12 September 2021

Berangkat Umrah Setelah Kontrak Kerja Diputus

Oleh: Etiana Julianti - Ketapang, Kalimantan Barat

 


    Saya Etiana Yulianti. Pernah bekerja dibanyak tempat. Tapi entah mengapa, sejak bekerja di Wardah (PT Paragon Technologi and Innovation), saya benar-benar menikmatinya. Alhamdulillah, rezeki selama di Wardah sangat membantu keluarga saya.

 Proses waktu berjalan tanpa saya sadari. Tak terasa, tujuh tahun berjalan. Saya menyadarinya ketika dapat kabar, saya akan diberangkatkan umrah oleh perusahaan. Di PT Paragon Technologi and Innovation, karyawan yang sudah bekerja selama tujuh tahun diberangkat umrah gratis. Masya Allah. Sungguh nikmat luar biasa yang tak pernah terbersit bagi saya.

Impian untuk bisa beribadah ke Tanah Suci memang ada dalam keinginan saya, tapi sama sekali tak pernah saya bayangkan bisa ke sana. Jangan ke untuk biaya ke Tanah Suci, penghasilan saya selama bekerja tak pernah ditabung karena untuk kebutuhan saya bersama keluarga dan orang tua. Apalagi ayah saya sudah tiga kali keluar masuk rumah sakit. Ketika itu, belum ada BPJS. Biaya rumah sakit harus dibayar tunai.

Sebelum sakit, ayah saya seorang penjual ikan. Selama beliau sakit, tidak bisa jualan sama sekali. Saya masih bersyukur karena sudah bekerja, sehingga gaji saya bisa untuk berobat ayah. Tak masalah. Harapan saya, semoga ayah lekas sembuh.

Ketika diberitahu bahwa saya akan berangkat umrah, tahun 2019, tak terbayangkan sama sekali. Tentu saya dan keluarga sangat senang mendengarnya. Namun ada  kekuatiran dalam diri saya. Ketika itu, saya sedang hamil. Saya kuatkan tekad, saya harus tetap bisa berangkat.

Saya berpikir, tentu akan lebih bagus jika saya berangkat umrah bersama janin anak yang saya kandung. Semua kebutuhan administrasi saya urus. Saya urus pembuatan paspor. Saya urus pelaksanaan suntik maningitis.

Rencana dan keinginan pada kita, tapi keputusan tetap dari sang pemilik alam, Allah. Saya belum diizinkanNya melalui proses panjang dan sangat sulit. Saya mengalami kesulitan mengurus paspor, tidak mendapatkan surat keterangan dokter, rumitnya proses suntik maningitis. Saya semakin berontak ketika dua orang teman sekantor saya di Ketapang sudah siap untuk berangkat, sementara urusan saya belum selesai.

Ketika rasa kesal, marah dan kecewa dalam diri saya memuncak, tiba-tiba seseorang yang tidak saya kenal justru bisa menenangkan saya.

“Jika memang rezeki kita, ia tidak akan ke mana. Jika bukan rezeki kita, nasi yang mau kita suap juga bisa tumpah dari tangan sendiri. Itulah namanya takdir Allah. Jika kita ikhlas, rencana Allah pasti akan lebih indah,” katanya menyadarkan saya.

Sejak itu saya mulai tenang, lalu berlahan menata hati, menata diri. Saya disadarkannya. Saya mulai merasa tenang. Mendekati hari keberangkatan kedua teman saya tersebut, saya justru merasakan kondisi saya semakin lemah. Bawaan saya mau tidur saja.

“Sekiranya dipaksakan berangkat juga, percuma saja jauh-jauh jika hanya untuk tidur,” kata suami yang semakin menguatkan saya untuk mengikhlaskan semua yang terjadi.

Beberapa hari kemudian, saya bertemu Mbak Fiman dan Mbak Gesha, keduanya pimpinan yang mengurus B.A di Ketapang. Beliau mengatakan, kalau saya tak bisa pergi. Saya akhirnya benar-benar bisa melupakannya.

Proses persalinan kemudian saya jalani. Saat selesai melahirkan, jatuh tempo kontrak saya pun berakhir. Saya pun kemudian mengira, tidak akan diperpanjang. Tapi takdir Allah berkata lain. Saya masih diberi kesempatan bekerja di Wardah. Alhamdulillah.

Setahun kemudian, tepatnya Januari 2020, saya diberangkatkan umrah oleh perusahaan. Rencana keberangkatan tersebut, kembali sangat mengejutkan saya. Pasalnya sebulan sebelum berangkat, saya merasakan kondisi berat dan malas saja untuk mendirikan salat dan ibadah lainnya.

Tiga hari sebelum berangkat, saya mencurahkan semua rasa yang ada pada tetangga yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Saya ceritakan tentang kemalasan saya, termasuk sudah sering melalaikan perintahNYA.

“Ini adalah bagian dari ujian yang diberikan Allah, kak. Alhamdulillah, ujian itu diberikan ketika kakak masih di Indonesia. Apa jadinya jika sudah berangkat ke Tanah Suci, lalu masih juga malas beribadah di sana. Perbanyak memohon ampunan kepada Allah, Kak,” katanya.

Hari berikutnya, saya bertemu teman satu tim yang umurnya lebih tua dari saya. Ia berpesan agar saya selalu memperbanyak istigfar, memohon maaf kepada orang tua, suami, anak saudara dan karib kerabat. Semua pesan itu saya laksanakan.

Sebelum meninggalkan kampung halaman di Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, persoalan lain pun muncul. Saya merasa sangat galau karena tidak ada persiapan sama sekali. Saya tidak memiliki tabungan sama sekali, sementara baju muslimah yang saya miliki sangat terbatas. Belum lagi tas dan koper untuk barang-barang.  

Disaat kebingungan, Saya hubungi teman yang pernah pernah umrah sebelumnya. Ia mengabarkan, semua persiapan dan perbekalan kita sudah disiapkan oleh Paragon. Termasuk perlengkapan ibadah dan dua kopernya. Ketika ia berangkat umrah, perbekalan itu sudah diterimanya jauh-jauh hari karena semua barang-barang tersebut dikirimkan ke BA sebulan sebelumnya. Saya makin bingung, kok hari semakin dekat, barang-barang tersebut tak sampai kepada saya?

Akhirnya saya memberanikan diri bertanya kepada Mbak Izaz. Saya jelaskan kepada beliau, bahwa di grup semua calon jamaah umrah dari Paragon untuk mengemasi kebutuhan dan mempersiapkan perbekalan. Termasuk dua koper yang belum sampai pada saya.

Katanya, sudah dikirim. Akhirnya saya cek ke gudang toko. Beberapa jam kemudian, saya menemukan koper tersebut yang isinya tidak utuh lagi. Saya memang mendapatkan dua koper, buku panduan, sajadah dan tas kecil. Tapi tak ada mukena, padahal saya sangat berharap mendapatkan mukena.

Uang sudah tidak ada lagi, haruskah saya membeli mukena? Akhirnya saya membeli mukena polos yang harganya lebih murah. Saya persiapkan perbekalan seadanya. Dalam pikiran saya, bagaimana dengan suami dan anak saya nanti? Satu- satunya bayangan, saya akan mencari pinjaman.

Saat itu juga, saya berdoa kepada Allah, “hamba benar-benar ingin beribadah di Tanah Suci. Tak ada keinginan lain. Ya, Allah, hamba bermohon ya Allah. Bantulah hamba, ya Allah. Mudahkanlah urusan hamba,”

Berulang kali doa sederhana itu saya ucapkan.

Selang beberapa saat di antaranya, Allah mengirimkan pertolongannya dengan cara yang tak terduga. Sore hari, seorang tetangga datang bersilaturrahmi ke rumah. Ia memberikan uang untuk saya. Tak lama di antaranya, bapak mertua juga memberi saya  uang. Alhamdulillah, saya tak perlu lagi mencari pinjaman untuk bekal dan pegangan selama diperjalanan.

Dua hari sebelum berangkat ke Jakarta, datang orang kantor ke Ketapang. Semua B.A dipanggil satu persatu ke Hotel Aston. Ketika saya menghadap, kepada saya disampaikan bahwa kontrak kerja saya diputus. Saya bingung. Saya merasa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Nilai saya bagus. Kerja bagus. Absen tak masalah. Saya juga merasa tak pernah ada masalah dengan orang-orang kantor.

Tapi, pernyataan mereka sungguh mengejutkan. Mereka mengatakan kepada saya, setinggi apa pun penjualan Kak Ety, tak akan berpengaruh terhadap perusahaan. Oh, saya benar-benar tersentak.

Bukan bermaksud menghitung-hitung yang telah berlalu, saya memulai Wardah di Ketapang dari nol, sejak Wardah belum ada apa-apanya di mata masyarakat. Saya berjuang untuk bisa memperkenalkan dan menjual produk ini. Tahu-tahu ini yang disampaikan kepada saya; setinggi apa pun penjualan saya, tak ada artinya di depan perusahaan.

Saya pulang dengan perasaan hancur. Saya tidak meminta penghargaan apa pun dalam menjalankan usaha selama ini. Saya bekerja sepenuh hati, menjual Wardah, kemudian saya menerima gaji untuk kehidupan keluarga saya. Itu saja sudah membahagiakan saya. Mengapa kontrak saya diputus tanya dijelaskan apa masalah saya. Oh, terlalu kejam!

Dalam kondisi hati dan perasaan hancur, saya tetap berangkat umrah. Saya sangat kesal kepada pimpinan di kantor, mengapa kabar buruk ini disampaikan saat saya akan berangkat. Mengapa tidak setelah saya kembali dari Tanah Suci?

Kendati begitu, saya tetap berangkat umrah. Berangkat dalam kondisi perasaan yang hancur, namun saya tetap berniat dalam hati dan bersungguh-sungguh untuk menunaikan ibadah sebaik-baiknya, namun tetap ada rasa beratnya pikiran saya karena akan hilang pekerjaan sekembali dari Tanah Suci. Begitu luar biasa nikmat ujian yang diberikan Allah kepada saya.

Keesokan harinya, saya berangkat meninggalkan Ketapang menuju Jakarta setelah transit di Pontianak.

Sesampai di Pontianak, saya dijemput Mbak Iszaz. Beliau mengurus saya seperti seseorang yang bersalah terhadap saya. Malamnya, saya kirim pesan singkat, mengajak bertemu untuk menyampaikan mengapa kontrak saya diputus, sementara nilai ujian belum keluar. Ia mengatakan, tidak bisa karena sibuk. Saya sampaikan, kapan pun selesai kerja, saya tunggu. Saya tunggu hingga Subuh, tak ada kabar darinya.

Benar mereka datang selepas Subuh, namun untuk menjemput dan mengantarkan saya ke Bandara di Pontianak. Kami satu mobil, tapi ia tak mau bicara. Hingga detik ini, tak pernah ada penjelasan apa pun dari mereka.

Sesampai di Jakarta, hati saya mulai goyah karena baru sadar bahwa saya belum mendaftarkan paket telepon dari Tanah Suci ke Indonesia, sementara yang lain sudah.

Semalam menginap di Jakarta, lalu bertemu dan bersilaturrahmi dengan rombongan Kloter 14 Jamaah Paragon. Saya sangat berharap, bu Nurhayati, sang owner yang sangat baik hati, punya waktu mengunjungi kami. Jika beliau datang, saya akan sampaikan keluh kesah yang ada di hati. Tapi sampai kami bergerak menuju Bandara Soeta, tak ada bu Nur ---sapaan akrab beliau--- melepas kami. Jadwal beliau sangat padat di pabrik.


“Saya Seperti Terlahir Kembali...”

 

 Ketika hendak berangkat dari Jakarta ke Madinah, saya hendak mendaftarkan di gerai selular yang ada di Bandara Soeta. Disaat hendak menarik uang bonus dari toko yang keluar hari itu, saya dipanggil Mbak Indah, salah seorang yang mengurus perjalanan dari PT Paragon Technologi and Innovation.

Ia mengingatkan, jangan terpisah dari rombongan, nanti tertinggal. Saya terkejut, lagi setengah berlari mengejar rombongan umrah Kloter 14 dari PT Paragon Technologi and Innovation yang terus berjalan menuju bording ke Madinah.

Ketika diumumkan bahwa pesawat sudah mendarat di Bandar Udara Internasional Pangeran Muhammad bin Abdulaziz atau Bandara Madinah, hati saya bergetar. Air mata berlinang. Ucapan syukur tak henti-hentinya saya ucapkan. Tak ternilai rasa yang saya rasakan saat itu. Saya yang orang miskin, banyak dosa, sering melalaikan salat, tidak memiliki tabungan apa pun, hanya membawa sedikit uang untuk bekal di jalan, ternyata sudah diperjalankan Allah melalui Wardah hingga ke Madinah.

Bergetar seluruh persendian saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Suci. Saya merasakan nikmat Allah yang sangat luar biasa. Tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Saya dan rombongan sampai di Madinah Kamis, 16 Januari 2020, dinihari. Salat Subuh langsung ke Masjid Nabawi di Madinah. Bergetar tubuh ini ketika bersujud di masjid yang dibangun Baginda Rasulullah bersama sahabatnya. Saya tak pernah membayangkan bisa berada di tempat suci ini. Selepas Subuh, saya masih di Masjid Nabawi hingga selesai Duha. Ketika hendak kembali ke hotel, ada gerai selular tak jauh dari masjid. Saya mampir membeli paket agar bisa menelpon ke keluarga di Ketapang. Alhamdulillah, saya mendapatkan harga murah dibandingkan jika membeli paket di Indonesia.

Keesokan harinya, selepas Salat Duha, saya dan rombongan berkesempatan beribadah di Raudah, taman surga antara mimbar dan rumah Nabi Besar Muhammad

S.A.W. Saya tak mampu membendung air mata. Doa panjang dan beragam pinta saya sampaikan di sana. Saya curhat kepada Allah sambil menangis.

Sabtunya, selepas Zuhur, saya bersama rombongan Kloter 14, meninggalkan Madinah dengan perasaan sedih. Tiga hari di Madinah, terasa sangat singkat sekali. Malahan ketika bus yang membawa kami bergerak meninggalkan Madinah, beberapa di antara kami bertanya kepada Ustad Azzam dan Ustad Hakim yang membimbing dan mendampingi kami.

“Mengapa hanya tiga hari saja kita di sini, Pak Ustad?” tanya beberapa di antaranya.

Kedua ustad tersebut hanya menjawab dengan senyuman.

Sekitar setengah jam perjalanan dari Madinah menuju arah ke Makkah, rombongan jamaah Kloter 14 sampai di Dzul Hulaifah atau Bir Ali. Di sini proses umrah dimulai. Setiap yang melakukan umrah dari Madinah, maka harus melaksanakan Miqat di Bir Ali. Jaraknya sekitar 450 kilometer dari Makkah.

Jika telah miqat dan ihram, jamaah masuk menuju masjid setelah berwudu. Laksanakan salat sunah sebelum menuju Makkah. Semua larangan harus dipatuhi agar umrah sah. Di antara ketentuannya, laki-laki tidak boleh menggunakan pakaian berjahit, seperti celana dalam. Tidak boleh berkata yang tidak baik, tidak boleh melakukan hubungan  suami istri.

Sampai di Makkah, saya dan rombongan langsung ke hotel di Tower Zamzam. Selama ini saya hanya melihat gambar atau video Tower Zamzam yang menjulang tinggi. Ketinggiannya 601 meter dengan 76 lantai dan memiliki 858 kamar.

Setelah makan meletakkan barang-barang di hotel, saya bersama rombongan menuju Masjidil Haram. Sesampai di dalam masjid, kami langsung dianjurkan Salat Tahiyatul Masjid, kemudian melaksanakan Salat Magrib dan Salat Isya dijadwal Salat Isya.

Setelah selesai salat, kami melangkah lebih ke dalam. Masya Allah. Allahu Akbar. Seketika air mataku jatuh berderai. Tak tertahan. Saya terpana. Saya berdiri di depan Ka‟bah. Selama ini hanya terlihat dari video dan gambar-gambar saja. Allah Maha Besar sudah memberikan kesempatan pada saya.

Sebelum meninggalkan Tanah Suci, kami kembali melaksanaan umrah. Rombongan melalukan miqat di Ji‟rannah. Tawaf Wada‟ dilakukan tengah malam, sekitar pukul dua dinihari. Setelah itu dilanjutkan ibadah sunah lainnya hingga Subuh dan Duha. Menjelang lepas siang, Kloter 14 Jamaah Paragon bergerak dari Makkah menuju Jeddah. Terbang dari Bandara King Abdul Aziz selepas Isya menuju Bandara Soeta di Jakarta.

Saya benar-benar menikmati ibadah selama di Tanah Suci.

 

*

 

Sekembali dari Tanah Suci, saya mendapatkan kenyataan bahwa pekerjaan saya tak berlanjut. Masa kerja saya di Wardah, tak diperpanjang, sesuai dengan kabar yang saya dapatkan sesaat sebelum saya berangkat. Saya tak tahu apa alasannya. Sama sekali tak diberitahu oleh pimpinan saya.

Terus terang, saya sakit hati sekali, terutama sekali pada orang yang memutus rezeki saya di Wardah. Padahal selama ini, saya selalu memenuhi target yang dibebankan. Malahan jika sebelumnya roteting dua toko, tapi berhasil saya jadikan satu toko. Dalam kurun waktu satu bulan,   saya berhasil membukukan omset Rp 20 juta pada satu toko tersebut.

Saya mengingat waktu-waktu yang telah berlalu. Setiap tahun, selalu berganti pimpinan di kantor cabang Pontianak. Beberapa di antaranya tetap mempertahankan karyawan lama yang kinerjanya bagus, seperti yang pernah dipesankan Buk Nurhayati, sang pemilik perusahaan. Kata beliau, umur tak jadi masalah jika penampilan dan penjualan masih oke. Tapi situasi berubah ketika ada pimpinan baru. Sangat banyak aturan yang dikeluarkannya, sehingga kami mulai terusik.

Pergantian pimpinan di Pontianak semakin membuat suasana kerja semakin tidak enak lagi. Tekanan demi tekanan terus dilakukan kepada kami. Peraturan semakin sangat ketat. Suatu ketika, kami dites ulang. Sales pun dipaksa dengan orderan yang semakin berlipat ganda. Orderan tersebut terkadang tidak masuk akal lagi. Disaat stok kami masih ada, kami terus paksa untuk order barang. Jika kami order, tentu stok semakin menumpuk.

Pernah suatu ketika, disaat kepala toko tak ditempat, masih dipaksakan untuk order barang. Tentu saja tak mungkin dilakukan, tapi kami justru diancam diadukan kepada Kepala Sales.

Sekembali dari Tanah Suci, awalnya memang ada perasaan sakit hati yang teramat besar. Saya sulit untuk move on. Suami dan keluarga saya terus memotivasi. Kata mereka, jalani saja hidup ini. Semua skenario kehidupan sudah diatur Allah. Rezeki akan datang dari pintu-pintu tak terduga.

Tak lama setelah pulang umrah, wabah Covid-19 datang menyerang. Banyak sektor terimbas wabah ini. Termasuk berbagai produk, salah satunya penjualan Wardah juga anjlok di Ketapang.

Disaat situasi ekonomi tak menentu itu, Allah berkehendak lain. Saya dijodohkan pada sebuah produk kosmetik lain, Inez Cosmetics. Allah menunjukkan kekuasaannya.

Di balik semua peristiwa yang menimpa, saya mengambil hikmahnya. Rahasia Allah selalu indah akhirnya, jika kita menjalaninya dengan penuh ketabahan dan selalu berserah dir kepadaNYA.

Kendati sesungguhnya cobaan tersebut sangat berat, namun Allah memberikan kekuatan tak terhingga, buktinya saya diberi kekuatan untuk melalui dan menjalankannya. Sejak kembali dari umrah, saya merasa diri ini jauh lebih baik. Saya seakan terlahir kembali. Kekuatan dan kekuasaan Allah benar-benar nyata saya rasakan dalam diri pribadi dan keluarga.

Pelajaran berharga lainnya yang saya petik, kita tidak bisa meminta keadilan kepada sesama manusia, tidak akan pernah bisa meminta pertolongan kepada manusia. Hanya kepadaNYA semua itu bisa kita lakukan. Curhatlah selalu kepada Allah, pasti didengar dan diberkahinya.

Pada kesempatan ini, saya juga mendoakan semoga Bu Nurhayati, dan Pak Salman Subangkat selalu diberikan kesehatan terbaik serta terhindar dari laporan “ABS” bawahan.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...