27 January 2011

Rakyat Mensubsidi Penguasa

Oleh: Firdaus

    “Apa yang harus dilakukan lagi?” tanya seorang kawan, yang sehari-hari berjualan nasi soto di kawasan pasar Lubuakbuayo – Padang, beberapa hari lalu.
    Belum sempat tanyanya terjawab, ia membeberkan betapa pahitnya kehidupan yang terjadi hari ini. Bergerak atau tidak, tetap saja akan menghadapi masalah pelik.
    “Jika jualan terus, akan mengalami kerugian besar. Jika tidak jualan, siapkah pemerintah menahan laju pertumbuhan penggangguran?” tanyanya.
    Sang kawan bukan tanpa alasan. Kepahitan yang dijalaninya hari ini, sebenarnya sudah berlangsung sejak sebulan lalu. Sedikit simpanannya selama ini, yang sudah ditabungnya bertahun-tahun, terus tergerus.
“Semuanya serba mahal,” bebernya.
    Harga cabe, melambung tinggi. Harga beras pun seakan tak terbendung. Kenaikan harga juga dialami kebutuhan pokok lainnya. Semua naik bagaikan alang-alang dapek angin, terus tagak tali.
    Jika mengikuti kenaikan harga, semestinya tarif jualannya juga harus dinaikkan. Baru klop. Hanya saja, sang kawan takut, kalau tarif makanannya dinaikkan, dikuatirkan akan justru memberatkan pelanggan. Kalau pedasnya cabe merah digantikan dengan campuran cabe rawit atau marica, justru akan mengubah rasa.
    “Kehilangan satu pelanggan saja, sama artinya langkah untuk mempercepat keruntuhan usaha,” bebernya. Sekali pun sederhana, namun bermakna.
    Kawan lain, yang duduk selingkaran meja yang sama, juga membeberkan nasib tak kalah buruk. Sejak gempa 30 September 2009 meluluhlantakkan Sumbar, dirinya nyaris tak berjualan lagi di pasar.
    “Tak ada yang bisa diharapkan lagi dari sana,” katanya.
    “Gempa hanya momentum saja, selebihnya tidak ada keberpihakan penguasa kepada nasib anak bangsa yang lemah,” ungkapnya sembari memberikan kiasan saisuak; cando ijuak tak basaga, cando lurah tak babatu. Lantaran kondisi seperti itu, rakyat kecil jadi bulan-bulanan.
    “Bukankah sudah dibangunkan pasar yang baru?” tanya saya.
    Sang kawan tersenyum, namun senyumnya timpang. Tiba-tiba saya teringat masa lalu, sering melihat senyum itu. Senyum mengejek.
    “Berapa banyak pasar telah dibangun di ranah ini, malahan dilengkapi dengan terminal, tapi adakah kehadirannya untuk kepentingan rakyat kecil dalam arti sesungguhnya?”  tanya kawan yang jadi korban “momentum” gempa.
    Katanya, kehadiran pasar dan terminal itu justru menambah kesengsaraan baru. Setelah dibeli, justru tak ditempati pemiliknya lagi, sebab tak ada orang yang berkunjung ke sana. Kehadiran pasar justru dipaksakan, namun tak ada langkah nyata agar orang benar-benar “terpaksa” belanja di sana.
    “Kalau sudah begini, tak rakyat lagi yang mensubsidi rakyat, tetapi rakyat telah mensubsidi penguasa,” umpatnya kecewa pada sang penguasa.*




Catatan: Tulisan ini dimuat Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 16 Januari 2011 pada rubrik KOPI MINGGU.

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...