08 January 2011

”Teater” Caro Lapau: Teater Alternatif, Antara Ada dan Tiada

(Menyimak Festival Baciloteh Caro Lapau)

Oleh: Firdaus

    DIMASA lalu, lapau merupakan tempat paling favorit bagi lelaki di Minangkabau, setelah surau. Saking favoritnya tempat ini, boleh dikata tak ada lapau yang tak dihiasi lelaki. Malahan, lantaran saking favoritnya keberadaan lapau, dulu, biasanya, jika saja hendak mencari seseorang, maka cukup cari tahu saja dimana biasa orang yang dicari itu duduk.
    Ketika waktu berlalu, kini fe¬no¬menanya menjadi lain. Belakangan pandangan terhadap mereka yang duduk di lapau, sudah berubah. Orang-orang yang duduk di lapau, kini, cenderung diposisikan sebagai orang yang tak bertanggungjawab pada diri, keluarga dan lingkungan. Orang-orang yang duduk di lapau, kini, dinilai negatif sebagai orang-orang yang tak punya pekerjaan. Hanya menghabiskan hari.
    Tuduhan miring itu, bukan tanpa alasan. Pada banyak tempat, sekarang, lapau justru berubah menjadi arena “permainan” baru di kalangan generasi muda. Mulai dari playstation, sampai judi. Pengaruh teknologi dan peradaban telah menggeser keberadaan lapau dari hakikat dasarnya, seperti masa lalu.
    Padahal jika dibalik lembaran masa lalu, sebenarnya lapau memiliki aspek pembelajaran. Tak hanya sebagai tempat transaksi, tetapi lebih dari itu; tempat menguji nyali, harga diri dan kearifan.
    Secara kelembagaan, sebenarnya tak ada peruntukan lapau secara khusus, tetapi lantaran terkait dengan “uji nyali” dan harga diri serta menyikapi persoalan dengan kearifan, maka tanpa disadari akan ada terbentuk dengan sendirinya lapau yang “peruntukannya” berbeda. Lapau rang mudo, dan lapau rang tuo.
    Lapau rang mudo, biasanya diisi anak muda yang akan dan sedang tumbuh. Selain sedang mencari jati diri, mereka juga ingin membuktikan kepada gene¬rasinya bahwa Ia patut diper¬hitung-kan pada banyak aspek.
Perhitungan di¬mak¬sud, tentu saja berkonotasi positif. Pada masa lalu, lapau ber¬fungsi sebagai arena pembelajaran ke¬cakapan dalam artian luas. Orang-orang yang kurang (apalagi tidak cakap), akan menghindar dari lapau, lantaran takut jadi bahan olok-olok. Sekali dibolok-an ka¬wan tanpa bisa ber¬kelit, akan terus men¬jadi santapan o¬lok-olok.
    Tak hanya itu. Ke¬piawaian dalam ba¬nyak hal, terutama berkaitan dengan pe¬nge¬tahuan dan in-for¬masi yang telah, se¬dang dan ke¬mung¬ki¬nan akan berlang¬sung, akan membe¬rikan pengaruh perha¬tian berbeda bagi teman sesama besar. Hanya orang-orang berke¬mampuan lebih yang bisa mengua¬sai perdebatan di lapau. Tak semua orang bisa dan berani duduk di lapau.
    Sekali pun perdebatan itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, karena yang berdebat biasanya jauh dari titik persoalan (biasanya perdebatan dilakukan untuk persoalan-persoalan yang sedang hangat dibicarakan masyarakat, sekali pun jauh dari lingkungan lapau), namun bagi penghuni lapau, perdebatan demi perdebatan merupakan kewajiban sehari-hari untuk “menyelesaikan” masalah yang terjadi. Termasuk masalah dunia sekali pun.
    Bentuk kearifan yang terbangun di lapau, pada masa lalu, adalah adanya kesadaran pribadi untuk menjaga marwah pribadi yang lain. Biasanya, jika seorang kemenakan sedang berada di lapau, lalu melihat mamaknya hendak menuju lapau tersebut, biasanya sang kemenakan langsung hilang secara diam-diam. Atau, jika sang mamak sudah melihat kemena¬kannya di lapau tersebut, Ia sendiri yang akan menghindar. Begitu pula sebaliknya. Begitu pun bagi rang sumando, jarang mau berada di lapau rang mudo. Selain sudah besar lantaran telah menikah, juga segan untuk duduk bersama mamak rumah. Apalagi kalau di lapau suasana sumbarang kanai.
    Dalam konteks kekinian, ketika lapau sudah dialiah cafe, telah terjadi perge¬seran yang cukup signifikan. Ketika di lapau, semua yang berada pada salingka atok menjadi bagian yang tidak terpisah¬kan. Satu sama lain bisa saling beradu pendapat. Kenyataan ini tak bisa dilaku¬kan di cafe.
    Hakikat duduk di lapau, bercanda, berdebat yang bermuara kepada uji nyali, harga diri dan kearifan itu, tanpa disadari ternyata menjadi sebuah kekayaan bagi adat di ranah Minang.
    Dalam kamus besar Bahasa Indonesia. Adat merupakan perbuatan yang sudah lazim dilakukan sejak dulu, atau bisa juga lebih disederhanakan bahwa adat adalah ca¬ra atau kelakuan dan atau kegiatan yang sudah menjadi ke¬biasaan. Hanya saja, selama ini nilai-nilai “perdebatan” di lapau itu cenderung tidak disentuh sebagai se¬buah kekayaan bu¬da¬ya, yang mem¬berikan nilai tambah bahwa lelaki Minangkabau adalah sosok yang pa¬tut diperhitungkan da¬lam banyak aspek. Terutama berkaitan dengan penge¬ta¬huan¬nya.
Tanpa disadari, ter¬nyata adat (kebia¬saan) yang selama ini tak pernah diper¬hitungkan sebagai sebuah ke¬kayaan, justru patut diperhitungkan se¬ba¬gai alternatif baru da¬lam sebuah kesenian tradisi. Malahan sangat dekat jika dikaitkan dengan hakikat sebuah teater, walau sesungguhnya, keduanya sangat tidak sebangun.
    Kalau pun ada kesamaan, maka kesamaan itu ada pada sudut pemahaman tentang teater yang pernah dilontarkan Putu Wijaya. Menurut Putu Wijaya, setiap peristiwa yang ada pelaku dan cerita, sudah bisa dikategorikan sebagai teater. Pemahaman sederhana itu, ada pada kebiasaan duduk dan baciloteh di lapau. Yang membedakan, dialog di lapau nyaris tanpa konsep namun “bisa menyelesaikan persoalan dunia” secara tertata, walau tak bisa menuntaskannya.
     Kekayaan “teater” pada format Baci¬loteh Caro Lapau, seperti terlihat pada Festival Baciloteh Caro Lapau, di Taman Budaya Padang, Jumat – Minggu (14-16/11) sangat berbeda jika dibandingkan dengan teater konvensional yang selama ini dipakai. Pada dasarnya, “kiblat” teater yang selama ini dipahami menganut “mashab” Aristoteles, yang secara teratur mengukur alur prolog, transisi, klimaks, antiklimaks dan ending.
Ketika dihubungkan teater kon¬vensional dengan apa yang ada pada “teater” ala lapau, terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Teater konven¬sional tidak mengenal pemain lain, yang akan memberikan sentuhan positif atau negatif.
    Lakon pada teater konvensional hanya memainkan peran seperti yang digariskan pada skenario, sedangkan “teater” ala lapau, bisa menghadirkan puluhan lakon lain. Kehadiran “tokoh” dari penonton tersebut, bisa memperkuat materi yang dilakonkan, ada kalanya juga bisa me¬lemahkan materi yang dihadirkan.
    Di balik berbagai persamaan dan perbedaan, yang pasti bahwa muara dari “teater” ala lapau ini memiliki kekayaan lain, yang tak mungkin dilakoni para pelaku teater konven¬sional.
Lalu, masihkah “teater” ala lapau dapat dikategorikan sebagai sebuah teater? Ketika pertanyaan itu diajukan sejumlah teman usai menyaksikan festival itu, saya menjawab; bagi saya apakah masuk pada kategori teater atau bukan, tidak menjadi soal. Kalau bisa dinikmati sebagai sebuah tontonan, apalagi diangkat dari tradisi yang mencerminkan nilai-nilai keseharian masyarakat lokal, maka “teater” ini akan menjadi tontotan alternatif yang berisi untuk menandingi nilai-nilai buruk dari yang dibawa media cetak dan elek¬tronik yang tumbuh belakangan.
Inilah teater alternatif! *
firda71_padang@yahoo.com

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...