04 January 2011

Teater Nan Tumpah dalam “Cincin Kelopak Mawar”

Sederhana atau Misikin Ide?
Oleh Ganda Cipta*


Apa hebatnya cerpen Cincin Kelopak Mawar (CKM) karya Firdaus? Pertanyaan itu muncul sesaat setelah saya mendapat kabar dari seorang teman, bahwa cerpen yang memenangi A.A Navis Award tahun 2007 ini, untuk kedua kalinya (setahu saya) dalam tahun ini akan diadaptasi ke dalam seni pertunjukkan. 

 

Sebelum Teater Nan Tumpah mengadaptasi dan mempertunjukkannya dengan judul yang sama ke dalam sebuah pertunjukan teater, pada 9 Oktober 2010 di Teater Utama Taman Budaya Sumbar, terlebih dahulu Impessa Dance Company telah mengangkatnya dalam karya tari dengan koreografer Jhoni Andra, di tempat yang sama pada 8 Maret 2010.

Pertanyaan itu, bukanlah pertanyaan yang muncul dari penilaian saya terhadap kualitas cerpen tersebut. Tapi, lebih kepada sebuah harapan, ada sesuatu yang berlebih yang akan bisa saya dapatkan dari pementasan perdana Teater Nan Tumpah karena mengadaptasi sebuah karya seni yang beda bentuk.
Bukankah karya seni itu multitafsir, sehingga membuatnya menjadi sebuah objek yang dinamis? Dari sebuah karya seni akan bisa tercipta berbagai karya seni lainnya dalam beragam bentuk. Karya seni yang tercipta berdasarkan sebuah adapatasi atau terinspirasi dari karya seni yang telah ada sebelumnya, bisa saja memunculkan makna baru, menerima dan menguatkan pikiran-pikiran yang tersembunyi dalam karya terdahulu, atau menolak bahkan menghancurkan makna yang ada pada karya sebelumnya dan membangun makna baru.
Secara tidak langsung pertanyaan itu membuka pula pertanyaan baru, sejauh manakah kerja kreatif Yeni Ibrahim sebagai sutradara dalam pertunjukkan tersebut, mampu menggali sesuatu yang tersembunyi dibalik cerpen CKM? Dan secara tidak langsung menjawab pertanyaan saya di awal tulisan ini.
Dalam Cinta Ada Dendam
Dalam cerpen CKM diceritakan, seorang laki-laki bernama Badri tersulut api dendam karena persoalan cinta yang tak berbalas. Dendam itu muncul terhadap Rabiatun, gadis pujian hatinya, Yang pada awalnya, rasa cinta itu tumbuh karena Badri sering mengintip Rabiatun mandi di tepian sungai. Badri mendendam kepada Rabiatun karena merasa cinta yang telah diberikannya dipermainkan Rabiatun, yang dengan tiba-tiba menikah dengan lelaki lain.
Akibatnya, Badri berniat mengguna-guna Rabiatun, agar gadis pujaannya itu kembali kepelukannya. Tanpa mempedulikan apakah secara agama, adat dan sosial, hal itu benar atau salah. Pada akhir cerita, ternyata cincin dengan motif kelopak mawar, yang diberikan Mak Pado kepada Badri sebagai media untuk mengguna-gunai Rabiatun adalah cincin yang sama yang dipakai Rabiatun.
Meski tak dijelaskan dalam cerpen tersebut, tapi ending menggantung yang mengkahiri cerpen CKM, mengarah kepada alasan Rabiatun mempermainkan cinta Badri. Rabiatun mempermainkan cinta Badri dan mengguna-gunanya, karena ia dendam saat mengetahui Badri sering mengintip dia mandi di tepian.
Dalam cinta ada dendam, begitulah kira-kira pesan atau makna sederhana yang ada dalam cerpen tersebut. Karena cinta Badri dendam, karena dendam Rabiatun mempermainkan cinta.
Sebelum cerpen ini diadaptasi ke panggung teater oleh Teater Nan Tumpah, terlebih dahulu Mahatma Muhammad mengadaptasinya ke dalam sebuah naskah drama yang kemudian menjadi pegangan Yeni Ibrahim dalam menggarap pertunjukkan yang berlangsung selama lebih kurang 45 menit itu.
Dari sisi alur cerita, ada perbedaan antara cerpen dan naskah drama. Jika cerpen CKM beralur bolak-balik, maka naskah drama ini beralur maju. Naskah drama CKM bermula dari kepulangan Badri dengan penuh kegembiraan dari surau ke rumahnya, karena sedang jatuh cinta. Dan diakhiri dengan dendam Badri karena cintanya dikhianati. Sementara itu, cerpen CKM dimulai dengan rasa dendanm Badri yang ingin mengguna-guna Rabiatun yang telah mempermainkan cintanya, Lalu kisah tentang awal mula Badri jatuh cinta kepada Rabiatun dan menjalin hubungan dengan Rabiatun. Dan kemudian cerita kembali kepada Badri yang ingin melakukan praktek guna-guna terhadap Rabiatun.
Selain itu, perbedaan terlihat dari naskah drama CKM, ketika Mahatma menambahkan kisah tentang ayah Badri, yang pernah pula melakukan hal yang sama terhadap seorang kembang desa sewaktu Badri masih di dalam kandungan ibunya. Yang ternyata kembang desa itu adalah ibu Rabiatun. Secara tidak langsung kisah ini menambah alasan Rabiatun mempermainkan cinta Badri dan mengguna-gunanya dengan cincin yang sama.
Dari hal tersebut terlihat dan terasa ada usaha Teater Nan Tumpah untuk mengembangkan kisah dalam cerpen tersebut, sekaligus memunculkan makna atau pesan baru. Dimana, seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Dan ada karma yang diterima Badri dari perbuatan yang dilakukan ayahnya saat Badri masih di dalam kandungan ibunya. Tersirat, kisah ini mengingatkan kepada para orang tua, agar tidak melakukan hal-hal buruk ketika calon anak mereka sedang dalam kandungan.
Miskin Ide, Bukan Sederhana
Kesederhanaan kisah dan alur cerita menjadi kekuatan utama yang menjadi magnet dalam pertunjukan Teater Nan Tumpah malam itu, untuk menahan penonton menyaksikan pertunjukkan hingga usai. Sayangnya, kesederhanaan alur cerita pada pertunjukan tersebut, terganggu dengan kehadiran lima orang penari yang diniatkan menjadi properti panggung. Kehadiran lima penari yang tata geraknya diciptakan Jhoni Andra, tidak menyatu penuh dan utuh dalam pertunjukkan.
Jadi, setuju saya dengan yang diungkapkan Yusril, seniman teater dari Teater Hitam Putih Padang Panjang ketika mengkritisi pertunjukkan ini saat sesi diskusi. Ia mengatakan, gerak tubuh atau gerak tari dari para penari, masih sebatas gerakan yang membawa identitas ‘tubuh studio’. Tidak tampak identitas sosial dari gerak tubuh penari yang pada akhirnya menggambarkan dengan jelas ruang dan waktu kejadian dalam pertunjukkan ini.
Selain itu, sebagai properti panggung, lima penari terkesan hanya menjadi properti pasif, karena kurangnya interaksi antara pemain dan penari saat menjadi properti. Saya juga menangkap kesan, kehadiran penari hanya sebatas cara bagi sutradara untuk pengalihan satu adegan ke adegan berikutnya.
Akibatnya, kesan yang muncul kemudian pada bagian visual panggung bukanlah kesederhanaan, tapi miskin ide. Hal ini tampak juga dalam penggarapan adegan dan akting pemain yang pada beberapa bagian yang memperlihatkan akting dan adegan streotipe. Misalnya saja, akting dari aktor dukun atau Mak Pado, dengan suara besar, kata-kata yang keluar satu-satu, dan dengan tertawa layaknya seorang raksasa. Adegan yang memperagakan kemolekan tubuh seorang wanita dan adegan percintaan sepasang manusia yang divisualkan dari sebuah siluet pun merupakan sebuah adegan yang telah berkali-kali muncul dibanyak pertunjukkan.
Apa hebatnya cerpen Cincin Kelopak Mawar karya Firdaus? Dari pementasan Teater Nan Tumpah ini, saya mendapat jawaban, tergantung dari pembacaan dan interpretasi masing-masing pembaca.Wallahu’alam!

* Penikmat seni teater dan pendiri Ranah Teater
Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 17 Oktober 2010

No comments:

Ruang Buku Karya Dosen Unand

   Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir  Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...