend, masuk ke akun Youtube. Di sisi lain, kenyataan ini membuat pencipta lagu atau penyanyi bisa mengekplorasi diri dengan produktivitas karya lebih dari biasanya.

Di balik ketatnya persaingan tersebut, ada sorotan secara khusus terhadap lagu-lagu Minang. Lagu-lagu Minang saat ini memiliki rasa dan pengaruh nyata dari lagu-lagu Melayu Malaysia.

Jika realita hari ini dikomparasikan dengan era 1970-an hingga 1980-an, situasinya justru terbalik.

Mengutip B. Andoeska, seorang musisi dan legenda lagu-lagu Minang, dari akun Youtube Firdaus Abie (https://youtu.be/nNPosawZz10), pada era tersebut, jika ada lomba lagu di seluruh wilayah di Asia Tenggara, selalu ada lagu Minang di dalam daftar lagu. Diantaranya, yang paling populer, Ayam Den Lapeh dijadikan lagu wajib.  Jika tidak ada lagu Minang, maka lomba tersebut tidak akan ada peserta. Alasannya, panitia dinilai kampungan.

Label musik di Jakarta juga tak kalah cerdik. Setiap lagu-lagu pop Indonesia yang mereka produksi, menurut B. Andoeska biasanya juga disisipkan satu atau dua lagu Minang. Langkah ini merupakan strategi untuk menarik pendengar lagu-lagu Minang.

Setiap kurun waktu tertentu, lagu-lagu Minang berproses dan berkembang sejalan dengan zamannya. Perkembangan dan perubahan tersebut adalah bagian dari apa yang pernah dikatakan Jeans Louis Barrault, seniman Prancis. Katanya, seni adalah revolusi abadi.   

Seniman Indonesia asal Ranah Minang, Yusaf Rahman yang terkenal dengan karya-karya hebatnya pernah pula mengatakan, perubahan di bidang musik diakibatkan peristiwa kontak suatu budaya dengan budaya lain yang datang dari luar, disusul kontak budaya dari dalam yang terjadi alih generasi, sehingga membawa pola berpikir baru.

 

Fakta dari apa yang dikatakan keduanya, terbentang nyata ketika melihat perkembangan musik dunia, khususnya terhadap lagu-lagu Minang. Lebih terangnya, terungkap dari apa yang dikatakan Yusaf Rahman, bahwa perubahan tersebut karena dua hal. Pertama, datang dari budaya luar dan kontak dari dalam karena terjadinya alih generasi, sehingga membawa pola berpikir baru.

Pengaruh dari luar tersebut, setidaknya dapat dirasakan secara nyata pada awal kehadiran lagu-lagu Minang yang dibawa Orkeas Gumarang.

 

Jauh sebelum Orkes Gumarang ada, di wilayah Minangkabau atau Padang, orang sudah menyukai musik jenis (genre) Keroncong, Hawaian dan latin beat. Latin beat itu pula yang dimainkan Asbon dan Orkes Gumarangnya. Setelah Orkes Gumarang muncul era Kumbang Cari.

Perubahan dan perkembangan yang terjadi, ketika awalnya hanya nyanyi seorang, berkembangan dengan gaya duo (nyanyi berpasangan dan bergantian). Setelah itu muncul pola Trio, dimana setiap vokalis membagi suaranya. Tak lama kemudian, muncul gamad.

Pada era 1990-an muncul genre pop Minang, berikutnya di tahun 2000-an masuk genre remix Minang. Kemudian muncul lagu Minang gaya slow rock dan sejak tahun 2010-an hingga kini sangat kentara trend Pop Melayu Malaysia.

Sedangkan pengaruh dari dalam, ditandai dengan pencarian-pencarian baru oleh generasi di masa itu. Pencarian itu ditemukannya dari apa yang ada di lingkungan sendiri, sehingga pada tahun 1975, untuk pertama kali diperkenalkan alat musik tradisional Minangkabau dalam lagu Minang, tepatnya lagu Tanti Batanti.

Kehadiran saluang pada lagu tersebut, menjadikan lagu Minang semakin terasa roh Minangnya, sehingga menginspirasi yang lain untuk mengembangkan dan memainkan instrumen alat musik tradisional Minang, seperti rabab, pupuik batang padi, sampelong, gandang, sirompak, dendang Pauah di Padang, dendang Darek, bisa diolah jadi lagu Minang. Kehadiran nuansa baru ini langsung bisa diterima masyarakat.

Sejak saat itu, sejumlah musisi hadir dengan ciri mereka sendiri. Misalnya, Latin Beat seakan menjadi ciri khas Orkes Gumarang. Yan Juneid dengan gamad-nya. Satayu,  Sexri Budiman, An Roys, Deky Rian, dengan gaya pop Minang. Rabab semakin dipopulerkan oleh Alkawi. Lagu-lagu garah seakan menjadi ciri khas Zai Syafei, Syamsi Hasan, Nedy Gampo, Opetra, Ajo Busyet, Edi Cotok.

Jika mendengar Saluang, setidaknya orang akan ingat pada Asben, Ajis Sutan Sati, Misramolai, dll. Nuansa derak dimainkan Yusaf Rahman, Masrul Mamuja. Nuansa pasisia banyak ditemukan pada karya Nuskan Syarif. Mendengar Indang, maka orang akan ingat pada Tiar Ramon. Ada juga ciri khas lainnya yang disebut pelayaran yang memainkan tarikan bansi.

Di awal 1980-an, lagu-lagu Minang seakan tenggelam. Kalau pun ada, nyaris hanya lagu-lagu lawas yang didaur ulang. Tak ada lagu baru. Ketidakadaan lagu baru tersebut, menurut Agus Taher, musisi dan pencipta ratusan lagu-lagu Minang, lantaran dimasa itu, Tanama Record yang sebelumnya ada di Jakarta, juga buka studio musik rekaman di Padang. Studionya bagus. Pemasarannya juga bagus. Mereka menggunakan sistem kontrak. Artis-artis terbaik, pencipta lagu dan musisi terbaik dimasa itu, dikontraknya. Akibatnya, produser lain susah berkembang. (https://www.youtube.com/watch?v=YonoiwKns-Y&t=31s)

Tak banyak lagi penyanyi baru yang muncul. Tak banyak lagi musisi yang muncul. Tanama Record kemudian memasang strategi, mendaur ulang lagu-lagu lama. Penjualannya sangat luar biasa.

Awal 1990an,  Agus Taher, Ferry Zein dan Zalmon menghadirkan sound effect. Lagu Kasiak Tujuah Muaro, dihiasi dengan suara suasana pantai di senja hari. Lirik yang dipakai menggunakan lirik puisi. Lagu Minang sebelumnya liriknya berbentuk pantun. Lagu tersebut meledak di pasaran. Disusul kemudian Nan Tido Manahan Hati. Juga laris manis. Kehadiran lagu tersebut menginspirasi musisi lain.

Tak berlebihan kalau kemudian, Kasiak Tujuh Muaro disebut sebagai lagu yang menginspirasi kebangkitan baru lagu-lagu Minang. Sejak itu pula, tumbuh studio-studio rekaman di Sumbar kembali.

Selain masuknya instrumen musik tradisonal Minang, apalagi yang mempengaruhi atau menjadi ciri khas lagu-lagu Minang tersebut?

Pertama, terungkap dalam lirik. Pada umumnya lirik dalam lagu Minang sejalan dengan kebiasaan, atau tradisi lisan masyarakat. Ada yang menggunakan pantun. Menggunakan pantun ini, ada kalanya mengejar bunyi akhiran yang sama, tetapi pantun sesungguhnya adalah pantun yang berisi sampiran.

Berikutnya adalah penggunaan bahasa. Kaidah bahasa bertutur masyarakat Minang adalah bahasa kiasan, atau bahasa sindiran. Ada juga yang menyebut dengan bahasa tak langsung.  Penggunaan bahasa inilah sesungguhnya kekayaan bahasa Minang tersebut.

Mengapa begitu? Budaya orang Minang, bukanlah budaya yang ketika hendak menyampaikan sesuatu,  bersifat tembak langsung. Tapi selalu bicara melingkar, atau menyampaikan pesan secara simbol, atau kiasan. Ketika haus, biasanya tidak langsung disebut haus. Ada kalanya disebut serasa di gurun pasir, atau serasa di pasawangan.

Berikutnya, yang biasa juga digunakan adalah bahasa langsung, atau bahasa yang sudah umum dikehidupan sehari-hari. Ada juga yang menggunakan bahasa tak umum, tetapi biasa digunakan ditempat tertentu yang pengucapan atau maknanya cenderung terkesan kasar bagi orang kebanyakan.

Kedua, pesan dalam lagu-lagu Minang. Secara umum, pesan dalam lagu-lagu Minang bisa dikategorikan dalam tiga kelompok. Pertama, menyampaikan pesan perasaan cinta dan pendidikan. Perasaan cinta bisa ditujukan kepada orang tua, pasangan, kampung halaman, teman sebaya, anak dan lain-lain. Kedua, pesan yang disampaikan terkait dengan kearifan local dan kepedulian lingkungan. Ketiga, memperkenalkan Budaya Daerah dan Keelokan Urang Minang.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk masa depan? Musisi, pemusik dan artis lagu-lagu Minang saat ini seakan berada di persimpangan. Mereka harus melakukan apa lagi?

Bertahan dengan idealisme, dikhawatirkan dapur mereka tidak akan berasap. Apalagi bagi mereka yang hanya menggantung naskah di musik. Jika digali dan dihadirkan sesuatu yang baru, bisa saja dianggap sebagai berjudi, karena belum tentu yang baru diterima publik.

Langkah paling realistis, tentu mengikuti selera pasar, atau menjadi pengikut trend yang sudah terjual secara pasti. Namun risikonya bisa berbahaya bagi keutuhan nilai dari lagu Minang tersebut di masa-masa datang. Bisa hilang khasnya.

Ah, ini sebuah dilema yang harus dipecahkan bersama karena saat ini, lagu Minang sedang berada di persimpangan jalan.

Saya jadi teringat pesan ini; Orang akan menjadi arif jika mendengarkan musik, tapi orang yang arif belum tentu bisa mendengarkan musik.*

*) Jurnalis dan Penulis Sastra

**) Naskah ini disampaikan pada Diskusi Seni Budaya, di Taman Budaya, Dinas Kebudayaaan Sumatera Barat, Kamis 24 Februari 2021

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...