25 January 2011

The Winning Team

Oleh: Firdaus
 

    Ada tanya dalam diri saya, ketika membaca beranda facebook, beberapa waktu belakangan. Sejumlah teman facebook saya seakan bersepakat mengisi dindingnya dengan tema yang sama, rindu pada masa lalu. Masa lalu penuh kenangan. Jika mengingatnya, memunculkan nuansa beragam.
    Suatu ketika, saat saya online, saya disapa seseorang. Biasanya, ketika sama-sama online, saya dan teman tersebut saling menyapa, walau tidak pernah saling kenal sebelumnya. Ketika saya coba menanyakan perihal statusnya, ia menjawab dengan ketawa ala facebook; wkwkakkkk wwkakakkkkk.
    ”Kenapa Anda ketawa?” tanya saya.
    ”Bagi saya, mengenang masa lalu sangat indah, walau sekarang kondisinya berbeda dibandingkan masa lalu,” jawabnya.
    ”Kondisi yang Anda rasakan hari ini?” tanya saya lagi.
    ”Menyakitkan...” jawabnya enteng.
    ”Lho, kenapa?” tanya saya terkejut.
    Teman itu kemudian menuliskan banyak hal. Sangat panjang penjelasan tentang keberadaan dirinya hari ini. Katanya, Ia sempat kehilangan semangat kerja. The Winning Team yang pernah dibangunnya bersama teman-teman kerjanya dulu, ternyata berlahan dan pasti, hilang begitu saja.
    ”Ada yang mundur karena dapat pekerjaan lain, ada yang mutasi ke kantor cabang lain, dan ada juga yang mendapat promosi dan sebagainya,” katanya membeberkan penyebab awal hilangnya The Winning Team tersebut.
    Awalnya, sang teman tak pernah menduga kalau The Winning Team itu akan hilang, sebab kalau pun terjadi perubahan personil dalam tim tersebut, arah ”perjuangannya” sama. Sama-sama membesarkan usaha yang dijalani, ”ternyata saya keliru,” tulisnya, sebab sekali pun berada di bilik yang sama, punya visi yang sama, tetapi mereka dipisahkan karena kepentingan berbeda.
    ”Ini yang membuat saya sedih. The Winning Team kami hanya seumur jagung karena di-hondoh galodo kepentingan. Itulah yang membuat saya sering merindukan masa lalu,” ungkapnya sembari menyebutkan, terkadang Ia pesimistis dengan kenyataan yang ada sekarang.

*

    Tiga pekan kemudian, saya membaca dinding sang teman. Saya tersenyum. Tulisan di dindingnya berbeda dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kali ini, dindingnya menghadirkan optimistis.
    ”Mantap, kawan,” sapa saya, mengomentari dindingnya ketika sama-sama online.
    Sang teman pun membalas dengan tawa ala facebook, wkwkakkkk wwkakakkkkk.
    Ia pun kemudian buka kartu. Awalnya, Ia mencoba untuk terus melawan kondisi yang tak stabil secara vulgar. Perlawanannya itu justru menghempaskan dirinya sendiri. Ia disudutkan teman-temannya yang memiliki kepentingan lain. Ia makin terjepit.
    Ketika dihadirkan kenangan terhadap tim tangguhnya dulu, Ia justru dituduh tak logis;  masa lalu hanya sebuah kenangan yang sudah berlalu, tak bisa memberikan kontribusi terhadap masa depan. Hari ini adalah kenyataan. Masa depan hanya khayalan.
    Dalam kenyataan buruk itu, ternyata sang teman mengaku menemukan jawaban untuk keluar dari kemelut tersebut dari Seni Perang (The Art of War) Sun Tzu. Katanya, Ia mendapatkan pandangan; ketika para jendral lemah dan tidak memiliki otoritas, instruksi tidak jelas, petugas dan prajurit tidak konsisten, dan mereka membentuk garis pertempuran pada setiap jalan, maka inilah yang disebut kerusuhan. Ketika para jendral tidak bisa menilai lawan-lawan, berselisih dengan pasukan lain yang jumlahnya lebih besar atau lebih kuat, dan tidak memisahkan keterampilan di antara pasukan-pasukan yang dimiliki, maka mereka akan mendapatkan pukulan.
    ”Inilah kondisi awal hilangnya The Winning Team dulu. Lama kondisi ini saya rasakan Kemudian saya menemukan, di antara kondisi memburuk itu, ternyata masih banyak kawan yang ingin bangkit melawan keterpurukan. Saya melihat, ini potensi untuk mengubah keadaan. Kemudian saya kembangkan pola Sun Tzu, orang-orang yang terlatih dalam operasi-operasi militer menciptakan kerjasama dalam sebuah kelompok, sehingga mereka memimpin kelompok seperti seseorang yang tidak memiliki pilihan lain. Melahirkan keberanian secara merata dan membuatnya menjadi seragam adalah elemen dalam organisasi. Keberhasilan, baik dengan menggunakan kekerasan mau pun kelembutan didasarkan pada pola wilayah pertempuran,” tulisnya panjang lebar.
    “Begitukah?” tanya saya setelah mencerna kiatnya.
    ”Yup...” jawabnya.
    ”Urusan seorang jendral adalah tenang dan rahasia, jujur dan teratur. Rencana-rencananya harus tenang dan benar-benar tersembunyi sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Pemerintahannya jujur dan teratur sehingga tidak ada seorang pun yang berani menganggap remeh dirinya,” tulisnya lagi.
    Sebelum saya sempat mengajukan pertanyaan lain, sang teman; off.*



(Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, edisi 14 November 2009)

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...